Minggu, 01 Februari 2009

Kompas 2


NATAL MEMBAWA PANJI “OMNES IN UNITATEM”
Rofinus Jas, SVD
Di tengah-tengah krisis global yang sedang melanda dunia saat ini, banyak orang mengalami penderitaan, takut, cemas karena memandang masa depan yang suram. Tidak menentunya kondisi ekonomi, harga-harga kebutuhan hidup yang merangkak naik, tingginya biaya pendidikan, dan sulitnya mendapatkan pekerjaan, membuat banyak orang kehilangan harapan. Bangsa Indonesia saat ini boleh dikatakan mengalami kemerosotan di segala bidang, terutama kemerosotan akhlak, tumpulnya hati nurani, dan terganggunya komunikasi; kemelaratan, pelanggaran hak azasi manusia, kekerasan dan kerusuhan merupakan menu pokok pemberitaan media massa setiap hari (bdk. Surat Gembala Prapaska Keuskupan Bogor 2004). Bangsa kita terjerumus dalam berbagai konflik, seperti konflik kepentingan, politik, suku, agama, ekonomi, sosial, dan lain lain. Bangsa Indonesia belum sepenuhnya bersatu. Berbagai perbedaan seringkali tidak dipandang sebagai kekayaan tetapi justru sebagai alasan untuk memisahkan diri dari yang lain. Akibatnya, perbedaan seringkali berakhir dengan pertentangan dan perpecahan.
Habitus Lama Menuju Habitus Baru
Bangkrut keuangan global dan krisis politik di tanah air, melahirkan ketidakpastian masa depan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketidakpastian dan tantangan dalam pelbagai ragam masalah di negeri ini, menyebabkan banyak orang mengalami multi krisis. Multi krisis itu terjadi karena ketidakadaban sebagian besar warga Negara yang masih hidup dalam habitus lama. Salah satu penyebab situasi keterpurukan di atas adalah mengakarnya korupsi di tanah air, bahkan telah menjadi budaya dan dianggap lumrah. Korupsi merupakan perbuatan buruk, curang, merampas, dan mencuri milik orang lain secara tersembunyi dan terencana, perbuatan yang merusak keadilan, menghancurkan keseimbangan hidup bersama, tak bermoral dan melanggar norma-norma agama. Akibatnya, tata kehidupan bersama negara ini mengalami kegoncangan yang luar biasa dasyatnya.
Karena itu, seluruh lapisan masyarakat diajak untuk bangkit menuju habitus baru yang lebih baik, lebih beradab, dan membangun suatu pola tingkah laku yang baru. Seluruh lapisan masyarakat berupaya sedapat mungkin untuk memperbarui diri secara batin, dan mengungkapkan pembaruan itu dalam sikap saling mengasihi dan saling berbagi, dalam kata dan perbuatan nyata. Azas kekeluargaan dan kasih persaudaraan sejati, menjadi acuan hidup bersama negara Indonesia yang sangat multikultural saat ini. Dalam persekutuan yang berlandaskan persaudaraan sejati, solider dan dialogal dan bekerja sama dengan semua orang tanpa membeda-bedakan, akan mengubah wajah masyarakat yang penuh konflik menunju masyarakat yang aman dan damai.

Natal Membawa Damai Menuju “Omnes in Unitatem”
Bangsa Indonesia, sudah sejak lama merindukan kehidupan bersama yang penuh damai sejahtera. Kehidupan damai sejahtera ini hanya dapat terwujud bila seluruh warga negara Indonesia bersatu. Semua orang pasti merindukan keadaan damai yang memberi rasa aman tanpa membedakan suku, agama, ras, dan afiliasi politik. Rasa aman itu membuat warga negara dapat bekerja sama untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan rasa aman itu, seluruh warga negara dapat menjalin relasi tanpa merasa terancam, tertekan, atau dikucilkan. Dengan demikian, ungkapan “Omnes in Unitatem”, hendaknya mau mengumpulkan keterceceran dan keberbedaan suku bangsa dan agama di negara ini. Bahwa pada hakekatnya bangsa Indonesia “Semuanya menuju kesatuan”. Maka kedatangan Yesus di dunia ini adalah untuk mendamaikan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya. Ia merombak tembok pemisah dan membangun persekutuan baru, yang kokoh dan tangguh, yang bersumber dan berakar di dalam diri-Nya (bdk. Ef. 2:14, dst.) (bdk. pesan natal PGI dan KWI, 2008). Karena itu, peristiwa Natal dapat menjadi petunjuk bagi mereka yang rindu untuk hidup dalam damai, khususnya dalam keadaan dewasa ini yang diwarnai ketegangan dan kecenderungan untuk mementingkan diri atau kelompok sendiri. Dengan kata lain, Natal membawa “Syallom” dan mengusahakan “Syallom” itu yang tidak lain adalah membangun persaudaraan sejati. Kebhinekaan suku dan agama di negara ini, tidak mestinya diseragamkan menjadi monolit dalam satu wadah agama tertentu saja, tetapi justru dirayakan sebagai suatu anugerah dari Allah di negara ini.
Penulis
Rofinus Jas, SVD
Rohaniwan, Mahasiswa Program Magister Humaniora STFT Widyasasana Malang, Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa STFT Widyasasana Malang(BPM).

d/a Seminari Tinggi SVD “Surya Wacana” Malang
Jl. Terusan Rajabasa 6 Malang -Jatim

1 komentar: