Kamis, 05 Februari 2009
Gender
KEKERASAN DALAM KELUARGA
“Bertentangan Dengan Hakekat Perkawinan”
Rofinus Jas, SVD
Kekerasan yang dimaksudkan penulisan dalam tulisan ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri dalam kehidupan berkeluarga. Salah satu bentuk tindakan ketidakadilan dalam keluarga adalah tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri. Tindakan kekerasan tersebut bisa secara fisik, psikis, ekonomis dan seksual. Kekerasan secara fisik bisa saja dalam bentuk tindakan pemukulan oleh suami terhadap isteri. Kekerasan secara psikis, misalnya dalam bentuk sikap suami yang tidak peduli terhadap isteri, kurang mendengar, sering keluar kota dan lain-lain. Kekerasan secara ekonomis, tentu berhubungan dengan sikap suami yang tidak peduli terhadap kebutuhan ekonomi keluarga. Secara seksual jelas berhubungan dengan pemaksaan hubungan suami-isteri secara sepihak oleh suami. Karena itu penulis dalam menggagas tulisan ini, pertama-tama menemukan apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan dalam keluarga? Lalu, bagaimana penilaian moralnya dan kemudian diakhiri dengan sebuah harapan sebagai kesimpulan.
Suami Pemegang Supremasi
Kekerasan terhadap isteri biasanya terjadi karena adanya anggapan bahwa suami pemegang supremasi dalam sebuah keluarga. Fenomena tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam masyarakat. Akibatnya, isteri tidak mempunyai hak apa pun untuk menjadi pemimpin dalam keluarga. Sebaliknya, ia berhak diatur oleh suaminya sehingga pekerjaan domestik yang dibebankan kepada isteri seolah-olah identik dengan dirinya. Pekerjaan domestik yang dibebankan kepada isteri tentu dalam waktu yang tak terbatas, misalnya: memasak, mencuci, menyeterika, menjaga kebersihan dan kerapihan rumah, membimbing belajar kepada anaka-anak dan lain-lain. Beban pekerjaan isteri ditambah lagi dengan fungsi untuk reproduksi, seperti haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Sementara suami dengan peran publik tidak bertanggungjawab terhadap beban domestik tersebut, karena itu hanya layak dikerjakan oleh perempuan atau isteri.
Stereotype Terhadap Perempuan
Pelabelan atau penandaan yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin kerapkali menimbulkan kesan negatif terhadap perempuan atau isteri. Pandangan stereotype terhadap perempuan jelas merupakan tindakan kekerasan dalam keluarga dan termasuk tindakan ketidakadilan gender. Perempuan kerapkali dinilai sebagai pribadi yang lemah fisik maupun intelektual, sehingga tidak layak untuk menjadi pemimpin karena sarat dengan keterbatasan tidak sebagai mana yang dimiliki laki-laki. Pandangan stereotype semacam ini menyebabkan perempuan mudah diperdayakan, mudah menyerah, inferior, tidak memiliki semangat mandiri dan tidak bisa mengambil keputusan terbaik untuk dirinya sendiri. Sebuah pandangan yang tidak adil bahwa isteri bersifat irrasional, emosional, lemah menyebabkan peran isteri dalam kelurga tidak penting. Potensi isteri sering dinilai tidak fair oleh sebagian masyarakat, mengakibatkan sulitnya mereka menembus posisi strategis dalam masyarakat. Inilah salah satu bukti bahwa praktek kekerasan dalam keluarga masih terjadi dewasa ini.
Kekerasan Bertentangan Dengan Hakekat Perkawinan
Perkawinan dalam Gereja Katolik merupakan suatu ikatan yang suci. Gereja memandang bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup dan kasih suami isteri yang mesra yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya. Allah sendiri adalah pencipta perkawinan. Panggilan untuk perkawinan sudah terletak dalam kodrat pria dan wanita, sebagaimana mereka muncul dari tangan pencipta. Perkawinan bukanlah satu institusi manusiawi semata-mata, walaupun dalam peredaran sejarah ia sudah mengalami berbagai macam perubahan sesuai dengan kebudayaan, struktur masyarakat, dan sikap mental yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan tidak boleh membuat kita melupakan ciri-ciri perkawinan yang tetap dan umum.
Berdasarkan konsep perkawinan dalam Gereja Katolik, penulis melihat bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri termasuk tindakan mengingkari perkawinan itu sendiri. Mereka telah disatukan dalam perkawinan dan memiliki komitmen serta visi misi yang sama dalam membangun rumah tangga. Namun dalam kenyataannya janji serta komitmen tersebut dilanggar oleh salah satu pihak. Janji tersebut mereka buat untuk diri mereka sendiri, dihadapan sesama sebagai saksi, dan terutama dihadapan Tuhan sebagai pemberi dan tujuan akhir kehidupan. Memang kita tidak dapat memungkiri bahwa dalam kehidupan keluarga senantiasa terdapat perselisihan. Namun, solusi yang tepat untuk mengatasi perselisihan itu bukanlah dengan kekerasan.
Martabat Manusia Sebagai Dasar Perkawinan
Dasar kehidupan berkeluarga adalah perhormatan terhadap martabat manusia. Mengapa? Karena Manusia memiliki derajat yang luhur sebagai manusia. Derajat manusia yang luhur berasal dari Tuhan yang menciptakannya. Tuhan menciptakan manusia dengan kodratnya. Kodrat manusia bernilai tinggi, karena unik. Setiap orang tidak ada duanya. Kemanusiaan setiap manusia adalah suatu ide luhur dari Sang Pencipta yang menghendaki supaya setiap orang berkembang dan mencapai kesempurnaannya sebagai manusia. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan kekerasan dalam keluarga adalah termasuk tindakan yang merendahkan martabat manusia.
Harapan
Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur masyarakat yang dibangun atas dasar pernikah yang sakral. Pernikah adalah langkah awal proses pembentukan suatu keluarga yang terdiri atas suami, isteri dan anak. Perjanjian sakral tersebut merupakan prinsip universal yang terdapat dalam semua tradisi keagamaan. Maka untuk menjaga keharmonisan tujuan perkawinan, kesetaraan dan keadilan merupakan kondisi dinamis di mana suami-isteri memiliki hak dan kewajiban untuk saling menghormati dan menghargai. Sebab sejak awal penciptaan, manusia diciptakan sebagai pria dan wanita menurut gambar dan citra Allah ( Kej 1:26-27). Penciptaan ini sebuah peristiwa penting dan menjadi puncak dari segala ciptaan. Dalam kitab Kejadian Bab 2:18-25 Allah berfirman “Tidak baik bahwa manusia itu sendiri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya, yang sepadan dengan dia… … Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Ayat ini jelas mengatakan bahwa tidak baik jika manusia itu seorang diri saja. Manusia dari kodratnya sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain. Oleh sebab itu, ia perlu bersatu dan membentuk satu keluarga dan di antara keduanya menjadi satu daging. Gagasan satu daging bersifat antropologis, artinya bukan hanya jasmani, melainkan juga personal, sehati-sejiwa. Hal ini memberi gambaran bahwa penciptaan pria dan wanita sebagai suatu nilai yang tinggi, sehingga pria berani meninggalkan orang tuanya untuk membentuk persekutuan hidup baru dengan isterinya dan mendidik anak-anaknya.
Gagasan di atas lebih merupakan sebuah idealisme dalam menciptakan sebuah keluarga yang damai, aman, sejahtera dan bahagia. Oleh karena itu, segala bentuk kekerasan, penindasan, tirani dan perbudakan dalam keluarga adalah termasuk tindakan melawan hak asasi manusia.
Penulis
Rofinus Jas, SVD
d/a. Seminari Tingggi SVD “SURYA WACANA” Malang
Jl. Terusan Rajabasa 6 Malang-Jatim
Email: rojassvd@yahoo.com
Minggu, 01 Februari 2009
Cerita bermakna
CERITA AMSAL
Rofinus Jas, SVD
Amsal 11:12
Anton adalah salah satu teman kelas kami waktu SMA. Anton termasuk orang yang sangat terkenal di kelas kami. Dia terkenal, karena setiap kali ada diskusi, Anton selalu tampil percaya diri. Dia sangat berani melontarkan pendapat-pendapat yang kerapkali menyimpang dari tema yang sedang dibicarakan. Akibatnya, setiap kali ada diskusi, pasti ada perdebatan yang menimbulkan masalah. Banyak argument Anton yang dinilai oleh teman-teman diskusi sebenarnya tidak benar. Namun Anton selalu membela diri dan merasa argumennya benar dihadapan forum. Ia kerapkali melontarkan pendapat yang kerap memunculkan persoalan baru. Dia juga terkenal sombong oleh teman-teman. Ia sok pintar, hebat, bahkan merasa lebih pintar dari teman yang lain. Ia juga suka mengolok-olok teman yang dianggap bodoh. Anton tidak sadar bahwa sebenarnya banyak teman yang lebih pandai dari dia di kelas kami, tetapi cenderung berdiam diri, tidak sombong, suka menghargai teman-teman yang lain, tidak berbicara sembarangan dan tidak sok pintar. Benar kata pemazmur mengatakan: “siapa yang menghina sesamanya, tidak berakal budi tetapi orang pandai berdiam diri”(Ams 11:12)
Amsal 16:2
Sr. Yunita pada waktu mudanya, terkenal suka membantu orang miskin. Ia suka meminta sumbangan, baik berupa uang maupun berupa barang-barang kepada donatur-donatur untuk membantu orang miskin. Ia kerapkali membuat proposal-proposal kepada pihak paroki, keuskupan maupun pihak pemerintah dengan intensi membantu orang miskin. Dalam waktu senggang, ia selalu mengunjungi orang-orang miskin di pinggir kota. Bagi Sr. Yunita, pekerjaan membantu orang miskin adalah pekerjaan yang sangat mulia. Dia menganggap pekerjaan membantu orang miskin yang paling baik dan paling bijak. Dia gemar membagi sembako kepada orang miskin. Dia aktif menjadi tim relavan membantu korban banjir, gempa, Lumpur lapindo dan lain-lain. Dia sering kali diundang untuk memberikan kesaksian agar orang tergugah membantu orang miskin. Dia rajin mengumpul data-data orang miskin dan kemudian ia memohon bantuan kepada donatur agar membantu orang miskin dan lain sebagainya. Dia sering menulis di koran tentang apa ia lakukan selama membantu orang miskin dan lain-lain.
Namun sayangnya, ia jatuh pada kesombongan dirinya. Bayangkan, Ia tak segan-segan memotong 25% dari setiap sumbangan yang didapatnya dari donator-donatur untuk kepentingan dirinya sendiri dan keluarganya. Bagi dia, itu hal biasa yang selalu ia lakukan selama ia mencari sumbangan kepada donatur. Anehnya, Sr. Yunita sama sekali tidak merasa bersalah bahkan perbuatan semacam itu wajar-wajar saja bahkan ia mengatakan setiap pekerja patuh mendapat upahnya. Benar kata Pemazmur mengatakan: “Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangan sendiri, tetapi TUHAN yang menguji hati” (Ams 16:2)
Ams 19:4
Ada seorang yang sangat terkenal di desa kami. Ia bernama pak Yanto. Ia terkenal karena ia termasuk salah satu juragan kopi yang terkenal. Ia termasuk pembisnis yang sangat jitu melihat peluang dalam berbisnis. Setiap kali ia membuka usaha baru, ia selalu berhasil. Ia memiliki 60 hektar kebun kopi. Disamping itu, ia memiliki toko besi, memiliki restoran dan angkuntan umum. Tiap hari banyak orang datang ke rumahnya, baik kalangan petani yang hendak menjual kopi, polisi yang hendak menjaga usahanya, kalangan pejabat bahkan banyak biarawan yang sering bertamu ke rumahnya. Sebagai seorang katolik yang baik, ia membangun sebuah kapel mewah yang kerapkali digunakan untuk sembayang hari minggu. Ia sangat rajin ikut ibadat hari minggu. Ia juga termasuk donatur utama bagi seminari di desa kami. Apa pun kebutuhan untuk kepentingan gereja di desa kami, selalu ia penuhi. Ia sangat dermawan. Karena itu, ia sangat dikagumi oleh banyak orang di desa kami. Bukan hanya kalangan orang desa yang menghargai dia, tetapi kalangan pejabat bahkan kalangan biarawan pun sangat menghargai dia. Apa pun dia katakan, orang selalu mendengar dia dan percaya.
Siapa pun kalau menyebut nama pak Yanto di kabupaten kami, pasti orang langsung kenal. Bahkan siapa pun yang memiliki hubungan keluarga dengan dia, orang pasti menghargai mereka. Jika ada masalah yang berhubungan dia, orang pasti takut, karena ia memiliki kroni-kroni yang membantu dia. Pokoknya jika ada masalah apa pun yang berkaitan dengan pak Yanto, pasti ia selalu menang. Konon, ia memiliki kaki tangan yang tersebar di mana-mana. Ia sangat terkenal dan sangat disegani oleh banyak orang. Sehingga jangan heran jika tiap hari di rumanhnya selalu kerumuni banyak orang. Dia memiliki banyak karyawan, banyak kroni-kroni yang selalu berkunjung ke rumahnya. Setiap hari selalu ada pesta di rumahnya. Dia juga seringkali mengundang pastor paroki makan di rumahnya. Bahkan jika pastor parokinya “Berulang Tahun” pasti selalu dirayakan dirumahnya. Setiap hari minggu setelah sembayang, biasanya banyak Frater dan Suster singgah di rumahnya bahkan mereka selalu dijamu makan siang sebelum pulang ke Biara mereka masing-masing. Pokoknya pak Yanto terkenal sangat baik oleh siapa pun. Ia memiliki banyak sahabat dan kenalan.
Namun disisi lain, desa kami juga terkenal banyak orang miskin. Mereka biasanya menjadi buruh pak Yanto. Apa pun yang hasilkan dari ladang mereka selalu menjual kepada pak Yanto dengan harga sesuai apa yang ditetapkan pak Yanto. Mereka hidup sangat sederhana, rumah beratap alang-alang dan berdinding bambu. Jika ada kebutuhan yang mendesak, mereka selalu meminjam uang kepada pak Yanto dengan bunga yang cukup tinggi. Biasanya mereka meminjam uang kepada pak Yanto pada saat-saat belum panen dan kebutuhan anak-anak sekolah. Mungkin karena mereka miskin, jarang sekali orang berkunjung ke rumah mereka. Setiap kali ada kunjungan pastor paroki, tidak pernah ada kunjungan ke rumah mereka. Para Frater dan Suster pun, jika ada jadwal kunjungan di desa kami, tidak pernah mereka singgah di rumah orang-orang desa di situ. Mereka biasanya tidur dan nyinap di rumah Yanto. Mereka tidak peduli dengan orang miskin di desa kami. Mereka tidak peduli oleh banyak orang. Bahkan sanak saudara mereka yang datang dari kota, mereka kerap tidur di rumah pak Yanto. Benar kata Amsal mengatakan “Kekayaan menambah banyak sahabat tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya” (Ams 19:4).
Ams 27:17
Manusia adalah mahluk sosial. Manusia tidak pernah hidup sendiri. Ia pasti hidup bersama orang lain dan membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Manusia bertumbuh dan berkembang karena ada orang lain. Orang tidak bisa bertumbuh dan berkembang tanpa orang lain. Oleh karena itu, lingkungan, orangtua, saudara, teman dan orang lain sangat membantu seorang manusia dapat berkembang. Dengan pergaulan dengan orang lain, kita belajar banyak tentang kehidupan ini. Kita akan menemukan makna kehidupan ini karena ada orang lain yang membantu kita. Kehadiran orang lain sangat menentu kehidupan kita. Kita tidak boleh sombong mengatakan bahwa saya tidak membutuhkan orang lain dalam kehidupan ini. Kita bertumbuh dan berkembang secara baik dan benar sangat tergantung dengan siapa kita bergaul. Jika kita bergaul dengan orang yang baik, pasti kita baik. Sebaliknya, jika kita bergaul dengan orang jahat pasti kita ikut jahat. Oleh karena itu, kita dapat bertumbuh dan berkembang menjadi manusia bijak, berkat hasil pergaulan kita dengan orang lain. Maka kehadiran orang lain, sangat membantu kita, menjadi manusia yang bijaksana.
Sebagai contoh konkret, ada dua orang gadis bernama Marta dan Mia di kampung kami. Marta termasuk gadis beruntung karena ia berasal dari keluarga yang baik. Keluarganya sangat beriman dan taat beragama, rajin ke gereja, doa lingkungan dan memiliki kebiasaan selalu doa bersama keluarga sebelum tidur serta suka membantu orang lain. Warisan kebaikan keluarga inilah yang diteruskan Marta dalam hidupnya. Sehingga ketika ia kuliah di Jakarta, ia menerus kebiasaan baik keluraganya, rajin sembayang, suka membantu orang lain dan akhirnya ia berhasil. Pokoknya ia tergolong anak yang beruntung dalam hidupnya. Sementara Mia berasal dari keluarga bermasalahan. Orangtuanya bercerai sehingga sejak kecil ia tinggal bersama neneknya. Semenjak kecil, Mia memang tidak pernah merasakan bagaimana kasih sayang dari orangtuanya. Akibatnya, ia jatuh pada pergaulan bebas dan akhirnya hamil diluar nikah. Pacarnya tidak mau bertanggung jawab dan membiarkan Mia memelihara anak hasil hubungan gelap mereka. Mia merasa hidupnya hancur dan akhirnya ia memutus anaknya diadopsikan kepada orang lain. Maka benar apa yang dikatakan dalam Amsal “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya” (Ams 27:17).
Ams 29:1
Namun dilain-pihak, banyak orang kurang memperhatikan orang lain. Kehadiran orang lain, kerap tidak dipedulikannya. Ada orang yang tidak suka dinasehati oleh orang lain. Sebagai contoh Wawan. Wawan terkenal suka mengotot dalam hal berargumen, meskipun argumennya itu salah. Dia suka sekali mempertahankan pendapatnya yang salah. Ia tidak peduli teguran orang lain. Ia keras kepala dan sulit sekali menerima pendapat orang lain. Meskipun kita menunjukkan point-point kesalahannya, ia tetap ngotot mempertahankan pendapatnya. Sebagai contoh pada bulan yang lalu, ia mendapat tugas seminar Misiologi dan akan dipresentasikan dihadapan Dosen mata kuliah tersebut. Dalam makalahnya, kami melihat apa yang dia tulis sebenar salah. Kami mencoba membantu dia untuk memperbaiki makalahnya, karena makalah yang dia siapkan itu salah. Kami menasihati agar makalah yang dibuatnya harus direvisi kembali. Sebab isi makalah yang dibuat banyak sekali kesalahan-kesalahan, baik metode penulisannya, bahasa dan isi makalahnya. Namun ia tidak peduli pendapat kami. Ia tetap ngotot bahwa apa yang dia tulis dalam makalahnya benar. Akibatnya, ketika makalahnya dipresentasikan, banyak pertanyaan muncul dan ia tidak bisa mempertanggungjawabkannya. Akhirnya, ia tidak lulus. Benar bahwa “Siapa bersitegang lehernya, walaupun telah mendapat teguran, akan sekonyong-konyong diremukkan tanpa dapat dipulihkan lagi” (Ams 29:1).
Kompas 2
NATAL MEMBAWA PANJI “OMNES IN UNITATEM”
Rofinus Jas, SVD
Di tengah-tengah krisis global yang sedang melanda dunia saat ini, banyak orang mengalami penderitaan, takut, cemas karena memandang masa depan yang suram. Tidak menentunya kondisi ekonomi, harga-harga kebutuhan hidup yang merangkak naik, tingginya biaya pendidikan, dan sulitnya mendapatkan pekerjaan, membuat banyak orang kehilangan harapan. Bangsa Indonesia saat ini boleh dikatakan mengalami kemerosotan di segala bidang, terutama kemerosotan akhlak, tumpulnya hati nurani, dan terganggunya komunikasi; kemelaratan, pelanggaran hak azasi manusia, kekerasan dan kerusuhan merupakan menu pokok pemberitaan media massa setiap hari (bdk. Surat Gembala Prapaska Keuskupan Bogor 2004). Bangsa kita terjerumus dalam berbagai konflik, seperti konflik kepentingan, politik, suku, agama, ekonomi, sosial, dan lain lain. Bangsa Indonesia belum sepenuhnya bersatu. Berbagai perbedaan seringkali tidak dipandang sebagai kekayaan tetapi justru sebagai alasan untuk memisahkan diri dari yang lain. Akibatnya, perbedaan seringkali berakhir dengan pertentangan dan perpecahan.
Habitus Lama Menuju Habitus Baru
Bangkrut keuangan global dan krisis politik di tanah air, melahirkan ketidakpastian masa depan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketidakpastian dan tantangan dalam pelbagai ragam masalah di negeri ini, menyebabkan banyak orang mengalami multi krisis. Multi krisis itu terjadi karena ketidakadaban sebagian besar warga Negara yang masih hidup dalam habitus lama. Salah satu penyebab situasi keterpurukan di atas adalah mengakarnya korupsi di tanah air, bahkan telah menjadi budaya dan dianggap lumrah. Korupsi merupakan perbuatan buruk, curang, merampas, dan mencuri milik orang lain secara tersembunyi dan terencana, perbuatan yang merusak keadilan, menghancurkan keseimbangan hidup bersama, tak bermoral dan melanggar norma-norma agama. Akibatnya, tata kehidupan bersama negara ini mengalami kegoncangan yang luar biasa dasyatnya.
Karena itu, seluruh lapisan masyarakat diajak untuk bangkit menuju habitus baru yang lebih baik, lebih beradab, dan membangun suatu pola tingkah laku yang baru. Seluruh lapisan masyarakat berupaya sedapat mungkin untuk memperbarui diri secara batin, dan mengungkapkan pembaruan itu dalam sikap saling mengasihi dan saling berbagi, dalam kata dan perbuatan nyata. Azas kekeluargaan dan kasih persaudaraan sejati, menjadi acuan hidup bersama negara Indonesia yang sangat multikultural saat ini. Dalam persekutuan yang berlandaskan persaudaraan sejati, solider dan dialogal dan bekerja sama dengan semua orang tanpa membeda-bedakan, akan mengubah wajah masyarakat yang penuh konflik menunju masyarakat yang aman dan damai.
Natal Membawa Damai Menuju “Omnes in Unitatem”
Bangsa Indonesia, sudah sejak lama merindukan kehidupan bersama yang penuh damai sejahtera. Kehidupan damai sejahtera ini hanya dapat terwujud bila seluruh warga negara Indonesia bersatu. Semua orang pasti merindukan keadaan damai yang memberi rasa aman tanpa membedakan suku, agama, ras, dan afiliasi politik. Rasa aman itu membuat warga negara dapat bekerja sama untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan rasa aman itu, seluruh warga negara dapat menjalin relasi tanpa merasa terancam, tertekan, atau dikucilkan. Dengan demikian, ungkapan “Omnes in Unitatem”, hendaknya mau mengumpulkan keterceceran dan keberbedaan suku bangsa dan agama di negara ini. Bahwa pada hakekatnya bangsa Indonesia “Semuanya menuju kesatuan”. Maka kedatangan Yesus di dunia ini adalah untuk mendamaikan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya. Ia merombak tembok pemisah dan membangun persekutuan baru, yang kokoh dan tangguh, yang bersumber dan berakar di dalam diri-Nya (bdk. Ef. 2:14, dst.) (bdk. pesan natal PGI dan KWI, 2008). Karena itu, peristiwa Natal dapat menjadi petunjuk bagi mereka yang rindu untuk hidup dalam damai, khususnya dalam keadaan dewasa ini yang diwarnai ketegangan dan kecenderungan untuk mementingkan diri atau kelompok sendiri. Dengan kata lain, Natal membawa “Syallom” dan mengusahakan “Syallom” itu yang tidak lain adalah membangun persaudaraan sejati. Kebhinekaan suku dan agama di negara ini, tidak mestinya diseragamkan menjadi monolit dalam satu wadah agama tertentu saja, tetapi justru dirayakan sebagai suatu anugerah dari Allah di negara ini.
Penulis
Rofinus Jas, SVD
Rohaniwan, Mahasiswa Program Magister Humaniora STFT Widyasasana Malang, Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa STFT Widyasasana Malang(BPM).
d/a Seminari Tinggi SVD “Surya Wacana” Malang
Jl. Terusan Rajabasa 6 Malang -Jatim
Kompas 1
PENGGUSURAN GUBUK ORANG MISKIN BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA
Rofinus Jas, SVD
Kompas, Rabu tanggal 8/10, diberitakan sekitar 200 gubuk liar di Taman Bersih, Manusiawi dan Berwibawa (BMW) digusur secara paksa oleh petugas Tamtib Tanjung Prikok, Jakarta Utara. Banyak warga yang berontak bahkan ada yang terluka karena digebuki ramai-ramai oleh petugas Tamtib. Ada yang membuka pakaian hingga telanjang menghalangi petugas pengusuran. Ada yang menangis dan berdiam diri karena tidak bisa berbuat apa-apa menghalangi kekejaman petugas pemerintah.
Melanggar Hak Asasi Manusia
Pengusuran secara paksa terhadap rumah atau gubuk orang miskin adalah sebuah tindakan melanggar hak asasi manusia. Disebut melanggar hak asasi manusia, karena itu adalah sebuah tindakan mematikan manusia secara perlahan-lahan. Pelanggaran hak asasi manusia karena itu dilakukan secara paksa dan sepihak oleh pemerintah. Pemerintah tidak kompromis melakukan tindakan tersebut. Buktinya banyak korban pengusuran binggung harus pindah kemana. Sementara mereka sekarang bertahan di sisi rel kereta api ruas Anco-Tangjung Priok. Banyak warga yang menyesalkan tindakan petugas. Apalagi petugas tidak menyediakan angkutan gratis untuk warga yang hendak berpindah, juga tidak ada tawaran solusi untuk tinggal di rumah susun yang disiapkan pemerintah(Kompas 9/10). Jelas-jelas ini adalah sebuah tindakan melanggar hak asasi manusia. Sebab penggusuran terhadap gubuk atau rumah orang miskin adalah sebuah tindakan melanggar hak hidup itu sendiri. Sebab hak hidup itu ada dari kodratnya sebagai manusia. Oleh karena itu, hak hidup adalah hak yang tidak bisa dilenyapkan, digusur, dikorbankan, demi kepentingan apa pun dan oleh kuasa mana pun. Karena itu pemerintah mestinya harus memiliki sikap kompromis dalam melakukan tindakan pengusuran tersebut.
Bertentangan Keadilan
Tindakan pengusuran terhadap rumah-rumah liar secara paksa di lokasi BMW adalah sebuah tindakan melawan keadilan. Hal ini dapat kita lihat dari arti etimologisnya; bahasa Latin: ius berarti hak sedangkan iustitia berarti keadilan. Keadilan berarti bersifat perbuatan, perlakuan yang adil, tidak berat sebelah dan pengakuan terhadap hak orang lain secara sah. Maka tindakan pengusuran rumah liar BMW termasuk tindakan kekejian merendahkan martabat manusia. Mengapa? Karena melakukan tindakan ketidakadilan adalah salah satu wujud konkret melawan hak asasi manusia.
Pemerintah mestinya menciptakan ”Bonum Commune” dalam tatanan hidup bersama sebuah negara sebagai bentuk konkret tindakan keadilan. Maka tindakan penggusuran adalah sebuah tindakan merusak tatanan hidupan bersama. Kesejateraan bersama akan mengalami gangguan dan bonum commune tidak mungkin terwujud, jika pemerintah menjadi dalang utama penggusuran tersebut. Pemerintah mestinya memiliki visi-misi untuk mengatur tata hidup bersama yang membawa damai, bukan memunculkan kembali rezim diktatorial yang melahirkan sikap kejam membabi-buta masyarakat miskin.
Pemerintah Berhenti Menindas Rakyat
Rakyat sekarang butuh makan, perlu aman, rindu damai, ingin sejahtera.Maka para pelaku ekonomi, elite politik dan pemegang roda pemerintah, berhenti menindas rakyat. Sangat ironis bahwa sementara harga BBM naik, justru para pemegang saham dan konglomerat diperlunakan pembayaran utangnya kepada pemerintah. Persis di sinilah tergambar sebuah kebijakan yang tidak adil dan mencekik rakyat. Pemerintah menjadi pelaku utama penjarahan terhadap hak rakyat. Segala kebijakan yang mencekik rakyat sama saja membunuh rakyat dan secara tak langsung membunuh bangsa itu sendiri.
Dalam kesadaran itu, baiklah semua pihak atau pemerintah bergandengan-tangan membangun solidaritas universal mendahulukan orang miskin dan mengembangkan perubahan-perubahan sikap maupun struktur dengan jalan tanpa kekerasan. Yang dibutuhkan rakyat adalah tindakan pemerintah yang kompromis bukan ketertindasan. Kerinduan rakyat adalah damai dan harmoni kehidupan. Tidak berlebihan jika rakyat membutuhkan partai yang membela hak orang kecil.
Penulis
Rofinus Jas
Mahasiswa Program Magister Humaniora STFT Widya Sasana Malang. Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), rohaniwan dan aktivis pemerhati kehidupan sosial masyarakat.
Keluarga 1
KEKERASAN DALAM KELUARGA
“Bertentangan Dengan Hakekat Perkawinan”
Rofinus Jas, SVD
Kekerasan yang dimaksudkan penulisan dalam tulisan ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri dalam kehidupan berkeluarga. Salah satu bentuk tindakan ketidakadilan dalam keluarga adalah tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri. Tindakan kekerasan tersebut bisa secara fisik, psikis, ekonomis dan seksual. Kekerasan secara fisik bisa saja dalam bentuk tindakan pemukulan oleh suami terhadap isteri. Kekerasan secara psikis, misalnya dalam bentuk sikap suami yang tidak peduli terhadap isteri, kurang mendengar, sering keluar kota dan lain-lain. Kekerasan secara ekonomis, tentu berhubungan dengan sikap suami yang tidak peduli terhadap kebutuhan ekonomi keluarga. Secara seksual jelas berhubungan dengan pemaksaan hubungan suami-isteri secara sepihak oleh suami. Karena itu penulis dalam menggagas tulisan ini, pertama-tama menemukan apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan dalam keluarga? Lalu, bagaimana penilaian moralnya dan kemudian diakhiri dengan sebuah harapan sebagai kesimpulan.
Suami Pemegang Supremasi
Kekerasan terhadap isteri biasanya terjadi karena adanya anggapan bahwa suami pemegang supremasi dalam sebuah keluarga. Fenomena tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam masyarakat. Akibatnya, isteri tidak mempunyai hak apa pun untuk menjadi pemimpin dalam keluarga. Sebaliknya, ia berhak diatur oleh suaminya sehingga pekerjaan domestik yang dibebankan kepada isteri seolah-olah identik dengan dirinya. Pekerjaan domestik yang dibebankan kepada isteri tentu dalam waktu yang tak terbatas, misalnya: memasak, mencuci, menyeterika, menjaga kebersihan dan kerapihan rumah, membimbing belajar kepada anaka-anak dan lain-lain. Beban pekerjaan isteri ditambah lagi dengan fungsi untuk reproduksi, seperti haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Sementara suami dengan peran publik tidak bertanggungjawab terhadap beban domestik tersebut, karena itu hanya layak dikerjakan oleh perempuan atau isteri.
Stereotype Terhadap Perempuan
Pelabelan atau penandaan yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin kerapkali menimbulkan kesan negatif terhadap perempuan atau isteri. Pandangan stereotype terhadap perempuan jelas merupakan tindakan kekerasan dalam keluarga dan termasuk tindakan ketidakadilan gender. Perempuan kerapkali dinilai sebagai pribadi yang lemah fisik maupun intelektual, sehingga tidak layak untuk menjadi pemimpin karena sarat dengan keterbatasan tidak sebagai mana yang dimiliki laki-laki. Pandangan stereotype semacam ini menyebabkan perempuan mudah diperdayakan, mudah menyerah, inferior, tidak memiliki semangat mandiri dan tidak bisa mengambil keputusan terbaik untuk dirinya sendiri. Sebuah pandangan yang tidak adil bahwa isteri bersifat irrasional, emosional, lemah menyebabkan peran isteri dalam kelurga tidak penting. Potensi isteri sering dinilai tidak fair oleh sebagian masyarakat, mengakibatkan sulitnya mereka menembus posisi strategis dalam masyarakat. Inilah salah satu bukti bahwa praktek kekerasan dalam keluarga masih terjadi dewasa ini.
Kekerasan Bertentangan Dengan Hakekat Perkawinan
Perkawinan dalam Gereja Katolik merupakan suatu ikatan yang suci. Gereja memandang bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup dan kasih suami isteri yang mesra yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya. Allah sendiri adalah pencipta perkawinan. Panggilan untuk perkawinan sudah terletak dalam kodrat pria dan wanita, sebagaimana mereka muncul dari tangan pencipta. Perkawinan bukanlah satu institusi manusiawi semata-mata, walaupun dalam peredaran sejarah ia sudah mengalami berbagai macam perubahan sesuai dengan kebudayaan, struktur masyarakat, dan sikap mental yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan tidak boleh membuat kita melupakan ciri-ciri perkawinan yang tetap dan umum.
Berdasarkan konsep perkawinan dalam Gereja Katolik, penulis melihat bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri termasuk tindakan mengingkari perkawinan itu sendiri. Mereka telah disatukan dalam perkawinan dan memiliki komitmen serta visi misi yang sama dalam membangun rumah tangga. Namun dalam kenyataannya janji serta komitmen tersebut dilanggar oleh salah satu pihak. Janji tersebut mereka buat untuk diri mereka sendiri, dihadapan sesama sebagai saksi, dan terutama dihadapan Tuhan sebagai pemberi dan tujuan akhir kehidupan. Memang kita tidak dapat memungkiri bahwa dalam kehidupan keluarga senantiasa terdapat perselisihan. Namun, solusi yang tepat untuk mengatasi perselisihan itu bukanlah dengan kekerasan.
Martabat Manusia Sebagai Dasar Perkawinan
Dasar kehidupan berkeluarga adalah perhormatan terhadap martabat manusia. Mengapa? Karena Manusia memiliki derajat yang luhur sebagai manusia. Derajat manusia yang luhur berasal dari Tuhan yang menciptakannya. Tuhan menciptakan manusia dengan kodratnya. Kodrat manusia bernilai tinggi, karena unik. Setiap orang tidak ada duanya. Kemanusiaan setiap manusia adalah suatu ide luhur dari Sang Pencipta yang menghendaki supaya setiap orang berkembang dan mencapai kesempurnaannya sebagai manusia. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan kekerasan dalam keluarga adalah termasuk tindakan yang merendahkan martabat manusia.
Harapan
Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur masyarakat yang dibangun atas dasar pernikah yang sakral. Pernikah adalah langkah awal proses pembentukan suatu keluarga yang terdiri atas suami, isteri dan anak. Perjanjian sakral tersebut merupakan prinsip universal yang terdapat dalam semua tradisi keagamaan. Maka untuk menjaga keharmonisan tujuan perkawinan, kesetaraan dan keadilan merupakan kondisi dinamis di mana suami-isteri memiliki hak dan kewajiban untuk saling menghormati dan menghargai. Sebab sejak awal penciptaan, manusia diciptakan sebagai pria dan wanita menurut gambar dan citra Allah ( Kej 1:26-27). Penciptaan ini sebuah peristiwa penting dan menjadi puncak dari segala ciptaan. Dalam kitab Kejadian Bab 2:18-25 Allah berfirman “Tidak baik bahwa manusia itu sendiri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya, yang sepadan dengan dia… … Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Ayat ini jelas mengatakan bahwa tidak baik jika manusia itu seorang diri saja. Manusia dari kodratnya sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain. Oleh sebab itu, ia perlu bersatu dan membentuk satu keluarga dan di antara keduanya menjadi satu daging. Gagasan satu daging bersifat antropologis, artinya bukan hanya jasmani, melainkan juga personal, sehati-sejiwa. Hal ini memberi gambaran bahwa penciptaan pria dan wanita sebagai suatu nilai yang tinggi, sehingga pria berani meninggalkan orang tuanya untuk membentuk persekutuan hidup baru dengan isterinya dan mendidik anak-anaknya.
Gagasan di atas lebih merupakan sebuah idealisme dalam menciptakan sebuah keluarga yang damai, aman, sejahtera dan bahagia. Oleh karena itu, segala bentuk kekerasan, penindasan, tirani dan perbudakan dalam keluarga adalah termasuk tindakan melawan hak asasi manusia.
Penulis
Rofinus Jas, SVD
d/a. Seminari Tingggi SVD “SURYA WACANA” Malang
Jl. Terusan Rajabasa 6 Malang-Jatim
Email: rojassvd@yahoo.com
Langganan:
Postingan (Atom)