Minggu, 01 Februari 2009

Keluarga 1


KEKERASAN DALAM KELUARGA
“Bertentangan Dengan Hakekat Perkawinan”
Rofinus Jas, SVD

Kekerasan yang dimaksudkan penulisan dalam tulisan ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri dalam kehidupan berkeluarga. Salah satu bentuk tindakan ketidakadilan dalam keluarga adalah tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri. Tindakan kekerasan tersebut bisa secara fisik, psikis, ekonomis dan seksual. Kekerasan secara fisik bisa saja dalam bentuk tindakan pemukulan oleh suami terhadap isteri. Kekerasan secara psikis, misalnya dalam bentuk sikap suami yang tidak peduli terhadap isteri, kurang mendengar, sering keluar kota dan lain-lain. Kekerasan secara ekonomis, tentu berhubungan dengan sikap suami yang tidak peduli terhadap kebutuhan ekonomi keluarga. Secara seksual jelas berhubungan dengan pemaksaan hubungan suami-isteri secara sepihak oleh suami. Karena itu penulis dalam menggagas tulisan ini, pertama-tama menemukan apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan dalam keluarga? Lalu, bagaimana penilaian moralnya dan kemudian diakhiri dengan sebuah harapan sebagai kesimpulan.

Suami Pemegang Supremasi
Kekerasan terhadap isteri biasanya terjadi karena adanya anggapan bahwa suami pemegang supremasi dalam sebuah keluarga. Fenomena tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam masyarakat. Akibatnya, isteri tidak mempunyai hak apa pun untuk menjadi pemimpin dalam keluarga. Sebaliknya, ia berhak diatur oleh suaminya sehingga pekerjaan domestik yang dibebankan kepada isteri seolah-olah identik dengan dirinya. Pekerjaan domestik yang dibebankan kepada isteri tentu dalam waktu yang tak terbatas, misalnya: memasak, mencuci, menyeterika, menjaga kebersihan dan kerapihan rumah, membimbing belajar kepada anaka-anak dan lain-lain. Beban pekerjaan isteri ditambah lagi dengan fungsi untuk reproduksi, seperti haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Sementara suami dengan peran publik tidak bertanggungjawab terhadap beban domestik tersebut, karena itu hanya layak dikerjakan oleh perempuan atau isteri.

Stereotype Terhadap Perempuan
Pelabelan atau penandaan yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin kerapkali menimbulkan kesan negatif terhadap perempuan atau isteri. Pandangan stereotype terhadap perempuan jelas merupakan tindakan kekerasan dalam keluarga dan termasuk tindakan ketidakadilan gender. Perempuan kerapkali dinilai sebagai pribadi yang lemah fisik maupun intelektual, sehingga tidak layak untuk menjadi pemimpin karena sarat dengan keterbatasan tidak sebagai mana yang dimiliki laki-laki. Pandangan stereotype semacam ini menyebabkan perempuan mudah diperdayakan, mudah menyerah, inferior, tidak memiliki semangat mandiri dan tidak bisa mengambil keputusan terbaik untuk dirinya sendiri. Sebuah pandangan yang tidak adil bahwa isteri bersifat irrasional, emosional, lemah menyebabkan peran isteri dalam kelurga tidak penting. Potensi isteri sering dinilai tidak fair oleh sebagian masyarakat, mengakibatkan sulitnya mereka menembus posisi strategis dalam masyarakat. Inilah salah satu bukti bahwa praktek kekerasan dalam keluarga masih terjadi dewasa ini.

Kekerasan Bertentangan Dengan Hakekat Perkawinan
Perkawinan dalam Gereja Katolik merupakan suatu ikatan yang suci. Gereja memandang bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup dan kasih suami isteri yang mesra yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya. Allah sendiri adalah pencipta perkawinan. Panggilan untuk perkawinan sudah terletak dalam kodrat pria dan wanita, sebagaimana mereka muncul dari tangan pencipta. Perkawinan bukanlah satu institusi manusiawi semata-mata, walaupun dalam peredaran sejarah ia sudah mengalami berbagai macam perubahan sesuai dengan kebudayaan, struktur masyarakat, dan sikap mental yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan tidak boleh membuat kita melupakan ciri-ciri perkawinan yang tetap dan umum.
Berdasarkan konsep perkawinan dalam Gereja Katolik, penulis melihat bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri termasuk tindakan mengingkari perkawinan itu sendiri. Mereka telah disatukan dalam perkawinan dan memiliki komitmen serta visi misi yang sama dalam membangun rumah tangga. Namun dalam kenyataannya janji serta komitmen tersebut dilanggar oleh salah satu pihak. Janji tersebut mereka buat untuk diri mereka sendiri, dihadapan sesama sebagai saksi, dan terutama dihadapan Tuhan sebagai pemberi dan tujuan akhir kehidupan. Memang kita tidak dapat memungkiri bahwa dalam kehidupan keluarga senantiasa terdapat perselisihan. Namun, solusi yang tepat untuk mengatasi perselisihan itu bukanlah dengan kekerasan.

Martabat Manusia Sebagai Dasar Perkawinan
Dasar kehidupan berkeluarga adalah perhormatan terhadap martabat manusia. Mengapa? Karena Manusia memiliki derajat yang luhur sebagai manusia. Derajat manusia yang luhur berasal dari Tuhan yang menciptakannya. Tuhan menciptakan manusia dengan kodratnya. Kodrat manusia bernilai tinggi, karena unik. Setiap orang tidak ada duanya. Kemanusiaan setiap manusia adalah suatu ide luhur dari Sang Pencipta yang menghendaki supaya setiap orang berkembang dan mencapai kesempurnaannya sebagai manusia. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan kekerasan dalam keluarga adalah termasuk tindakan yang merendahkan martabat manusia.


Harapan
Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur masyarakat yang dibangun atas dasar pernikah yang sakral. Pernikah adalah langkah awal proses pembentukan suatu keluarga yang terdiri atas suami, isteri dan anak. Perjanjian sakral tersebut merupakan prinsip universal yang terdapat dalam semua tradisi keagamaan. Maka untuk menjaga keharmonisan tujuan perkawinan, kesetaraan dan keadilan merupakan kondisi dinamis di mana suami-isteri memiliki hak dan kewajiban untuk saling menghormati dan menghargai. Sebab sejak awal penciptaan, manusia diciptakan sebagai pria dan wanita menurut gambar dan citra Allah ( Kej 1:26-27). Penciptaan ini sebuah peristiwa penting dan menjadi puncak dari segala ciptaan. Dalam kitab Kejadian Bab 2:18-25 Allah berfirman “Tidak baik bahwa manusia itu sendiri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya, yang sepadan dengan dia… … Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Ayat ini jelas mengatakan bahwa tidak baik jika manusia itu seorang diri saja. Manusia dari kodratnya sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain. Oleh sebab itu, ia perlu bersatu dan membentuk satu keluarga dan di antara keduanya menjadi satu daging. Gagasan satu daging bersifat antropologis, artinya bukan hanya jasmani, melainkan juga personal, sehati-sejiwa. Hal ini memberi gambaran bahwa penciptaan pria dan wanita sebagai suatu nilai yang tinggi, sehingga pria berani meninggalkan orang tuanya untuk membentuk persekutuan hidup baru dengan isterinya dan mendidik anak-anaknya.
Gagasan di atas lebih merupakan sebuah idealisme dalam menciptakan sebuah keluarga yang damai, aman, sejahtera dan bahagia. Oleh karena itu, segala bentuk kekerasan, penindasan, tirani dan perbudakan dalam keluarga adalah termasuk tindakan melawan hak asasi manusia.

Penulis
Rofinus Jas, SVD
d/a. Seminari Tingggi SVD “SURYA WACANA” Malang
Jl. Terusan Rajabasa 6 Malang-Jatim
Email: rojassvd@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar