Kamis, 05 Februari 2009

Gender


KEKERASAN DALAM KELUARGA
“Bertentangan Dengan Hakekat Perkawinan”
Rofinus Jas, SVD

Kekerasan yang dimaksudkan penulisan dalam tulisan ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri dalam kehidupan berkeluarga. Salah satu bentuk tindakan ketidakadilan dalam keluarga adalah tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri. Tindakan kekerasan tersebut bisa secara fisik, psikis, ekonomis dan seksual. Kekerasan secara fisik bisa saja dalam bentuk tindakan pemukulan oleh suami terhadap isteri. Kekerasan secara psikis, misalnya dalam bentuk sikap suami yang tidak peduli terhadap isteri, kurang mendengar, sering keluar kota dan lain-lain. Kekerasan secara ekonomis, tentu berhubungan dengan sikap suami yang tidak peduli terhadap kebutuhan ekonomi keluarga. Secara seksual jelas berhubungan dengan pemaksaan hubungan suami-isteri secara sepihak oleh suami. Karena itu penulis dalam menggagas tulisan ini, pertama-tama menemukan apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan dalam keluarga? Lalu, bagaimana penilaian moralnya dan kemudian diakhiri dengan sebuah harapan sebagai kesimpulan.

Suami Pemegang Supremasi
Kekerasan terhadap isteri biasanya terjadi karena adanya anggapan bahwa suami pemegang supremasi dalam sebuah keluarga. Fenomena tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam masyarakat. Akibatnya, isteri tidak mempunyai hak apa pun untuk menjadi pemimpin dalam keluarga. Sebaliknya, ia berhak diatur oleh suaminya sehingga pekerjaan domestik yang dibebankan kepada isteri seolah-olah identik dengan dirinya. Pekerjaan domestik yang dibebankan kepada isteri tentu dalam waktu yang tak terbatas, misalnya: memasak, mencuci, menyeterika, menjaga kebersihan dan kerapihan rumah, membimbing belajar kepada anaka-anak dan lain-lain. Beban pekerjaan isteri ditambah lagi dengan fungsi untuk reproduksi, seperti haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Sementara suami dengan peran publik tidak bertanggungjawab terhadap beban domestik tersebut, karena itu hanya layak dikerjakan oleh perempuan atau isteri.

Stereotype Terhadap Perempuan
Pelabelan atau penandaan yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin kerapkali menimbulkan kesan negatif terhadap perempuan atau isteri. Pandangan stereotype terhadap perempuan jelas merupakan tindakan kekerasan dalam keluarga dan termasuk tindakan ketidakadilan gender. Perempuan kerapkali dinilai sebagai pribadi yang lemah fisik maupun intelektual, sehingga tidak layak untuk menjadi pemimpin karena sarat dengan keterbatasan tidak sebagai mana yang dimiliki laki-laki. Pandangan stereotype semacam ini menyebabkan perempuan mudah diperdayakan, mudah menyerah, inferior, tidak memiliki semangat mandiri dan tidak bisa mengambil keputusan terbaik untuk dirinya sendiri. Sebuah pandangan yang tidak adil bahwa isteri bersifat irrasional, emosional, lemah menyebabkan peran isteri dalam kelurga tidak penting. Potensi isteri sering dinilai tidak fair oleh sebagian masyarakat, mengakibatkan sulitnya mereka menembus posisi strategis dalam masyarakat. Inilah salah satu bukti bahwa praktek kekerasan dalam keluarga masih terjadi dewasa ini.

Kekerasan Bertentangan Dengan Hakekat Perkawinan
Perkawinan dalam Gereja Katolik merupakan suatu ikatan yang suci. Gereja memandang bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup dan kasih suami isteri yang mesra yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya. Allah sendiri adalah pencipta perkawinan. Panggilan untuk perkawinan sudah terletak dalam kodrat pria dan wanita, sebagaimana mereka muncul dari tangan pencipta. Perkawinan bukanlah satu institusi manusiawi semata-mata, walaupun dalam peredaran sejarah ia sudah mengalami berbagai macam perubahan sesuai dengan kebudayaan, struktur masyarakat, dan sikap mental yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan tidak boleh membuat kita melupakan ciri-ciri perkawinan yang tetap dan umum.
Berdasarkan konsep perkawinan dalam Gereja Katolik, penulis melihat bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri termasuk tindakan mengingkari perkawinan itu sendiri. Mereka telah disatukan dalam perkawinan dan memiliki komitmen serta visi misi yang sama dalam membangun rumah tangga. Namun dalam kenyataannya janji serta komitmen tersebut dilanggar oleh salah satu pihak. Janji tersebut mereka buat untuk diri mereka sendiri, dihadapan sesama sebagai saksi, dan terutama dihadapan Tuhan sebagai pemberi dan tujuan akhir kehidupan. Memang kita tidak dapat memungkiri bahwa dalam kehidupan keluarga senantiasa terdapat perselisihan. Namun, solusi yang tepat untuk mengatasi perselisihan itu bukanlah dengan kekerasan.

Martabat Manusia Sebagai Dasar Perkawinan
Dasar kehidupan berkeluarga adalah perhormatan terhadap martabat manusia. Mengapa? Karena Manusia memiliki derajat yang luhur sebagai manusia. Derajat manusia yang luhur berasal dari Tuhan yang menciptakannya. Tuhan menciptakan manusia dengan kodratnya. Kodrat manusia bernilai tinggi, karena unik. Setiap orang tidak ada duanya. Kemanusiaan setiap manusia adalah suatu ide luhur dari Sang Pencipta yang menghendaki supaya setiap orang berkembang dan mencapai kesempurnaannya sebagai manusia. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan kekerasan dalam keluarga adalah termasuk tindakan yang merendahkan martabat manusia.


Harapan
Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur masyarakat yang dibangun atas dasar pernikah yang sakral. Pernikah adalah langkah awal proses pembentukan suatu keluarga yang terdiri atas suami, isteri dan anak. Perjanjian sakral tersebut merupakan prinsip universal yang terdapat dalam semua tradisi keagamaan. Maka untuk menjaga keharmonisan tujuan perkawinan, kesetaraan dan keadilan merupakan kondisi dinamis di mana suami-isteri memiliki hak dan kewajiban untuk saling menghormati dan menghargai. Sebab sejak awal penciptaan, manusia diciptakan sebagai pria dan wanita menurut gambar dan citra Allah ( Kej 1:26-27). Penciptaan ini sebuah peristiwa penting dan menjadi puncak dari segala ciptaan. Dalam kitab Kejadian Bab 2:18-25 Allah berfirman “Tidak baik bahwa manusia itu sendiri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya, yang sepadan dengan dia… … Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Ayat ini jelas mengatakan bahwa tidak baik jika manusia itu seorang diri saja. Manusia dari kodratnya sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain. Oleh sebab itu, ia perlu bersatu dan membentuk satu keluarga dan di antara keduanya menjadi satu daging. Gagasan satu daging bersifat antropologis, artinya bukan hanya jasmani, melainkan juga personal, sehati-sejiwa. Hal ini memberi gambaran bahwa penciptaan pria dan wanita sebagai suatu nilai yang tinggi, sehingga pria berani meninggalkan orang tuanya untuk membentuk persekutuan hidup baru dengan isterinya dan mendidik anak-anaknya.
Gagasan di atas lebih merupakan sebuah idealisme dalam menciptakan sebuah keluarga yang damai, aman, sejahtera dan bahagia. Oleh karena itu, segala bentuk kekerasan, penindasan, tirani dan perbudakan dalam keluarga adalah termasuk tindakan melawan hak asasi manusia.

Penulis
Rofinus Jas, SVD
d/a. Seminari Tingggi SVD “SURYA WACANA” Malang
Jl. Terusan Rajabasa 6 Malang-Jatim
Email: rojassvd@yahoo.com

Minggu, 01 Februari 2009

Cerita bermakna



CERITA AMSAL
Rofinus Jas, SVD

Amsal 11:12
Anton adalah salah satu teman kelas kami waktu SMA. Anton termasuk orang yang sangat terkenal di kelas kami. Dia terkenal, karena setiap kali ada diskusi, Anton selalu tampil percaya diri. Dia sangat berani melontarkan pendapat-pendapat yang kerapkali menyimpang dari tema yang sedang dibicarakan. Akibatnya, setiap kali ada diskusi, pasti ada perdebatan yang menimbulkan masalah. Banyak argument Anton yang dinilai oleh teman-teman diskusi sebenarnya tidak benar. Namun Anton selalu membela diri dan merasa argumennya benar dihadapan forum. Ia kerapkali melontarkan pendapat yang kerap memunculkan persoalan baru. Dia juga terkenal sombong oleh teman-teman. Ia sok pintar, hebat, bahkan merasa lebih pintar dari teman yang lain. Ia juga suka mengolok-olok teman yang dianggap bodoh. Anton tidak sadar bahwa sebenarnya banyak teman yang lebih pandai dari dia di kelas kami, tetapi cenderung berdiam diri, tidak sombong, suka menghargai teman-teman yang lain, tidak berbicara sembarangan dan tidak sok pintar. Benar kata pemazmur mengatakan: “siapa yang menghina sesamanya, tidak berakal budi tetapi orang pandai berdiam diri”(Ams 11:12)

Amsal 16:2
Sr. Yunita pada waktu mudanya, terkenal suka membantu orang miskin. Ia suka meminta sumbangan, baik berupa uang maupun berupa barang-barang kepada donatur-donatur untuk membantu orang miskin. Ia kerapkali membuat proposal-proposal kepada pihak paroki, keuskupan maupun pihak pemerintah dengan intensi membantu orang miskin. Dalam waktu senggang, ia selalu mengunjungi orang-orang miskin di pinggir kota. Bagi Sr. Yunita, pekerjaan membantu orang miskin adalah pekerjaan yang sangat mulia. Dia menganggap pekerjaan membantu orang miskin yang paling baik dan paling bijak. Dia gemar membagi sembako kepada orang miskin. Dia aktif menjadi tim relavan membantu korban banjir, gempa, Lumpur lapindo dan lain-lain. Dia sering kali diundang untuk memberikan kesaksian agar orang tergugah membantu orang miskin. Dia rajin mengumpul data-data orang miskin dan kemudian ia memohon bantuan kepada donatur agar membantu orang miskin dan lain sebagainya. Dia sering menulis di koran tentang apa ia lakukan selama membantu orang miskin dan lain-lain.
Namun sayangnya, ia jatuh pada kesombongan dirinya. Bayangkan, Ia tak segan-segan memotong 25% dari setiap sumbangan yang didapatnya dari donator-donatur untuk kepentingan dirinya sendiri dan keluarganya. Bagi dia, itu hal biasa yang selalu ia lakukan selama ia mencari sumbangan kepada donatur. Anehnya, Sr. Yunita sama sekali tidak merasa bersalah bahkan perbuatan semacam itu wajar-wajar saja bahkan ia mengatakan setiap pekerja patuh mendapat upahnya. Benar kata Pemazmur mengatakan: “Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangan sendiri, tetapi TUHAN yang menguji hati” (Ams 16:2)

Ams 19:4
Ada seorang yang sangat terkenal di desa kami. Ia bernama pak Yanto. Ia terkenal karena ia termasuk salah satu juragan kopi yang terkenal. Ia termasuk pembisnis yang sangat jitu melihat peluang dalam berbisnis. Setiap kali ia membuka usaha baru, ia selalu berhasil. Ia memiliki 60 hektar kebun kopi. Disamping itu, ia memiliki toko besi, memiliki restoran dan angkuntan umum. Tiap hari banyak orang datang ke rumahnya, baik kalangan petani yang hendak menjual kopi, polisi yang hendak menjaga usahanya, kalangan pejabat bahkan banyak biarawan yang sering bertamu ke rumahnya. Sebagai seorang katolik yang baik, ia membangun sebuah kapel mewah yang kerapkali digunakan untuk sembayang hari minggu. Ia sangat rajin ikut ibadat hari minggu. Ia juga termasuk donatur utama bagi seminari di desa kami. Apa pun kebutuhan untuk kepentingan gereja di desa kami, selalu ia penuhi. Ia sangat dermawan. Karena itu, ia sangat dikagumi oleh banyak orang di desa kami. Bukan hanya kalangan orang desa yang menghargai dia, tetapi kalangan pejabat bahkan kalangan biarawan pun sangat menghargai dia. Apa pun dia katakan, orang selalu mendengar dia dan percaya.
Siapa pun kalau menyebut nama pak Yanto di kabupaten kami, pasti orang langsung kenal. Bahkan siapa pun yang memiliki hubungan keluarga dengan dia, orang pasti menghargai mereka. Jika ada masalah yang berhubungan dia, orang pasti takut, karena ia memiliki kroni-kroni yang membantu dia. Pokoknya jika ada masalah apa pun yang berkaitan dengan pak Yanto, pasti ia selalu menang. Konon, ia memiliki kaki tangan yang tersebar di mana-mana. Ia sangat terkenal dan sangat disegani oleh banyak orang. Sehingga jangan heran jika tiap hari di rumanhnya selalu kerumuni banyak orang. Dia memiliki banyak karyawan, banyak kroni-kroni yang selalu berkunjung ke rumahnya. Setiap hari selalu ada pesta di rumahnya. Dia juga seringkali mengundang pastor paroki makan di rumahnya. Bahkan jika pastor parokinya “Berulang Tahun” pasti selalu dirayakan dirumahnya. Setiap hari minggu setelah sembayang, biasanya banyak Frater dan Suster singgah di rumahnya bahkan mereka selalu dijamu makan siang sebelum pulang ke Biara mereka masing-masing. Pokoknya pak Yanto terkenal sangat baik oleh siapa pun. Ia memiliki banyak sahabat dan kenalan.
Namun disisi lain, desa kami juga terkenal banyak orang miskin. Mereka biasanya menjadi buruh pak Yanto. Apa pun yang hasilkan dari ladang mereka selalu menjual kepada pak Yanto dengan harga sesuai apa yang ditetapkan pak Yanto. Mereka hidup sangat sederhana, rumah beratap alang-alang dan berdinding bambu. Jika ada kebutuhan yang mendesak, mereka selalu meminjam uang kepada pak Yanto dengan bunga yang cukup tinggi. Biasanya mereka meminjam uang kepada pak Yanto pada saat-saat belum panen dan kebutuhan anak-anak sekolah. Mungkin karena mereka miskin, jarang sekali orang berkunjung ke rumah mereka. Setiap kali ada kunjungan pastor paroki, tidak pernah ada kunjungan ke rumah mereka. Para Frater dan Suster pun, jika ada jadwal kunjungan di desa kami, tidak pernah mereka singgah di rumah orang-orang desa di situ. Mereka biasanya tidur dan nyinap di rumah Yanto. Mereka tidak peduli dengan orang miskin di desa kami. Mereka tidak peduli oleh banyak orang. Bahkan sanak saudara mereka yang datang dari kota, mereka kerap tidur di rumah pak Yanto. Benar kata Amsal mengatakan “Kekayaan menambah banyak sahabat tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya” (Ams 19:4).

Ams 27:17
Manusia adalah mahluk sosial. Manusia tidak pernah hidup sendiri. Ia pasti hidup bersama orang lain dan membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Manusia bertumbuh dan berkembang karena ada orang lain. Orang tidak bisa bertumbuh dan berkembang tanpa orang lain. Oleh karena itu, lingkungan, orangtua, saudara, teman dan orang lain sangat membantu seorang manusia dapat berkembang. Dengan pergaulan dengan orang lain, kita belajar banyak tentang kehidupan ini. Kita akan menemukan makna kehidupan ini karena ada orang lain yang membantu kita. Kehadiran orang lain sangat menentu kehidupan kita. Kita tidak boleh sombong mengatakan bahwa saya tidak membutuhkan orang lain dalam kehidupan ini. Kita bertumbuh dan berkembang secara baik dan benar sangat tergantung dengan siapa kita bergaul. Jika kita bergaul dengan orang yang baik, pasti kita baik. Sebaliknya, jika kita bergaul dengan orang jahat pasti kita ikut jahat. Oleh karena itu, kita dapat bertumbuh dan berkembang menjadi manusia bijak, berkat hasil pergaulan kita dengan orang lain. Maka kehadiran orang lain, sangat membantu kita, menjadi manusia yang bijaksana.
Sebagai contoh konkret, ada dua orang gadis bernama Marta dan Mia di kampung kami. Marta termasuk gadis beruntung karena ia berasal dari keluarga yang baik. Keluarganya sangat beriman dan taat beragama, rajin ke gereja, doa lingkungan dan memiliki kebiasaan selalu doa bersama keluarga sebelum tidur serta suka membantu orang lain. Warisan kebaikan keluarga inilah yang diteruskan Marta dalam hidupnya. Sehingga ketika ia kuliah di Jakarta, ia menerus kebiasaan baik keluraganya, rajin sembayang, suka membantu orang lain dan akhirnya ia berhasil. Pokoknya ia tergolong anak yang beruntung dalam hidupnya. Sementara Mia berasal dari keluarga bermasalahan. Orangtuanya bercerai sehingga sejak kecil ia tinggal bersama neneknya. Semenjak kecil, Mia memang tidak pernah merasakan bagaimana kasih sayang dari orangtuanya. Akibatnya, ia jatuh pada pergaulan bebas dan akhirnya hamil diluar nikah. Pacarnya tidak mau bertanggung jawab dan membiarkan Mia memelihara anak hasil hubungan gelap mereka. Mia merasa hidupnya hancur dan akhirnya ia memutus anaknya diadopsikan kepada orang lain. Maka benar apa yang dikatakan dalam Amsal “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya” (Ams 27:17).

Ams 29:1
Namun dilain-pihak, banyak orang kurang memperhatikan orang lain. Kehadiran orang lain, kerap tidak dipedulikannya. Ada orang yang tidak suka dinasehati oleh orang lain. Sebagai contoh Wawan. Wawan terkenal suka mengotot dalam hal berargumen, meskipun argumennya itu salah. Dia suka sekali mempertahankan pendapatnya yang salah. Ia tidak peduli teguran orang lain. Ia keras kepala dan sulit sekali menerima pendapat orang lain. Meskipun kita menunjukkan point-point kesalahannya, ia tetap ngotot mempertahankan pendapatnya. Sebagai contoh pada bulan yang lalu, ia mendapat tugas seminar Misiologi dan akan dipresentasikan dihadapan Dosen mata kuliah tersebut. Dalam makalahnya, kami melihat apa yang dia tulis sebenar salah. Kami mencoba membantu dia untuk memperbaiki makalahnya, karena makalah yang dia siapkan itu salah. Kami menasihati agar makalah yang dibuatnya harus direvisi kembali. Sebab isi makalah yang dibuat banyak sekali kesalahan-kesalahan, baik metode penulisannya, bahasa dan isi makalahnya. Namun ia tidak peduli pendapat kami. Ia tetap ngotot bahwa apa yang dia tulis dalam makalahnya benar. Akibatnya, ketika makalahnya dipresentasikan, banyak pertanyaan muncul dan ia tidak bisa mempertanggungjawabkannya. Akhirnya, ia tidak lulus. Benar bahwa “Siapa bersitegang lehernya, walaupun telah mendapat teguran, akan sekonyong-konyong diremukkan tanpa dapat dipulihkan lagi” (Ams 29:1).

Kompas 2


NATAL MEMBAWA PANJI “OMNES IN UNITATEM”
Rofinus Jas, SVD
Di tengah-tengah krisis global yang sedang melanda dunia saat ini, banyak orang mengalami penderitaan, takut, cemas karena memandang masa depan yang suram. Tidak menentunya kondisi ekonomi, harga-harga kebutuhan hidup yang merangkak naik, tingginya biaya pendidikan, dan sulitnya mendapatkan pekerjaan, membuat banyak orang kehilangan harapan. Bangsa Indonesia saat ini boleh dikatakan mengalami kemerosotan di segala bidang, terutama kemerosotan akhlak, tumpulnya hati nurani, dan terganggunya komunikasi; kemelaratan, pelanggaran hak azasi manusia, kekerasan dan kerusuhan merupakan menu pokok pemberitaan media massa setiap hari (bdk. Surat Gembala Prapaska Keuskupan Bogor 2004). Bangsa kita terjerumus dalam berbagai konflik, seperti konflik kepentingan, politik, suku, agama, ekonomi, sosial, dan lain lain. Bangsa Indonesia belum sepenuhnya bersatu. Berbagai perbedaan seringkali tidak dipandang sebagai kekayaan tetapi justru sebagai alasan untuk memisahkan diri dari yang lain. Akibatnya, perbedaan seringkali berakhir dengan pertentangan dan perpecahan.
Habitus Lama Menuju Habitus Baru
Bangkrut keuangan global dan krisis politik di tanah air, melahirkan ketidakpastian masa depan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketidakpastian dan tantangan dalam pelbagai ragam masalah di negeri ini, menyebabkan banyak orang mengalami multi krisis. Multi krisis itu terjadi karena ketidakadaban sebagian besar warga Negara yang masih hidup dalam habitus lama. Salah satu penyebab situasi keterpurukan di atas adalah mengakarnya korupsi di tanah air, bahkan telah menjadi budaya dan dianggap lumrah. Korupsi merupakan perbuatan buruk, curang, merampas, dan mencuri milik orang lain secara tersembunyi dan terencana, perbuatan yang merusak keadilan, menghancurkan keseimbangan hidup bersama, tak bermoral dan melanggar norma-norma agama. Akibatnya, tata kehidupan bersama negara ini mengalami kegoncangan yang luar biasa dasyatnya.
Karena itu, seluruh lapisan masyarakat diajak untuk bangkit menuju habitus baru yang lebih baik, lebih beradab, dan membangun suatu pola tingkah laku yang baru. Seluruh lapisan masyarakat berupaya sedapat mungkin untuk memperbarui diri secara batin, dan mengungkapkan pembaruan itu dalam sikap saling mengasihi dan saling berbagi, dalam kata dan perbuatan nyata. Azas kekeluargaan dan kasih persaudaraan sejati, menjadi acuan hidup bersama negara Indonesia yang sangat multikultural saat ini. Dalam persekutuan yang berlandaskan persaudaraan sejati, solider dan dialogal dan bekerja sama dengan semua orang tanpa membeda-bedakan, akan mengubah wajah masyarakat yang penuh konflik menunju masyarakat yang aman dan damai.

Natal Membawa Damai Menuju “Omnes in Unitatem”
Bangsa Indonesia, sudah sejak lama merindukan kehidupan bersama yang penuh damai sejahtera. Kehidupan damai sejahtera ini hanya dapat terwujud bila seluruh warga negara Indonesia bersatu. Semua orang pasti merindukan keadaan damai yang memberi rasa aman tanpa membedakan suku, agama, ras, dan afiliasi politik. Rasa aman itu membuat warga negara dapat bekerja sama untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan rasa aman itu, seluruh warga negara dapat menjalin relasi tanpa merasa terancam, tertekan, atau dikucilkan. Dengan demikian, ungkapan “Omnes in Unitatem”, hendaknya mau mengumpulkan keterceceran dan keberbedaan suku bangsa dan agama di negara ini. Bahwa pada hakekatnya bangsa Indonesia “Semuanya menuju kesatuan”. Maka kedatangan Yesus di dunia ini adalah untuk mendamaikan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya. Ia merombak tembok pemisah dan membangun persekutuan baru, yang kokoh dan tangguh, yang bersumber dan berakar di dalam diri-Nya (bdk. Ef. 2:14, dst.) (bdk. pesan natal PGI dan KWI, 2008). Karena itu, peristiwa Natal dapat menjadi petunjuk bagi mereka yang rindu untuk hidup dalam damai, khususnya dalam keadaan dewasa ini yang diwarnai ketegangan dan kecenderungan untuk mementingkan diri atau kelompok sendiri. Dengan kata lain, Natal membawa “Syallom” dan mengusahakan “Syallom” itu yang tidak lain adalah membangun persaudaraan sejati. Kebhinekaan suku dan agama di negara ini, tidak mestinya diseragamkan menjadi monolit dalam satu wadah agama tertentu saja, tetapi justru dirayakan sebagai suatu anugerah dari Allah di negara ini.
Penulis
Rofinus Jas, SVD
Rohaniwan, Mahasiswa Program Magister Humaniora STFT Widyasasana Malang, Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa STFT Widyasasana Malang(BPM).

d/a Seminari Tinggi SVD “Surya Wacana” Malang
Jl. Terusan Rajabasa 6 Malang -Jatim

Kompas 1


PENGGUSURAN GUBUK ORANG MISKIN BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA
Rofinus Jas, SVD
Kompas, Rabu tanggal 8/10, diberitakan sekitar 200 gubuk liar di Taman Bersih, Manusiawi dan Berwibawa (BMW) digusur secara paksa oleh petugas Tamtib Tanjung Prikok, Jakarta Utara. Banyak warga yang berontak bahkan ada yang terluka karena digebuki ramai-ramai oleh petugas Tamtib. Ada yang membuka pakaian hingga telanjang menghalangi petugas pengusuran. Ada yang menangis dan berdiam diri karena tidak bisa berbuat apa-apa menghalangi kekejaman petugas pemerintah.

Melanggar Hak Asasi Manusia
Pengusuran secara paksa terhadap rumah atau gubuk orang miskin adalah sebuah tindakan melanggar hak asasi manusia. Disebut melanggar hak asasi manusia, karena itu adalah sebuah tindakan mematikan manusia secara perlahan-lahan. Pelanggaran hak asasi manusia karena itu dilakukan secara paksa dan sepihak oleh pemerintah. Pemerintah tidak kompromis melakukan tindakan tersebut. Buktinya banyak korban pengusuran binggung harus pindah kemana. Sementara mereka sekarang bertahan di sisi rel kereta api ruas Anco-Tangjung Priok. Banyak warga yang menyesalkan tindakan petugas. Apalagi petugas tidak menyediakan angkutan gratis untuk warga yang hendak berpindah, juga tidak ada tawaran solusi untuk tinggal di rumah susun yang disiapkan pemerintah(Kompas 9/10). Jelas-jelas ini adalah sebuah tindakan melanggar hak asasi manusia. Sebab penggusuran terhadap gubuk atau rumah orang miskin adalah sebuah tindakan melanggar hak hidup itu sendiri. Sebab hak hidup itu ada dari kodratnya sebagai manusia. Oleh karena itu, hak hidup adalah hak yang tidak bisa dilenyapkan, digusur, dikorbankan, demi kepentingan apa pun dan oleh kuasa mana pun. Karena itu pemerintah mestinya harus memiliki sikap kompromis dalam melakukan tindakan pengusuran tersebut.

Bertentangan Keadilan
Tindakan pengusuran terhadap rumah-rumah liar secara paksa di lokasi BMW adalah sebuah tindakan melawan keadilan. Hal ini dapat kita lihat dari arti etimologisnya; bahasa Latin: ius berarti hak sedangkan iustitia berarti keadilan. Keadilan berarti bersifat perbuatan, perlakuan yang adil, tidak berat sebelah dan pengakuan terhadap hak orang lain secara sah. Maka tindakan pengusuran rumah liar BMW termasuk tindakan kekejian merendahkan martabat manusia. Mengapa? Karena melakukan tindakan ketidakadilan adalah salah satu wujud konkret melawan hak asasi manusia.
Pemerintah mestinya menciptakan ”Bonum Commune” dalam tatanan hidup bersama sebuah negara sebagai bentuk konkret tindakan keadilan. Maka tindakan penggusuran adalah sebuah tindakan merusak tatanan hidupan bersama. Kesejateraan bersama akan mengalami gangguan dan bonum commune tidak mungkin terwujud, jika pemerintah menjadi dalang utama penggusuran tersebut. Pemerintah mestinya memiliki visi-misi untuk mengatur tata hidup bersama yang membawa damai, bukan memunculkan kembali rezim diktatorial yang melahirkan sikap kejam membabi-buta masyarakat miskin.

Pemerintah Berhenti Menindas Rakyat
Rakyat sekarang butuh makan, perlu aman, rindu damai, ingin sejahtera.Maka para pelaku ekonomi, elite politik dan pemegang roda pemerintah, berhenti menindas rakyat. Sangat ironis bahwa sementara harga BBM naik, justru para pemegang saham dan konglomerat diperlunakan pembayaran utangnya kepada pemerintah. Persis di sinilah tergambar sebuah kebijakan yang tidak adil dan mencekik rakyat. Pemerintah menjadi pelaku utama penjarahan terhadap hak rakyat. Segala kebijakan yang mencekik rakyat sama saja membunuh rakyat dan secara tak langsung membunuh bangsa itu sendiri.
Dalam kesadaran itu, baiklah semua pihak atau pemerintah bergandengan-tangan membangun solidaritas universal mendahulukan orang miskin dan mengembangkan perubahan-perubahan sikap maupun struktur dengan jalan tanpa kekerasan. Yang dibutuhkan rakyat adalah tindakan pemerintah yang kompromis bukan ketertindasan. Kerinduan rakyat adalah damai dan harmoni kehidupan. Tidak berlebihan jika rakyat membutuhkan partai yang membela hak orang kecil.
Penulis
Rofinus Jas
Mahasiswa Program Magister Humaniora STFT Widya Sasana Malang. Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), rohaniwan dan aktivis pemerhati kehidupan sosial masyarakat.

Keluarga 1


KEKERASAN DALAM KELUARGA
“Bertentangan Dengan Hakekat Perkawinan”
Rofinus Jas, SVD

Kekerasan yang dimaksudkan penulisan dalam tulisan ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri dalam kehidupan berkeluarga. Salah satu bentuk tindakan ketidakadilan dalam keluarga adalah tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri. Tindakan kekerasan tersebut bisa secara fisik, psikis, ekonomis dan seksual. Kekerasan secara fisik bisa saja dalam bentuk tindakan pemukulan oleh suami terhadap isteri. Kekerasan secara psikis, misalnya dalam bentuk sikap suami yang tidak peduli terhadap isteri, kurang mendengar, sering keluar kota dan lain-lain. Kekerasan secara ekonomis, tentu berhubungan dengan sikap suami yang tidak peduli terhadap kebutuhan ekonomi keluarga. Secara seksual jelas berhubungan dengan pemaksaan hubungan suami-isteri secara sepihak oleh suami. Karena itu penulis dalam menggagas tulisan ini, pertama-tama menemukan apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan dalam keluarga? Lalu, bagaimana penilaian moralnya dan kemudian diakhiri dengan sebuah harapan sebagai kesimpulan.

Suami Pemegang Supremasi
Kekerasan terhadap isteri biasanya terjadi karena adanya anggapan bahwa suami pemegang supremasi dalam sebuah keluarga. Fenomena tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam masyarakat. Akibatnya, isteri tidak mempunyai hak apa pun untuk menjadi pemimpin dalam keluarga. Sebaliknya, ia berhak diatur oleh suaminya sehingga pekerjaan domestik yang dibebankan kepada isteri seolah-olah identik dengan dirinya. Pekerjaan domestik yang dibebankan kepada isteri tentu dalam waktu yang tak terbatas, misalnya: memasak, mencuci, menyeterika, menjaga kebersihan dan kerapihan rumah, membimbing belajar kepada anaka-anak dan lain-lain. Beban pekerjaan isteri ditambah lagi dengan fungsi untuk reproduksi, seperti haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Sementara suami dengan peran publik tidak bertanggungjawab terhadap beban domestik tersebut, karena itu hanya layak dikerjakan oleh perempuan atau isteri.

Stereotype Terhadap Perempuan
Pelabelan atau penandaan yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin kerapkali menimbulkan kesan negatif terhadap perempuan atau isteri. Pandangan stereotype terhadap perempuan jelas merupakan tindakan kekerasan dalam keluarga dan termasuk tindakan ketidakadilan gender. Perempuan kerapkali dinilai sebagai pribadi yang lemah fisik maupun intelektual, sehingga tidak layak untuk menjadi pemimpin karena sarat dengan keterbatasan tidak sebagai mana yang dimiliki laki-laki. Pandangan stereotype semacam ini menyebabkan perempuan mudah diperdayakan, mudah menyerah, inferior, tidak memiliki semangat mandiri dan tidak bisa mengambil keputusan terbaik untuk dirinya sendiri. Sebuah pandangan yang tidak adil bahwa isteri bersifat irrasional, emosional, lemah menyebabkan peran isteri dalam kelurga tidak penting. Potensi isteri sering dinilai tidak fair oleh sebagian masyarakat, mengakibatkan sulitnya mereka menembus posisi strategis dalam masyarakat. Inilah salah satu bukti bahwa praktek kekerasan dalam keluarga masih terjadi dewasa ini.

Kekerasan Bertentangan Dengan Hakekat Perkawinan
Perkawinan dalam Gereja Katolik merupakan suatu ikatan yang suci. Gereja memandang bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup dan kasih suami isteri yang mesra yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya. Allah sendiri adalah pencipta perkawinan. Panggilan untuk perkawinan sudah terletak dalam kodrat pria dan wanita, sebagaimana mereka muncul dari tangan pencipta. Perkawinan bukanlah satu institusi manusiawi semata-mata, walaupun dalam peredaran sejarah ia sudah mengalami berbagai macam perubahan sesuai dengan kebudayaan, struktur masyarakat, dan sikap mental yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan tidak boleh membuat kita melupakan ciri-ciri perkawinan yang tetap dan umum.
Berdasarkan konsep perkawinan dalam Gereja Katolik, penulis melihat bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri termasuk tindakan mengingkari perkawinan itu sendiri. Mereka telah disatukan dalam perkawinan dan memiliki komitmen serta visi misi yang sama dalam membangun rumah tangga. Namun dalam kenyataannya janji serta komitmen tersebut dilanggar oleh salah satu pihak. Janji tersebut mereka buat untuk diri mereka sendiri, dihadapan sesama sebagai saksi, dan terutama dihadapan Tuhan sebagai pemberi dan tujuan akhir kehidupan. Memang kita tidak dapat memungkiri bahwa dalam kehidupan keluarga senantiasa terdapat perselisihan. Namun, solusi yang tepat untuk mengatasi perselisihan itu bukanlah dengan kekerasan.

Martabat Manusia Sebagai Dasar Perkawinan
Dasar kehidupan berkeluarga adalah perhormatan terhadap martabat manusia. Mengapa? Karena Manusia memiliki derajat yang luhur sebagai manusia. Derajat manusia yang luhur berasal dari Tuhan yang menciptakannya. Tuhan menciptakan manusia dengan kodratnya. Kodrat manusia bernilai tinggi, karena unik. Setiap orang tidak ada duanya. Kemanusiaan setiap manusia adalah suatu ide luhur dari Sang Pencipta yang menghendaki supaya setiap orang berkembang dan mencapai kesempurnaannya sebagai manusia. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan kekerasan dalam keluarga adalah termasuk tindakan yang merendahkan martabat manusia.


Harapan
Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur masyarakat yang dibangun atas dasar pernikah yang sakral. Pernikah adalah langkah awal proses pembentukan suatu keluarga yang terdiri atas suami, isteri dan anak. Perjanjian sakral tersebut merupakan prinsip universal yang terdapat dalam semua tradisi keagamaan. Maka untuk menjaga keharmonisan tujuan perkawinan, kesetaraan dan keadilan merupakan kondisi dinamis di mana suami-isteri memiliki hak dan kewajiban untuk saling menghormati dan menghargai. Sebab sejak awal penciptaan, manusia diciptakan sebagai pria dan wanita menurut gambar dan citra Allah ( Kej 1:26-27). Penciptaan ini sebuah peristiwa penting dan menjadi puncak dari segala ciptaan. Dalam kitab Kejadian Bab 2:18-25 Allah berfirman “Tidak baik bahwa manusia itu sendiri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya, yang sepadan dengan dia… … Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Ayat ini jelas mengatakan bahwa tidak baik jika manusia itu seorang diri saja. Manusia dari kodratnya sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain. Oleh sebab itu, ia perlu bersatu dan membentuk satu keluarga dan di antara keduanya menjadi satu daging. Gagasan satu daging bersifat antropologis, artinya bukan hanya jasmani, melainkan juga personal, sehati-sejiwa. Hal ini memberi gambaran bahwa penciptaan pria dan wanita sebagai suatu nilai yang tinggi, sehingga pria berani meninggalkan orang tuanya untuk membentuk persekutuan hidup baru dengan isterinya dan mendidik anak-anaknya.
Gagasan di atas lebih merupakan sebuah idealisme dalam menciptakan sebuah keluarga yang damai, aman, sejahtera dan bahagia. Oleh karena itu, segala bentuk kekerasan, penindasan, tirani dan perbudakan dalam keluarga adalah termasuk tindakan melawan hak asasi manusia.

Penulis
Rofinus Jas, SVD
d/a. Seminari Tingggi SVD “SURYA WACANA” Malang
Jl. Terusan Rajabasa 6 Malang-Jatim
Email: rojassvd@yahoo.com

Jumat, 30 Januari 2009

Moral 1


APAKAH SETIAP ORANG MEMPUNYAI KEWAJIBAN MENGHENTIKAN ABORSI
Rofinus Jas

1. Permasalahan
Ada seorang perempuan dan berkerja sebagai perawat. Selaku sebagai seorang feminis, ia sadar menerima ajaran Gereja bahwa aborsi adalah suatu tindakan yang salah. Ia memahami aborsi adalah termasuk tindakan pembunuhan. Maka, aborsi tidak bisa dilegalkan. Namun persoalannya bahwa dalam prakteknya, aborsi seolah-olah dilegalkan. Dia mengambil contoh di antara dua temannya. Ia merasa bingung karena di antara dua temannya, ada yang berusaha melakukan tindakan keselamatan supaya tidak terjadi perbuatan aborsi, sebaliknya teman yang lainnya justru melakukan praktek aborsi. Akibatnya, teman-temannya menuduh dia dan menganggap dia gagal menentang aborsi.
Namun perawat tersebut, tetap yakin bahwa aborsi tidak bisa dibenarkan karena termasuk tindakan pembunuhan. Namun di lain pihak, ia kebinggungan. Ia mengambil contoh; seandainya pada suatu ketika ada seorang berlaku kasar terhadap anak kecil dengan mengunakan tongkat baseball. Perawat itu berusaha menghentikan tindakan kekerasan tersebut dengan mengunakan pistolnya, dengan harapan orang tersebut menghentikan tindakannya. Tetapi kenyataannya, orang tersebut justru membentak dan memukul perawat tersebut. Tentu dalam hal ini, perawat tersebut dibenarkan jika seandainya terjadi penembakan. Perawat tersebut yakin bahwa pembunuhan terhadap orang yang melakukan tindakan berutal, bisa dibenarkan. Namun perawat tersebut tetap merasa binggung, sebab baik aborsi maupun penembakan terhadap orang brutal, kedua-duanya termasuk tindakan pembunuhan.

2. Perumusan Masalah
Permasalahan utama dalam kasus di atas adalah soal kebingungan, terutama atas “tuduhan” temannya, bahwa ia “gagal” menentang aborsi. Pertanyaannya; Dimanakah letak kehormatan, kebenaran dan kesetiaan perawat tersebut dalam kasus ini? Di satu sisi, perawat tersebut, yakin bahwa aborsi adalah tindakan pembunuhan dan memang negara tidak melegalkan aborsi. Apalagi ia juga didukung oleh ajaran Gereja bahwa aborsi adalah suatu kesalahan. Di lain pihak, kenyataan dalam praktek kesehariannya, justru aborsi seolah-olah dilegalkan. Di tengah kebingungan ini, ia dituduh dan diejek teman-temannya, karena dianggap gagal menentang aborsi. Di sisi lain, ia juga dihadapkan pada persoalan pembunuhan kepada orang yang brutal padanya. Bagi dia, pembunuhan terhadap orang yang brutal padanya tetap dibenarkan. Namun permasalahannya; baik aborsi maupun penembakan terhadap orang brutal padanya, sama-sama melakukan pembunuhan. Bagaimana cara mengatasi kebingungan si perawat tersebut ditinjau dari moral; kehormatan, kebenaran dan kesetiaan?

3. Analisis Permasalahan
Dalam menganalisis masalah ini; pertama-tama kita harus memahami apa itu kebingungan dalam konteks masalah ini. Apa sebabnya, mengapa ia bingung?

Sebab-sebab Kebingungan
1. Ia dituduh dan diejek teman-temannya, karena dianggap gagal menentang aborsi.
2. Ia bingung karena disatu sisi negara tidak melegalkan aborsi, tetapi dalam prakteknya seolah-olah aborsi dilegalkan
3. Ia takut kehilangan teman yang menyetujui aborsi.
4. Ia takut melawan kebiasaan bahwa melakukan aborsi adalah suatu hal biasa meskipun tidak dilegalkan.
5. Ia tidak bisa membedakan tindakan pembunuhan karena aborsi dengan pembunuhan terhadap orang yang melakukan brutal kepada dirinya.

5. Pembahasan
Sebelum kita menggagas masalah ini ditinjau dari teologi moral; kehormatan, kebenaran dan kesetiaan. Pertama-tama kita harus mengupas masalah ini menurut teks.
5.1. Ulasan Masalah Menurut Teks
Menurut Grisez bahwa setiap orang mempunyai panggilan menghentikan tindakan aborsi. Setiap orang mempunyai kewajiban membela kehidupan orang yang tak bersalah. Bagi dia, jika aborsi dilegalkan maka itu termasuk kejahatan besar. Tindakan melegalisasikan aborsi berarti sama dengan Hitler, Stalin sebagai contoh tokoh besar pembunuhan orang yang tak bersalah. Grisez mengajak semua pihak melawan tindakan aborsi, mulai dari diri kita masing-masing, pihak religius, pendidik, penegak hukum, petugas kesehatan, media masa dan masyarakat umumnya. Pada prinsip, Grisez mengajak semua pihak dengan caranya masing-masing menentang kejahatan aborsi. Ia mengambil contoh cara-cara menentang aborsi, misalnya; dengan doa, surat protes, berpartisipasi pelayanan di klinik dan sebagainya. Artinya setiap orang mempunyai kewajiban melawan aborsi, sebagai bentuk kesadaran moral yang tinggi.
Mejawab kebingungan mengenai pembunuhan akibat aborsi dan pembunuhan terhadap orang brutal. Grisez menjawab persoalan dengan beberapa argumen;
1. Pembunuhan abortunist tentu bertentangan dengan injil, sebab bayi yang belum lahir itu tidak jauh berbeda dengan manusia lainnya. Berbeda dengan penembakan terhadap orang brutal. Ia dilihat sebagai penjahat, sebab bisa jadi ia membunuh orang yang lain yang tidak bersalah. Ia termasuk orang yang terisolasi dan tidak dilindungi oleh masyarakat dan hukum. Jika terjadi penembakan terhadap orang brutal dari segi moral tidak terlalu berat, karena tujuan untuk melindungi anak yang tidak bersalah dan melindungi kehidupan kita sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Thomas Aquinas bahwa pembunuhan terhadap orang jahat bisa dibenarkan sejauh intensi langsung orang yang bersangkutan untuk melindungi diri bukan berniat membunuh. Ia mengatakan “ secara natural segala sesuatu itu mencintai dirinya sendiri dan karena itu maka segala sesuatu itu berusaha untuk mempertahankan diri dan menyingkirkan kehancuran sejauh mungkin”.
2. Atas dasar iman kita melawan aborsi, sebab secara moral sama dengan pembunuhan. Sebaliknya jika membunuh orang brutal karena terbukti mengacam kehidupan kita, secara moral tidak terlalu dipersoalkan.
3. Tindakan aborsi mestinya harus ditentang karena termasuk menghalangi produktivitas manusia baru. Apalagi kebijaksanaan publik dan hukum pasti melindungi orang pro-kehidupan bukan pro-aborsi. Berbeda dengan pembunuhan terhadap orang yang brutal. Bisa jadi kebijaksanaan publik dan hukum tidak mempersoalkan pembunuhan terhadap orang brutal. Apalagi ia terbukti melakukan kekerasan terhadap anak kecil yang tidak bersalah.
Menguatkan argumen Griez tersebut; mari kita mengupas masalah ini ditinjau dari teologi moral; kehormatan, kebenaran dan kesetiaan.

5.2. Pembahasan ditinjau dari teologi moral; kehormatan, kebenaran dan kesetiaan
5.2.1. Kehormatan
Letak kehormatan perawat tersebut, justru terletak pada keberanian menyerukan kebenaran. Keberanian menentang praktek aborsi, justru menunjukan kehormatan sebagai manusia yang bermoral. Kehormatannya justru terletak pada keberanian mengatakan yang benar dan menentang segala kejahatan. Kita tahu bahwa letak kehormatan seorang manusia, justru terletak pada ketaatan mengikuti suara hati. KV II menegaskan, “Dilubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum yang tidak diterimanya dari dirinya-sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik dan menghindari apa yang jahat. Sebab dalam hatinya, manusia menemukan hukum yang ditulis Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu dan menurut hukum itu pula ia akan diadili”. Kendatipun kehormatan dibayar dengan kehilangan pekerjaan, kehilangan teman yang pro-aborsi, dicemooh oleh orang yang terbiasa melakukan aborsi dan lain sebagainya. Menurut saya kehormatan perawat tersebut, justru terletak pada keberaniannya menyuarakan yang benar. Orang yang memiliki komitmen mengatakan yang benar, berarti orang yang menghormati dirinya sebagai orang benar.
Sebaliknya, jika perawat tersebut, mengiyakan tindakan aborsi, berarti ia berada pada posisi orang yang tidak terhormat. Ia melawan hati nuraninya bahwa aborsi adalah suatu tindakan yang tidak benar. Kehormatan dalam konteks ini, lebih mengarah pada kehormatan sebagai ganjaran keutamaan. Prinsip keutamaan tersebut, dikatakan oleh Thomas Aquino dan menyebutnya sebagai kehormatan premium virtuis (ganjaran keutamaan). Ia menghubungkan paham kehormatan dengan keutamaan, artinya ia mendasarkan hubungan antar-manusia, kemampuan dan keulungan atas suatu prinsip moral yang memberikan nilai membenarkan atau menghalalkannya. Artinya, letak kehormatan perawat tersebut, justru terletak pada wilayah kepekaan hati nuraninya membela yang benar dan menentang segala kejahatan termasuk tindakan aborsi.
Karena itu, perawat tersebut tidak perlu merasa direndahkan, dilecehkan, harga diri rendah, hidup tidak punyai arti dan sebagainya. Sebaliknya, justru perawat tersebut menjadi figur yang dipatut dihormati, dihargai dan lain-lain. Ia dihormati sebagai orang yang benar bukan dianggap sebagai orang yang gagal menentang Aborsi. Sebab kesetiaan pada kebenaran, merupakan suatu kehormatan diri yang luhur nilainya. “Sebab itu, kita dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah…”.

5.2.2. Kebenaran
Menentang praktek aborsi adalah suatu perbuatan yang benar. Dalam injil Yohanes mengatakan, “… dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan memerdekakan kamu”. Maka perawat tersebut, tidak perlu bingung. Ia berada pada jalur yang benar. Oleh karena itu, berbicara secara blak-blakan menentang aborsi adalah bagian dari tindakan kebenaran. Ia sebenarnya tidak perlu takut, karena tindakan menentang aborsi adalah bagian dari kesadaran membela kehidupan manusia. Seperti ajaran Gereja mengatakan: “ …sekarang bagi suara hati banyak orang, kesadaran akan beratnya kejahatan itu berangsur-angsur menjadi semakin kabur. Penerimaan aborsi dalam pandangan popular, dalam prilaku bahkan dalam hukum sendiri menandakan degan jelas adanya krisis kesadaran moral yang sangat berbahaya sekali. Orang semakin tidak mampu lagi membedakan antara yang baik dan jahat, juga bila hak dasar atas hidup dipertaruhkan. Mengingat gawatnya situasi itu, sekarang lebih dari itu dibutuhkann keberanian untuk menatap kebenaran dan membicarakan hal itu secara blak-blakan tanpa kompromi-kompromi yang mengenakan atau godaan mengelabuhi diri”. Hal ini sejalan dengan apa dikatakan dalam Persona Humana “ …ada banyak orang sekarang yang terkonfrontasikan dengan begitu banyak pendapat yang menyebar luas berlawanan dengan apa yang mereka terima dari Gereja telah menjadi bingung apa yang mereka pegang sebagai kebenaran.”
Jadi, menegakan kebenaran merupakan bagian dari panggilan hidup manusia sebagai gambar Allah. “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut Gambarnya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia”. Karena itulah, manusia dipanggil untuk meneruskan kebaikan dan kebenaran Allah di tengah dunia ini.

5.2.3. Kesetiaan
Keberanian menentang tindakan aborsi adalah bagian dari kesetiaan pada kebenaran. Berarti ia setia pada hati nuraninya. Hati nurani kita pasti selalu mengarahkan kita kepada kebenaran dan menentang segala bentuk praktek aborsi. Di lain pihak, perawat tersebut juga, justru ia setia pada ajaran Gereja. Setia pada Gereja berarti setia pada ajarannya. Sudah jelas bahwa Gereja menentang tindakan aborsi; sebab aborsi termasuk tindakan pembunuhan terhadap orang yang tak bersalah.
Dengan demikian, setiap orang mempunyai kewajiban menegur sesamanya jika melakukan pelanggaran-pelanggaran. Seperti dalam injil mengatakan, “Jagalah dirimu, jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia dan jikalau ia menyesal ampunilah dia”. Kita tidak bisa membohong hati nurani kita, bahwa aborsi adalah suatu tindakan pembunuhan. Jelas tindakan aborsi adalah suatu tindakan pelanggaran, maka setiap pribadi wajib menyadarkan mereka. Seperti apa yang dikatakan Paulus kepada umatnya di Galatia. Ia mengatakan, “Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembu;t sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan”. Artinya, dibalik tugas panggilan kita membawa orang pada kebenaran, namun di lain pihak kita sendiri diharapkan tetap setia pada kebenaran tersebut.

5.3. Penilaian Moral
Dalam penilaian moral ini; kembali kita bertanya, apakan setiap orang mempunyai kewajiban menghentikan aborsi? Tentu! Setiap orang wajib menghentikan aborsi. Mengapa?
Argumen stop aborsi
1. Tindakan aborsi termasuk pembunuhan.
2. St. Agustinus mengatakan bahwa aborsi termasuk merusak karya Allah dalam rahim ibu.
3. Ensiklik Casti Connubi: “Aborsi adalah kejahatan berat yang dialamatkan kepada hidup anak…”.
4. Aborsi dan pembunuhan bayi merupakan kejahatan yang jahat sekali.

Argumen pro aborsi
1 “…undang-undang melarang aborsi sulit diterapkan, sebab kejahatan itu terlalu banyak untuk dapat dihukum…”. (Deklarasi pengguguran N. 19)
2. Soal tuntutan keadilan terhadap wanita yang hamil karena diperkosa…”.

Kamis, 29 Januari 2009

Politik 5

KRITIK ATAS KEWAJIBAN BERJILBAB DI ACEH
(Tinjauan Emansipatoris Gender)
Rofinus Jas, SVD


_____________________________________________________________________
Abstraksi
Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh, hingga saat ini masih menyimpan ketimpangan. Dari sekian banyak isu sosial, tema kekerasan perempuan sebenarnya relatif akut walaupun tidak muncul ke depan publik. Perempuan dijadikan obyek penerapan Syariat Islam. Harga diri perempuan, seolah-olah identik dengan jilbab. Bagi perempuan yang tidak berjilbab dianggap perempuan murahan. Perempuan benar-benar direndahkan. Akibatnya, perempuan kehilangan kebebasannya sebagai manusia yang bermartabat dan kesetaraannya dengan laki-laki. Seperti kasus di Blangpidie; puluhan ibu-ibu terjaring razia jilbab yang dilakukan dinas Syari’at Islam (Surat Kabar, Serambi, 4 Oktober 2005). Juga di Langsa, ketika perempuan tidak berjilbab dipotong rambutnya oleh tim operasi penegak Syari’at Islam (Surat Kabar, Serambi, 25 April 2005). Pertanyaannya; Apakah tujuan penerapan Syari’at Islam di Aceh itu dapat membangun masyarakat yang sejahtera dan bermartabat? Karena itu, marilah kita mencermati pemberlakuan Syari’at Islam yang hingga saat ini masih menyimpan ketimpangan-ketimpangan. Tulisan ini secara spesifik hendak mengkritisi atas kewajiban berjilbab bagi perempuan Aceh dalam konteks pemberlakuan Syari’at Islam; terutama ditinjau dari emansipatoris gender persamaan hak laki-laki dan perempuan.

Kata kunci : Syari’at Islam, ketimpangan, perempuan.

Seperti Agama-agama samawi lainnya, Islam mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan perdamaian. Namun kenyataannya, muncul diskriminasi merendahkan martabat perempuan. Contoh pemaksaan pemakaian jilbab (Seperti tulisan Zubaidah Djohar, KOMPAS, Sabtu 3 Desember 2005) di atas. Harian Serambi Indonesia, 5 Mei juga menurunkan berita dengan judul “Hentikan Kekerasan Dalam Razia Jilbab”. Di Aceh Timur tujuh wanita digunduli. Berita-berita tersebut menampilkan wajah Islam yang penuh dengan kekerasan. Lihat juga setelah satu tahun penanganan tsunami di Aceh, kondisi perempuan tidak membaik bahkan bertambah buruk. Pelecehan seksual bahkan pemerkosaan kerap kali terjadi, tetapi tidak pernah terungkapkan (Kompas, Sabtu 3 Desember 2005). Lalu dimanakah letak kebenaran Syari’at Islam yang menyejahterakan rakyat, sementara kaum perempuan masih termarjinalkan dalam segala aspek kehidupan?
Karena itu marilah kita mengupas masalah ini, mulai dari sumber ketimpangan yang mewajibkan perempuan Aceh berjilbab. Kedua beberapa argumen yang menentang pemaksaan pemakaian jilbab ditinjau dari emansipasi gender .

1.1. Sumber ketimpangan
Marjinalisasi merupakan bentuk ketidakadilan yang lahir dari akibat perbedaan gender. Sumber ketimpangan tersebut bisa bermacam-macam, diantaranya; kebijakan pemerintah, penafsiran agama dan tradisi yang salah serta perempuan sebagai tameng (Mansur Fagih, 1996).

1.1.1. 1.1.1. Kebijakan Pemerintah
Pada masa pemerintahan Soekarno, pembrontakan pernah terjadi dilakukan rakyat Aceh, namun diselesaikan dengan cara dialog. Presiden Soekarno memahami benar apa yang diinginkan rakyat Aceh dengan memberikan status istimewa (dalam bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat) bagi rakyat Aceh. Hal ini disambut hanyat seluruh rakyat Aceh waktu itu. Namun pemberian status ini tanpa dilanjuti dengan implementasi yang benar sehingga menjadi faktor utama penyebab pembrontakan rakyat Aceh sampai saat ini. Rakyat Aceh merasa dikecewakan.
Pemerintah soeharto malah menjawab kekecewaan itu dengan memperlakukan Operasi Militer. Sementara pemerintahan Habibie mencoba mengangkat kembali status istemewa tersebut lewat pendekatan Syari’at Islam. Konsep ini justru ditanggapi kegembiraan yang berlebihan oleh rakyat Aceh, sehingga banyak yang lupa bahwa Syari’at Islam yang ditawarkan itu belum ada konsep yang jelas dan tidak menyentuh akar persoalan di Aceh.
Sementara sebagian kelompok masyarakat lainnya merespon Syari’at Islam dengan menggelarkan razia terhadap perempuan yang tidak mengunakan jilbab. Razia ini malah mengarah kepada kekerasan terhadap perempuan yang tidak menutup kepalanya. Akibatnya Syari’at Islam yang dipahami saat itu adalah perempuan-perempuan harus menutup kepala dengan jilbab dan pengantian nama semua instansi dan perkantoran dengan bahasa arab. Dalam masa ini perempuan kerapkali menjadi korban ketidakadilan karena tidak mengenakan jilbab, misalnya digunting rambutnya, baju dan roknya, dilemparkan dengan tomat atau telur, dikejar pakai tongkat, disorakin beramai-ramai di pasar dan berbagai kekerasan lainnya.
Di bawah kepemimpinan Gus Dur, Syari’at Islam justru ditawarkan sebagai solusi penyelesaian masalah di Aceh. Kali ini didukung oleh legislatif lewat Draft Rancangan UU nangroe Aceh Darussalam (RUU NAD). Namun tampaknya Syari’at Islam ini tidak memberikan penyelesaian untuk kasus Aceh yang sudah sekian kompleksnya.

1.1.2. Kesalahan Tafsiran Agama dan Tradisi
Menurut Z. Djohar, Kompas 3 Desember 2005 bahwa kewajiban memakai jilbab merupakan salah satu penyebab kesalahan penafsiran agama dan tradisi. Ia mengatakan “penafsiran agama dan tradisi di Aceh dalam melahirkan qanum Syari’at Islam telah menempatkan perempuan pada ruang ketidakadilan”. Edriana (2005) mencatat bahwa komponen sentral penundukan perempuan Aceh adalah upaya mengubah perempuan menjadi panji-panji penerus tradisi. Hubungan gender dan Islam di Aceh telah menjadikan perempuan sebagai media penerapan Syari’at Islam.
Mereka dirazia agar disiplin berpakaian sesuai kepantasan yang menyimbolkan Islam sebagai identitas kolektif masyarakat Aceh. Tindakan ketidakadilan semacam ini, jika ditinjau dari sudut psikoanalis bahwa perempuan terpaksa mengenakan jilbab sebagai pilihan yang aman, kendatipun bertentangan dengan hati nurani mereka. Perempuan dijadikan obyek kontrol hegemoni maskulin.


1.1.3. Perempuan Sebagai Tameng
Timpangnya pemberlakuan Syari’at Islam adalah salah satu realitas mengerasnya praktek “politik identitas Islam”. Wacana ini bisa diterjemahkan sebagai usaha parsial kaum otiritas Islam sebagai tujuan mengklaim berlakunya Syari’at Islam di Aceh. Praktek ini tidak jauh berbeda dari pola-pola menciptakan simbol, seolah-olah kehadiran Syari’at Islam terkesan positif. Pada level hubungan kemanusiaan, seolah-olah kehadiran Syari’at Islam membawa kesejahteraan masyarakat dan bermartabat di Aceh. Bagi kaum otoritas Islam, kewajiban berjilbab merupakan simbol pentingnya menjalankan Syari’at Islam di Aceh. Pada hal mewajibkan berjilbab setiap perempuan adalah salah satu bentuk sikap diskriminatif merendahkan martabat perempuan itu sendiri. Konsep ini, jelas bertentangan dengan filsafat Levinas bahwa melihat wajah orang lain merupakan suatu panggilan untuk melakukan kebaikan dan keadilan kepada orang lain. Mereka tidak sadar bahwa sikap diskriminasi ini terjadi karena kesalahan tafsir terhadap sejarah produk hukum yang memihak pada wacana patriakal-androsentris. Diperparah lagi oleh anggapan bahwa tafsiran mereka atas Syari’at Islam tersebut mengandung kebenaran mutlak, kendatipun secara rasional tidak benar.


1.2. Aregumen Penolakan Kewajiban Berjilbab Ditinjau dari Emansipatoris Gender
Menggagas argumen penolakan kewajiban berjilbab; Pertama-tama kita harus memahami apa itu jilbab serta tradisi pengunaanya? Kedua, pelembagaan jilbab berdasarkan teks Alguran. Beberapa argumen yang menolak pemaksaan pengunaan jilbab, ditinjau dari emansipatoris Gender.

1.2.1. Apa itu jilbab serta tradisi pengunaannya?
Jilbab dalam arti menutup kepala perempuan hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, jilbab dikenal dengan beberapa istilah, chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di Mesir, Sudan, Yaman dll. Sebenarnya hijab atau jilbab berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan sejak abad ke-4 H.
Terlepas dari istilah diatas sebenarnya konsep jilbab bukanlah “milik” Islam. Dalam Kitab Taurat agama Yahudi sudah dikenal istilah jilbab seperti tif’eret. Sementara kitab Suci Nasrani juga mengenal juga istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat. Bahkan kata Eipstein yang dikutip Nasa-ruddin Umar dalam tulisannya yang pernah dimuat di Ulumul Quran, konsep jilbab sebagai penutup kepala sudah dikenal sebelum agama Yahudi dan Kristen. Menurut mereka ketentuan pengunaan jilbab tersebut sudah dikenal di Mesopotamia, Babilonia dan Asyria. (Lihat; Kompas, 25/11/2002). Oleh karena itu, jilbab bukanlah identitas iman Islam yang sebenarnya. Jilbab hanyalah pakaian biasa bagi perempuan negara-negara timur.


1.2.2. Pelembagaan Jilbab Menurut Tesk Alquran
Aksentuasi pengunaan jilbab sebenarnya lebih dekat pada etika dan setetika dari pada persoalan subtansial ajaran Islam. Pelembagaan jilbab didasarkan pada dua ayat Alquran yaitu; QS. Al-Ahzab/33: 59 dan QS.An-Nur/24:31.
Kedua ayat ini saling menegaskan tentang aturan berpakaian bagi perempuan Islam. Pada surat An-Nur, kata khumur merupakan bentuk plural dari khimar yang artinya kerudung. Sementara kata juyub adalah bentuk plural dari kata jaib yang artinya ash-shadru (dada). Jadi kalimat “hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dada-nya” ini merupakan reaksi tradisi pakaian perempuan Arab Jahiliyah. Di mana perempuan zaman jahiliyah: “Mereka mengenakan pakaian dengan telanjang dada tanpa ditutup sedikit selimutpun”. Oleh karena itu, perempuan diperintah untuk mengulurkan kerudung ke depan agar bisa menutup dada mereka.
Dengan demikian, pemakaian jilbab bukanlah kewajiban. Jilbab menurut saya lebih merupakan pewarisan budaya daripada keharusan ajaran agama. Hal ini sejalan dengan pendapat Harun Nasution dalam buku “ Islam Rasional, hal. 332” bahwa kewajiban berjilbab tidak ada kepastian, sebab tidak ada dalam Alquran dan hadits-hadits membicara hal ini secara benar. Apalagi didukungi oleh pendapat (Morteza Muthahhari, 1981) dikatakan bahwa “Islam mengambil sikap yang sama sehubungan dengan perempuan dan laki-laki”.

1.2.3. Argumen Yang Menolak Kewajiban Berjilbab Ditinjau dari Undang-Undang Penolakan Deskriminasi Terhadap Perempuan
Pemaksaan pemakaian jilbab merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pada hal, dalam Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskrimiasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination og All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) telah disahkan. Dengan tegas dikatakan bahwa Negara peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional agar menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan melindungi hak wanita. Maka jika mengikuti ketentuan CEDAW, Indonesia mestinya mengubah hukum nasional, sekaligus hukum Islam dan adat juga harus diubah. Namun kemauan mengubah hukum Islam di Indonesia belum diputuskan. Oleh karena itu, Komnas HAM mempunyai kewajiban menentang segala bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM.



1.3.4. Argumen Yang Menolak Kewajiban Berjilbab Ditinjau dari Perspektif Emansipasi Gender
Sebelum kita manggagas; mengapa kewajiban berjilbab ditolak? Pertama-tama kita membahas beberapa alasan mengapa kewajiban berjilbab ditolak. Kedua, bentuk-bentuk gerakan feminis yang memperjuangkan emansipasi perempuan dihadapan laki-laki.

Pemaksaan memakai jilbab merupakan bentuk stereotype terhadap perempuan. Stereotype adalah suatu bentuk pelabelan terhadap suatu kelompok atau suku bangsa tertentu yang selalu berkonotasi negatif. Namun pada umumnya “stereotype” tersebut selalu dikenakan kepada perempuan, sehingga menimbulkan kesan negatif yang merupakan keharusan disandang oleh perempuan. Dengan demikian, “stereotype” adalah salah satu bentuk ketidakadilan gender. Misalnya perempuan yang tidak berjilbab adalah sebab utama melahirkan nafsu bagi kaum laki-laki. Jika terjadi pemerkosaan, perempuanlah yang dipersalahkan.
Selain itu, kewajiban berjilbab juga termasuk salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Perempuan seolah-olah menempatkan perempuan pada subordinasi dan marginalisasi. Laki-laki dianggap pemegang supremasi bagi wanita. Tindakan semacam ini termasuk pelanggaran HAM, sebab ada paksaan mengenakan jilbab. Akibatnya memupuk suburnya inferioritas perempuan dengan sekian banyak ketidakberdayaannya. Dengan demikian, hal ini termasuk bertentangan dengan emansipatoris gender.
Salah satu aliran feminisme yang memperjuangkan emansipasi gender adalah aliran Feminisme Liberal. Aliran ini berpendapat bahwa setiap manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi. Kendatipun keduanya tetap ada perbedaan ontologi antara laki-laki dan perempuan, misalnya melahirkan bagi perempuan dll. Aliran ini mengupayakan perempuan diberi peran publik bagi perempuan serta memberikan kebebasan terhadap perempuan. Dengan demikian kewajiban berjilbab salah bentuk ketidakadilan karena menghilangkan nilai-nilai kebebasan bagi perempuan.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban berjilbab disertai dengan pemaksaan merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan. Kewajiban berjilbab merupakan bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Pada hal tidak ada bukti akurat dalam Alquran yang menunjukan kewajiban berjilbab bagi perempuan Islam. Selain itu juga, jilbab bukanlan pakaian rohani yang mewajibkan perempuan untuk mengenakannya. Jilbab hanyalah pakaian biasa bagi perempuan-perempuan timur. Jilbab juga bukanlah identitas khas ajaran iman Islam, sebab jilbab sudah lama dikenakan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen sebelum Islam. Jilbab hanyalah warisan budaya timur, bukan sebagai subtansi dasar ajaran iman Islam.
Dengan demikian pemaksaan pemakaian jilbab di Aceh merupakan bentuk ketidakadilan bagi perempuan. Perempuan seolah-olah sasaran empuk berlakunya Syariat Islam di Aceh. Saya bukan fobia terhadap jilbab. Sepanjang pemakaian jilbab itu dikarenakan atas dasar kesadaran sebagai sebuah pilihan dan senagai ekspresi jati diri seorang perempuan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah saja. Tetapi jika berjilbab dijadikan suatu kewajiban dan disertai dengan kekerasan, menurut saya justru bertentangan dengan ajaran Islam, HAM dan emansipasi gender.




























Daftar Pustaka

Ch, Mufidah, M.Ag., Paradigma Gender, Malang: Togas Mas, 2003
Jo Freeman, Woman A Feminist Perspective, California: Mayfield Publishing Company, 1984.
Munhanif, Ali (ed.), Perempuan dalam Literer Islam Klasik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Humm, Maggie, Feminist Criticism, Brighton, Sussex: The Harvester Press Limited, 1986.
Murniati, A, Nunuk Prasetyo, Gerakan Perempuan Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta: Kanisius, 1998