KRITIK ATAS KEWAJIBAN BERJILBAB DI ACEH
(Tinjauan Emansipatoris Gender)
Rofinus Jas, SVD
_____________________________________________________________________
Abstraksi
Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh, hingga saat ini masih menyimpan ketimpangan. Dari sekian banyak isu sosial, tema kekerasan perempuan sebenarnya relatif akut walaupun tidak muncul ke depan publik. Perempuan dijadikan obyek penerapan Syariat Islam. Harga diri perempuan, seolah-olah identik dengan jilbab. Bagi perempuan yang tidak berjilbab dianggap perempuan murahan. Perempuan benar-benar direndahkan. Akibatnya, perempuan kehilangan kebebasannya sebagai manusia yang bermartabat dan kesetaraannya dengan laki-laki. Seperti kasus di Blangpidie; puluhan ibu-ibu terjaring razia jilbab yang dilakukan dinas Syari’at Islam (Surat Kabar, Serambi, 4 Oktober 2005). Juga di Langsa, ketika perempuan tidak berjilbab dipotong rambutnya oleh tim operasi penegak Syari’at Islam (Surat Kabar, Serambi, 25 April 2005). Pertanyaannya; Apakah tujuan penerapan Syari’at Islam di Aceh itu dapat membangun masyarakat yang sejahtera dan bermartabat? Karena itu, marilah kita mencermati pemberlakuan Syari’at Islam yang hingga saat ini masih menyimpan ketimpangan-ketimpangan. Tulisan ini secara spesifik hendak mengkritisi atas kewajiban berjilbab bagi perempuan Aceh dalam konteks pemberlakuan Syari’at Islam; terutama ditinjau dari emansipatoris gender persamaan hak laki-laki dan perempuan.
Kata kunci : Syari’at Islam, ketimpangan, perempuan.
Seperti Agama-agama samawi lainnya, Islam mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan perdamaian. Namun kenyataannya, muncul diskriminasi merendahkan martabat perempuan. Contoh pemaksaan pemakaian jilbab (Seperti tulisan Zubaidah Djohar, KOMPAS, Sabtu 3 Desember 2005) di atas. Harian Serambi Indonesia, 5 Mei juga menurunkan berita dengan judul “Hentikan Kekerasan Dalam Razia Jilbab”. Di Aceh Timur tujuh wanita digunduli. Berita-berita tersebut menampilkan wajah Islam yang penuh dengan kekerasan. Lihat juga setelah satu tahun penanganan tsunami di Aceh, kondisi perempuan tidak membaik bahkan bertambah buruk. Pelecehan seksual bahkan pemerkosaan kerap kali terjadi, tetapi tidak pernah terungkapkan (Kompas, Sabtu 3 Desember 2005). Lalu dimanakah letak kebenaran Syari’at Islam yang menyejahterakan rakyat, sementara kaum perempuan masih termarjinalkan dalam segala aspek kehidupan?
Karena itu marilah kita mengupas masalah ini, mulai dari sumber ketimpangan yang mewajibkan perempuan Aceh berjilbab. Kedua beberapa argumen yang menentang pemaksaan pemakaian jilbab ditinjau dari emansipasi gender .
1.1. Sumber ketimpangan
Marjinalisasi merupakan bentuk ketidakadilan yang lahir dari akibat perbedaan gender. Sumber ketimpangan tersebut bisa bermacam-macam, diantaranya; kebijakan pemerintah, penafsiran agama dan tradisi yang salah serta perempuan sebagai tameng (Mansur Fagih, 1996).
1.1.1. 1.1.1. Kebijakan Pemerintah
Pada masa pemerintahan Soekarno, pembrontakan pernah terjadi dilakukan rakyat Aceh, namun diselesaikan dengan cara dialog. Presiden Soekarno memahami benar apa yang diinginkan rakyat Aceh dengan memberikan status istimewa (dalam bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat) bagi rakyat Aceh. Hal ini disambut hanyat seluruh rakyat Aceh waktu itu. Namun pemberian status ini tanpa dilanjuti dengan implementasi yang benar sehingga menjadi faktor utama penyebab pembrontakan rakyat Aceh sampai saat ini. Rakyat Aceh merasa dikecewakan.
Pemerintah soeharto malah menjawab kekecewaan itu dengan memperlakukan Operasi Militer. Sementara pemerintahan Habibie mencoba mengangkat kembali status istemewa tersebut lewat pendekatan Syari’at Islam. Konsep ini justru ditanggapi kegembiraan yang berlebihan oleh rakyat Aceh, sehingga banyak yang lupa bahwa Syari’at Islam yang ditawarkan itu belum ada konsep yang jelas dan tidak menyentuh akar persoalan di Aceh.
Sementara sebagian kelompok masyarakat lainnya merespon Syari’at Islam dengan menggelarkan razia terhadap perempuan yang tidak mengunakan jilbab. Razia ini malah mengarah kepada kekerasan terhadap perempuan yang tidak menutup kepalanya. Akibatnya Syari’at Islam yang dipahami saat itu adalah perempuan-perempuan harus menutup kepala dengan jilbab dan pengantian nama semua instansi dan perkantoran dengan bahasa arab. Dalam masa ini perempuan kerapkali menjadi korban ketidakadilan karena tidak mengenakan jilbab, misalnya digunting rambutnya, baju dan roknya, dilemparkan dengan tomat atau telur, dikejar pakai tongkat, disorakin beramai-ramai di pasar dan berbagai kekerasan lainnya.
Di bawah kepemimpinan Gus Dur, Syari’at Islam justru ditawarkan sebagai solusi penyelesaian masalah di Aceh. Kali ini didukung oleh legislatif lewat Draft Rancangan UU nangroe Aceh Darussalam (RUU NAD). Namun tampaknya Syari’at Islam ini tidak memberikan penyelesaian untuk kasus Aceh yang sudah sekian kompleksnya.
1.1.2. Kesalahan Tafsiran Agama dan Tradisi
Menurut Z. Djohar, Kompas 3 Desember 2005 bahwa kewajiban memakai jilbab merupakan salah satu penyebab kesalahan penafsiran agama dan tradisi. Ia mengatakan “penafsiran agama dan tradisi di Aceh dalam melahirkan qanum Syari’at Islam telah menempatkan perempuan pada ruang ketidakadilan”. Edriana (2005) mencatat bahwa komponen sentral penundukan perempuan Aceh adalah upaya mengubah perempuan menjadi panji-panji penerus tradisi. Hubungan gender dan Islam di Aceh telah menjadikan perempuan sebagai media penerapan Syari’at Islam.
Mereka dirazia agar disiplin berpakaian sesuai kepantasan yang menyimbolkan Islam sebagai identitas kolektif masyarakat Aceh. Tindakan ketidakadilan semacam ini, jika ditinjau dari sudut psikoanalis bahwa perempuan terpaksa mengenakan jilbab sebagai pilihan yang aman, kendatipun bertentangan dengan hati nurani mereka. Perempuan dijadikan obyek kontrol hegemoni maskulin.
1.1.3. Perempuan Sebagai Tameng
Timpangnya pemberlakuan Syari’at Islam adalah salah satu realitas mengerasnya praktek “politik identitas Islam”. Wacana ini bisa diterjemahkan sebagai usaha parsial kaum otiritas Islam sebagai tujuan mengklaim berlakunya Syari’at Islam di Aceh. Praktek ini tidak jauh berbeda dari pola-pola menciptakan simbol, seolah-olah kehadiran Syari’at Islam terkesan positif. Pada level hubungan kemanusiaan, seolah-olah kehadiran Syari’at Islam membawa kesejahteraan masyarakat dan bermartabat di Aceh. Bagi kaum otoritas Islam, kewajiban berjilbab merupakan simbol pentingnya menjalankan Syari’at Islam di Aceh. Pada hal mewajibkan berjilbab setiap perempuan adalah salah satu bentuk sikap diskriminatif merendahkan martabat perempuan itu sendiri. Konsep ini, jelas bertentangan dengan filsafat Levinas bahwa melihat wajah orang lain merupakan suatu panggilan untuk melakukan kebaikan dan keadilan kepada orang lain. Mereka tidak sadar bahwa sikap diskriminasi ini terjadi karena kesalahan tafsir terhadap sejarah produk hukum yang memihak pada wacana patriakal-androsentris. Diperparah lagi oleh anggapan bahwa tafsiran mereka atas Syari’at Islam tersebut mengandung kebenaran mutlak, kendatipun secara rasional tidak benar.
1.2. Aregumen Penolakan Kewajiban Berjilbab Ditinjau dari Emansipatoris Gender
Menggagas argumen penolakan kewajiban berjilbab; Pertama-tama kita harus memahami apa itu jilbab serta tradisi pengunaanya? Kedua, pelembagaan jilbab berdasarkan teks Alguran. Beberapa argumen yang menolak pemaksaan pengunaan jilbab, ditinjau dari emansipatoris Gender.
1.2.1. Apa itu jilbab serta tradisi pengunaannya?
Jilbab dalam arti menutup kepala perempuan hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, jilbab dikenal dengan beberapa istilah, chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di Mesir, Sudan, Yaman dll. Sebenarnya hijab atau jilbab berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan sejak abad ke-4 H.
Terlepas dari istilah diatas sebenarnya konsep jilbab bukanlah “milik” Islam. Dalam Kitab Taurat agama Yahudi sudah dikenal istilah jilbab seperti tif’eret. Sementara kitab Suci Nasrani juga mengenal juga istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat. Bahkan kata Eipstein yang dikutip Nasa-ruddin Umar dalam tulisannya yang pernah dimuat di Ulumul Quran, konsep jilbab sebagai penutup kepala sudah dikenal sebelum agama Yahudi dan Kristen. Menurut mereka ketentuan pengunaan jilbab tersebut sudah dikenal di Mesopotamia, Babilonia dan Asyria. (Lihat; Kompas, 25/11/2002). Oleh karena itu, jilbab bukanlah identitas iman Islam yang sebenarnya. Jilbab hanyalah pakaian biasa bagi perempuan negara-negara timur.
1.2.2. Pelembagaan Jilbab Menurut Tesk Alquran
Aksentuasi pengunaan jilbab sebenarnya lebih dekat pada etika dan setetika dari pada persoalan subtansial ajaran Islam. Pelembagaan jilbab didasarkan pada dua ayat Alquran yaitu; QS. Al-Ahzab/33: 59 dan QS.An-Nur/24:31.
Kedua ayat ini saling menegaskan tentang aturan berpakaian bagi perempuan Islam. Pada surat An-Nur, kata khumur merupakan bentuk plural dari khimar yang artinya kerudung. Sementara kata juyub adalah bentuk plural dari kata jaib yang artinya ash-shadru (dada). Jadi kalimat “hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dada-nya” ini merupakan reaksi tradisi pakaian perempuan Arab Jahiliyah. Di mana perempuan zaman jahiliyah: “Mereka mengenakan pakaian dengan telanjang dada tanpa ditutup sedikit selimutpun”. Oleh karena itu, perempuan diperintah untuk mengulurkan kerudung ke depan agar bisa menutup dada mereka.
Dengan demikian, pemakaian jilbab bukanlah kewajiban. Jilbab menurut saya lebih merupakan pewarisan budaya daripada keharusan ajaran agama. Hal ini sejalan dengan pendapat Harun Nasution dalam buku “ Islam Rasional, hal. 332” bahwa kewajiban berjilbab tidak ada kepastian, sebab tidak ada dalam Alquran dan hadits-hadits membicara hal ini secara benar. Apalagi didukungi oleh pendapat (Morteza Muthahhari, 1981) dikatakan bahwa “Islam mengambil sikap yang sama sehubungan dengan perempuan dan laki-laki”.
1.2.3. Argumen Yang Menolak Kewajiban Berjilbab Ditinjau dari Undang-Undang Penolakan Deskriminasi Terhadap Perempuan
Pemaksaan pemakaian jilbab merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pada hal, dalam Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskrimiasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination og All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) telah disahkan. Dengan tegas dikatakan bahwa Negara peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional agar menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan melindungi hak wanita. Maka jika mengikuti ketentuan CEDAW, Indonesia mestinya mengubah hukum nasional, sekaligus hukum Islam dan adat juga harus diubah. Namun kemauan mengubah hukum Islam di Indonesia belum diputuskan. Oleh karena itu, Komnas HAM mempunyai kewajiban menentang segala bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM.
1.3.4. Argumen Yang Menolak Kewajiban Berjilbab Ditinjau dari Perspektif Emansipasi Gender
Sebelum kita manggagas; mengapa kewajiban berjilbab ditolak? Pertama-tama kita membahas beberapa alasan mengapa kewajiban berjilbab ditolak. Kedua, bentuk-bentuk gerakan feminis yang memperjuangkan emansipasi perempuan dihadapan laki-laki.
Pemaksaan memakai jilbab merupakan bentuk stereotype terhadap perempuan. Stereotype adalah suatu bentuk pelabelan terhadap suatu kelompok atau suku bangsa tertentu yang selalu berkonotasi negatif. Namun pada umumnya “stereotype” tersebut selalu dikenakan kepada perempuan, sehingga menimbulkan kesan negatif yang merupakan keharusan disandang oleh perempuan. Dengan demikian, “stereotype” adalah salah satu bentuk ketidakadilan gender. Misalnya perempuan yang tidak berjilbab adalah sebab utama melahirkan nafsu bagi kaum laki-laki. Jika terjadi pemerkosaan, perempuanlah yang dipersalahkan.
Selain itu, kewajiban berjilbab juga termasuk salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Perempuan seolah-olah menempatkan perempuan pada subordinasi dan marginalisasi. Laki-laki dianggap pemegang supremasi bagi wanita. Tindakan semacam ini termasuk pelanggaran HAM, sebab ada paksaan mengenakan jilbab. Akibatnya memupuk suburnya inferioritas perempuan dengan sekian banyak ketidakberdayaannya. Dengan demikian, hal ini termasuk bertentangan dengan emansipatoris gender.
Salah satu aliran feminisme yang memperjuangkan emansipasi gender adalah aliran Feminisme Liberal. Aliran ini berpendapat bahwa setiap manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi. Kendatipun keduanya tetap ada perbedaan ontologi antara laki-laki dan perempuan, misalnya melahirkan bagi perempuan dll. Aliran ini mengupayakan perempuan diberi peran publik bagi perempuan serta memberikan kebebasan terhadap perempuan. Dengan demikian kewajiban berjilbab salah bentuk ketidakadilan karena menghilangkan nilai-nilai kebebasan bagi perempuan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban berjilbab disertai dengan pemaksaan merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan. Kewajiban berjilbab merupakan bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Pada hal tidak ada bukti akurat dalam Alquran yang menunjukan kewajiban berjilbab bagi perempuan Islam. Selain itu juga, jilbab bukanlan pakaian rohani yang mewajibkan perempuan untuk mengenakannya. Jilbab hanyalah pakaian biasa bagi perempuan-perempuan timur. Jilbab juga bukanlah identitas khas ajaran iman Islam, sebab jilbab sudah lama dikenakan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen sebelum Islam. Jilbab hanyalah warisan budaya timur, bukan sebagai subtansi dasar ajaran iman Islam.
Dengan demikian pemaksaan pemakaian jilbab di Aceh merupakan bentuk ketidakadilan bagi perempuan. Perempuan seolah-olah sasaran empuk berlakunya Syariat Islam di Aceh. Saya bukan fobia terhadap jilbab. Sepanjang pemakaian jilbab itu dikarenakan atas dasar kesadaran sebagai sebuah pilihan dan senagai ekspresi jati diri seorang perempuan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah saja. Tetapi jika berjilbab dijadikan suatu kewajiban dan disertai dengan kekerasan, menurut saya justru bertentangan dengan ajaran Islam, HAM dan emansipasi gender.
Daftar Pustaka
Ch, Mufidah, M.Ag., Paradigma Gender, Malang: Togas Mas, 2003
Jo Freeman, Woman A Feminist Perspective, California: Mayfield Publishing Company, 1984.
Munhanif, Ali (ed.), Perempuan dalam Literer Islam Klasik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Humm, Maggie, Feminist Criticism, Brighton, Sussex: The Harvester Press Limited, 1986.
Murniati, A, Nunuk Prasetyo, Gerakan Perempuan Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta: Kanisius, 1998
Kamis, 29 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar