Kamis, 29 Januari 2009

Filsafat 1


Konsep Jiwa Menurut St. Agustinus dan Atman Menurut Ajaran Hindu
(Telaah Atas Filsafat Perbandingan Timur dan Barat)
Rofinus Jas, SVD

1.1. Pengantar
Dalam peradaban Timur, seringkali gagasan filosofisnya menekankan keharmonisan kosmos. Gagasan keseimbangan alam semesta tersebut, seringkali menjadi rujukkan utama dalam gagasan filosofisnya. Maka, mereka menyebut kosmos sebagai jagad besar dan manusia disebut sebagai jagad kecil. Oleh karena itu dalam artikel ini, penulis hanya berfokus pada manusia sebagai jagat kecil. Manusia yang dimaksudkan dalam artikel ini adalah mengenai jiwa dalam pemikiran St. Agustinus dan atman dalam ajaran Hindu. Penulis mencoba menggagas persamaan dan perbedaan keduanya dalam artikel ini, sambil menemukan relevansi dalam kehidupan konkret manusia sehari-hari.
Penulis menggarap tema ini, karena dilatarbelakangi oleh kegelisahan banyak orang akan masa depannya, terutama harapan kehidupan kekal atas jiwanya. Banyak orang mempersoalkan; dari mana jiwa itu berasal? Bagaimana sifat-sifat jiwa tersebut? Bagaimana relasi jiwa dan badan dalam diri manusia? Bagaimana peran jiwa dalam tubuh manusia? Bagaimana keadaan jiwa setelah kematian badan? Kemudian bagaimana relevansinya dalam kehidupan manusia saat ini? Dalam revansinya, penulis berusaha memberikan peneguhan kepada pembaca untuk memaknai arti kehidupannya saat ini. Artikel ini kemudian ditutupi dengan kesimpulan.

1.2. Persamaan dan Perbedaan Asal-usul Jiwa Menurut St. Agustinus dan Atman Dalam Ajaran Hindu
Menurut St. Agustinus jiwa itu berasal dari Allah. Namun pertanyaanya: bagaimana proses Allah menciptakan jiwa itu dalam diri manusia? Untuk menjawab pertanyaan ini, ia mengajukan empat jawaban. Pertama, ia mengatakan bahwa Allah yang menciptakan jiwa Adam. Ketika Allah telah menciptakan jiwa dalam Adam, maka di dalam jiwa itu juga jiwa semua keturunan Adam, meskipun belum utuh atau masih dalam keadaan benih dan baru pada waktunya yang tepat akan diberikan seutuhnya kepada setiap individu. Kedua, Allah menciptakan jiwa setiap individu khusus untuk orang itu sendiri. Ketiga, Allah langsung menciptakan semua jiwa itu dalam diri-Nya sendiri, dan kemudian Ia mengirim jiwa itu kepada badan yang harus dihidupinya. Keempat, jiwa-jiwa itu sudah diciptakan dalam diri Allah, tetapi kemudian masing-masing jiwa itu berkehendak sendiri untuk turun ke badan yang harus dihidupinya. Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa jiwa berasal dari Allah dan diciptakan oleh Allah serta bersifat pra-eksistensi.
Sementara menurut ajaran Hindu, atman atau jiwa berasal dari percikan kecil dari Brahman yang berada di dalam setiap makhluk hidup. Atman menurut ajaran Hindu adalah Brahman atau Tuhan yang ada dalam diri manusia. Atman berada dalam diri manusia, yang biasanya disebut: Jiwatman atau jiwa/roh. Atman akan menjadi sumber kekuatan hidup manusia. Atman memampukan manusia bisa aktif bekerja dan menggerakan semua panca-indera yang ada pada manusia sehingga semuanya bisa berfungsi sebagaimana mestinya, mata bisa melihat, telingga bisa mendengar, kulit dapat merasakan, lidah dapat mengecap.
Atman menjadi sumber kekuatan hidup manusia. Maka jika Atman adalah Tuhan atau Brahman dalam diri manusia, maka konsekuensinya manusia itu sama dan sederajat atau Tat Twan Asi (aku adalah kamu). Oleh karena itu, semua manusia sama derajatnya, sehingga setiap manusia dipanggil untuk saling menghormati, menghargai, sebagai sesama yang berasal dari Tuhan.
Jadi dalam kitab Upanishad terutama dalam Vedanta, agama Hindu mengajarkan bahwa yang ilahi dapat ditemukan dalam diri manusia terutama dalam Atmannya. Maka Atman dalam agama Hindu disebut sebagai identitas manusia yang sebenarnya. Konsep Atman dalam tradisi Vedanta agama Hindu, oleh tradisi Budhisme disebut sebagai realitas yang ada dalam diri kita sendiri. Maka untuk menemukan yang ilahi dalam tradisi Hindu dapat ditemukan dalam diri kita sendiri.
Dengan demikian, kita dapat menemukan persamaan asal usul jiwa; baik menurut St. Agustinus maupun ajaran Hindu bahwa jiwa berasal dari Allah. Perbedaan hanya terletak pada sebutan nama, di mana St. Agustinus menyebutnya bahwa jiwa berasal dari Allah, sementara menurut ajaran Hindu, jiwa itu berasal Brahman. Apalagi jika Brahman dilihat dari sifat ilahinya, sebenarnya sama dengan Allah dalam filsafat Barat. Namun perbedaannya bahwa atman yang dimaksudkan ajaran Hindu adalah atman yang berasal dari Brahman yang ada dalam diri manusia itu sendiri. Sifat Brahman sudah ada dalam diri manusia sehingga menghasilkan atman. Sementara jiwa yang dimaksudkan St. Agustinus berasal dari Allah. Allah yang memberikan dan menciptakan jiwa itu dalam diri manusia, bukan produk manusia sendiri tetapi pemberian dari Allah.

1.3. Persamaan dan Perbedaan Sifat-Sifat Jiwa Menurut St. Agustinus dan Atman Dalam Ajaran Hindu
Menurut St. Agustinus, sifat jiwa yang paling utama adalah tidak bisa mati. St. Agustinus tidak ragu-ragu mengatakan bahwa jiwa tidak bisa mati. Argumen Agustinus tentu dipengaruhi oleh konsep Plato dan Plotinos mengenai kekekalan jiwa dan ia memberikan arti khas secara Kristiani. Ia mengatakan jiwa bukan bersifat jasmani atau bendawi. Menurut subtansinya jiwa itu hidup dan dapat menghidupkan badan. Jiwa itu ada dalam dirinya sendiri dan bersifat kekal. Jiwa tidak bisa dijangkaui oleh pengenalan kita, sebab sifat jiwa tanpa kodrat sehingga tidak bisa dipikirkan. Jiwa hanya bisa dikenal dalam dirinya sendiri. St. Agustinus menyimpulkan bahwa jiwa itu ada dalam dirinya sendiri. Ia lain dari bendawi dan bersifat batiniah kepada dirinya sendiri. Secara subtansi, jiwa itu hidup sehingga ia dapat mengingat, mengerti dan menghendaki. Pendeknya, jiwa menghayati dirinya hadir dalam dirinya sendiri sebagai subtansi rohani dan berakal budi.
Menurut ajaran Hindu, atman adalah bagian dari Brahman. Sebab hakekat Atman menurut ajaran Hindu memiliki kesamaan sifat dengan Brahman. Dengan demikian, hakekat atman bersifat sempurna dan kekal, tidak mengalami kelahiran dan kematian, bebas dari suka dan duka. Dalam Weda (Bh.G.23,24 dan 25), dikatakan Atman memiliki beberapa sifat yang menunjukkan Atman itu sempurna, kekal dan abadi. Sifat-sifat Atman itu diantaranya adalah tidak bisa dilukai oleh senjata, tidak terbakar oleh api, tidak bisa dikeringkan oleh angin, tidak dibasahi oleh air, bersifat abadi, Atman itu berada di mana-mana, bersifat tetap atau tidak berpindah-pindah, diam atau tidak bergerak, tidak pernah berbeda tetapi selalu sama, Atman tidak pernah dilahirkan, tidak bisa dipikirkan oleh manusia, dan Atman bukan seperti laki-laki atau perempuan. Dari uraian ini, mau mengatakan bahwa jiwa itu bersifat kekal, tak terbatas, absolut dan tak dapat mati.
Maka sifat jiwa baik menurut Agustinus maupun atman menurut ajaran Hindu memiliki persamaan bahwa jiwa atau atman bersifat kekal tak dapat mati. Dia mengatasi segala elemen materi, kekal abadi, dan tidak terpikirkan. Oleh karena itu Atman tidak dapat menjadi subyek ataupun obyek daripada perubahan-perubahan yang dialami oleh pikiran, hidup dan badan jasmani. Karena semua bentuk-bentuk yang dialami ini bisa berubah, datang dan pergi, tetapi jiwa itu tetap langgeng untuk selamanya. Dilain pihak, jiwa atau atman juga memiliki persamaan dalam memberikan energi hidup pada badan jasmani dalam diri manusia sesuai dengan hukum yang ditentukan oleh Allah atau Hyang Widhi. Atman atau jiwa sering disebut dengan “Swatman” atau “Jiwatman” yaitu roh yang memberikan tenaga untuk hidup.

1.4. Persamaan dan Perbedaan Hubungan Jiwa dan Badan Menurut St. Agustinus dan Atman Dalam Ajaran Hindu
Menurut St. Agustinus, jiwa menyatukan dengan badan. Jiwa tetap mempertahankan kesatuannya dengan badan, namun jiwa tidak membiarkan dirinya larut atau mati dalam tubuh. Jiwa berperan memberikan kehidupan kepada badan. Jiwa mempertahankan keselarasan dan keseimbangan badan supaya tetap ada dalam keadaan keindahan, dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Jiwa memiliki kemampuan untuk menentukan yang baik dan buruk. Jiwa memperkuatkan dirinya untuk menjauhi yang jahat dan mencari yang baik. Jiwa memiliki kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang paling tinggi dan mulia. Dengan demikian, jiwa berada dalam posisi yang paling tinggi, sempurna dan bersifat kekal.
Konsep kesatuan jiwa dengan badan, ternyata memiliki kesamaan pemahaman dengan ajaran Hindu. Dalam ajaran Hindu, perpaduan atman dengan badan jasmani, menyebabkan mahluk itu hidup. Atman yang menghidupi badan disebut Jiwatman. Atman itu tetap sempurna, tetapi manusia itu sendiri tidaklah sempurna. Manusia tidak luput dari hukum lahir, hidup dan mati. Walaupun manusia itu mengalami kematian, namun Atman tidak akan bisa mati. Hanya badan yang mati dan hancur, sedangkan Atman tetap kekal abadi. Jadi dalam diri manusia mengandung pengabungan dari Atman dan raga, sehingga manusia memperoleh kehidupan. Maka jika Atman meninggalkan badan, maka badan mengalami kematian, tetapi Atman tetap kekal adanya dan tak dapat mati.
Dari uraian di atas kita dapat mengatakan, baik Agustinus maupun ajaran Hindu memiliki kesamaan pemahaman bahwa jiwa ada dalam kesatuan dengan badan. Badan bisa mati tetapi jiwa tak dapat mati. Namun ada perbedaannya bahwa pertemuan atman dengan badan jasmani dalam ajaran Hindu menyebabkan atman dapat mengalami sifat-sifat maya yang menimbulkan awidya (kegelapan). Jadi manusia lahir dalam keadaan awidya, yang menyebabkan ketidak sempurnaannya. Sementara dalam ajaran St Agustinus jiwa memiliki kemampuan untuk menyucikan dirinya dari pengaruh badan jasmani yang rapuh.
1.5. Persamaan dan Perbedaan Fungsi Jiwa dan Badan Menurut St. Agustinus dan Atman Dalam Ajaran Hindu
Dalam buku De Civitate Dei, menurut Agustinus fungsi jiwa memiliki tiga fungsi. Pertama, jiwa berfugsi menjiwai badan. Kehadiran jiwa dalam badan merupakan perwujudan kebaikan Allah yang menciptakan badan. Dengan kehadiran jiwa yang diciptakan Allah dalam diri manusia, membuat manusia menjadi bermartabat. Manusia dikatakan martabat karena badan berperan mengambil bagian dalam ide-ide penciptaan Allah sendiri. Kedua, jiwa tidak hanya menjiwai badan saja tetapi jiwa itu memiliki rasio dalam dirinya sendiri sehingga jiwa mewujudkan gambaran Allah atau imago De (Kej. 1:26). Ketiga, jiwa juga dipanggil menjadi serupa dengan Allah dan naik untuk bersatu dengan Allah sehingga jiwa bersifat kekal.
Fungsi jiwa ini, kemudian oleh Agustinus dilengkapinya dalam bukunya De quantitate animae. Menurut Agustinus ada tujuh jenjang fungsi kehadiran jiwa dalam badan. Pertama, menghidupkan badan yang terbuat dari tanah dan dapat mati. Kedua, keaktifan jiwa dalam badan membuat manusia mengenali dan mampun mengindrawi. Ketiga, memampukan badan manusia memiliki ingatan dan keterampilan, misalnya; pertukangan, karya-karya seni dan lain-lain. Keempat, memampukan manusia membedakan yang baik dan buruk. Kelima, menampakan bagaimana jiwa disucikan dari dosa. Keenam, memampukan jiwa dalam keaktifannya mengenal dan memahami apa yang paling tinggi. Ketujuh, jiwa sampai pada tahap visio et contemplatio kebenaran. Di sinilah jiwa berada dalam kebahagiaan.
Selain fungsi jiwa di atas, Agustinus juga melihat tiga fungsi badan. Pertama, badan diciptakan oleh oleh sedemikian rupa sehingga mampu melayani jiwa. Badan di sini memiliki peran membantu jiwa melaksanakan fungsinya dalam menjiwai badan. Kedua, badan memiliki peran eskatologis, di mana jiwa dan badan mampu mengatasi segala nafsu. Ketiga, badan juga terlibat dalam memperjuangkan jiwa sehingga mampu bersatu dengan Allah.
Ternyata fungsi jiwa yang dimaksudkan Agustinus memiliki kemiripan dengan fungsi atman dalam ajaran Hindu. Sebab menurut ajaran Hindu, atman berfungsi menghidupkan badan disebut jiwatman. Dengan adanya atman dalam badan, membuat manusia memiliki tenaga, dapat berpikir, indra dapat melihat dan merasakan, organisme tubuh dapat bergerak dan berkembang-biak. Jiwa juga pada akhirnya menurut ajaran Hindu mengatasi badan dan menuju Brahman. Sementara badan menurut ajaran Hindu adalah tempat melekatnya otot-otot, sel-sel, tulang dan lain-lain. Selain itu, badan juga memiliki kemampuan membantu jiwa sehingga jiwa berperan mejiwai badan.
Jadi baik Agustinus maupun ajaran Hindu, memiliki kesamaan pemahaman bahwa jiwa dan badan memiliki fungsi menghidupkan manusia itu sendiri. Perpaduan antara jiwa dan badan inilah manusia disebut bermartabat, sehingga manusia harus dihormati dan dihargai. Karena itu, kebutuhan badan dan jiwa harus dipenuhi secara seimbang. Agama Hindu sama sekali tidak mengajarkan pemeluknya untuk mengabaikan badan atau dunia. Tapi agama Hindu mengajarkan bahwa hendaknya manusia tidak hanya memikirkan dunia semata tetapi juga keselamatan jiwa. Sebab tujuan hidup manusia yang tertinggi adalah nirwana atau moksa.

1.6. Persamaan dan Perbedaan Keadaan Jiwa Setelah Kematian Badan Menurut St. Agustinus dan Atman Dalam Ajaran Hindu
Membahas keadaan jiwa setelah kematian; St. Agustinus mengikuti pemikiran Plotinos bahwa secara ontologis jiwa tidak hanya menjiwai badan tetapi juga mengarahkan ke atas. St. Agustinus berusaha menjelaskan jenjang-jenjang kenaikan jiwa ke atas. Dari segi pendekatan moral Agustinus mengatakan jiwa setelah kematian badan, jiwa kembali kepada Allah. Meskipun jiwa dipengaruhi dosa, jiwa tetap memiliki kemampuan untuk menyucikan dirinya dari dosa sehingga jiwa tetap ada dalam kesucian dan mengambil bagian dalam ide penciptaan Allah. Nampaknya Agustinus tidak hanya melihat keadaan jiwa ada dalam keadaan kesuciannya. Jiwa menurut Agustinus tidak hanya ada bersifat rohani semata, tetapi jiwa itu juga terlibat dalam urusan hidup sehari-hari.
Konsep jiwa setelah kematian menurut Agustinus di atas memiliki persamaan sekaligus juga ada perbedaan dengan ajaran Hindu. Persamaan bahwa jika Atman bebas dari dosa, maka jiwa itu langsung menuju nirwana. Namun jika Atman dipengaruhi dosa, maka Atman atau jiwa menurut ajaran Hindu setelah kematian badan, jiwa dapat berpindah ke badan jasmaniah yang lain. Konsep ajaran Hindu tersebut, ibarat orang yang menanggalkan pakaian lama dan menggantikannya dengan pakaian yang baru. Dengan kata lain, jiwa meninggalkan badan tua dan memasuki jasmani yang baru. Jiwatman yang mengalami terbelengu berpindah dari satu badan ke badan yang lain. Di sini jiwa mengalami reinkarnasi bahwa apabila badan jasmani mengalami kematian, maka atman berpindah ke jenis badan jasmani yang lain.
Atman dalam ajaran Hindu menganut paham hukum sebab akibat. Jika orang di dunia ini berbuat baik, maka Atmannya akan menuju surga. Sebaliknya jika Atmannya berbuat jahat, maka akan jatuh ke dalam neraka. Atman yang masuk dalam neraka akan mengalami siksaan sesuai dengan hasil perbuatannya. Oleh karena itu, Atman menurut ajaran Hindu, terjadi penjelmaan terus menerus sampai jiwatman sadar akan hakekat dirinya sebagai Atman. Jika Atman sampai pada kesadaran dirinya sebagai Atman, maka ia terlepas dari awidya dan mencapai kebahagiaan dan kedamaian yang abadi serta kembali bersatu dengan asalnya atau Moksa. Maka orang yang Atmannya lepas bebas dari duniawi, ia memperoleh kebahagiaan batin dan mencapai kebahagiaan abadi. Namun jika jiwa mengalami dosa atau terbelenggu, maka atman tidak akan kembali kepada Brahman.


1.7. Relevansinya
Setelah menguraikan persamaan dan perbedaan jiwa menurut Agustinus dan Atman menurut ajaran Hindu di atas, nampaknya manusia tidak perlu gelisahan akan kehidupan kekal jiwa manusia setelah kematian. Baik ajaran Agustinus maupun ajaran Hindu, nampaknya memberikan pengharapan kepada manusia atas kekekalan jiwa setelah kematian badan. Menurut Agustinus, jiwa yang baik akan mendapat kehidupan kekal dan bersatu dengan Allah setelah kematian badan dan Atman juga akan bersatu dengan Brahman menurut ajaran Hindu setelah kematian badan. Kedua konsep ini senada dengan ajaran Yesus sendiri, bahwa kematian Kristus di salib akan membawa kehidupan kekal bagi manusia. Jiwa manusia akan diselamatkan oleh Kristus berkat jasa-Nya. Karena itu, manusia dipanggil untuk selalu berbuat baik dalam kehidupannya, supaya jiwa setelah kematian badan mendapat kehidupan kekal yang membahagiakan di akhirat.

1.8. Kesimpulan
Konsep jiwa menurut St. Agustinus dan atman dalam ajaran Hindu, ternyata memiliki persamaan yang sangat kuat bahwa jiwa atau atman bersatu dengan badan dan bersifat kekal. Hanya beberapa point kecil saja perbedaan konsep jiwa atau atman dalam ajaran Agustinus maupun ajaran Hindu. Namun perbedaannya bahwa atman yang dimaksudkan ajaran Hindu adalah atman yang berasal dari Brahman yang ada dalam diri manusia itu sendiri. Sifat Brahman sudah ada dalam diri manusia sehingga menghasilkan atman. Sementara jiwa atau atman yang dimaksudkan St. Agustinus berasal dari Allah. Dalam ajaran Agustinus jiwa kembali kepada Allah setelah kematian dan jiwa yang terkena dosa akan disucikan terlebih dalam api penyucian. Sementara ajaran Hindu, jiwa yang baik pasti bersatu dengan Brahman, namun jiwa yang terkena dosa setelah kematian badan, ia berpindah ke badan jasmaniah yang lain.



Daftar Pustaka
Verhaar, John W.M., SJ, Identitas Manusia Menurut Psikologi Psikiatri Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Wenten, I Gede., Pendidikan Agama Hindu, Denpasar: Morodadi, 1975.
Kirchberger, G., SVD., Pandangan Kristen Tentang Dunia dan Manusia, Ende: Nusa Indah, 1986.
Veuger, Jacques, MSF., Hubungan Jiwa-Badan Menurut St. Agustinus, Yoyagkarta: Kanisius, 2005.
Ladang, M., Dasar Pokok Kepercayaan Agama Hindu, Bandung: Parisada Hindu Dharma, tanpa tahun.
Putra, Cudamani (Kumpulan Kuliah-kuliah Agama Hindu Jilid I), 1972.
Koesbyanto, J.A., Dhanu, dan Adi Yuwono, Firman., Pencerahan: Suatu Pencarian Makna

Hidup dalam Zen Budhisme, Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Suseno, Franz Magnis, SJ., 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Verhaar, Jhon W.M., SJ, Identitas Manusia Menurut Psikologi dan Psikiatri Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Berzin, Alexander, dan Thubten Chordron, Ven., 2 Sisi Kesunyatan, Jakarta: Yayasan Penerbitan Karaniya, 1993.
Sumedho, Ven. Ajahn., Kesadaran: Jalan Menuju Keabadian, Denpasar: Mutiara Dharma, 1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar