KONSEP KEBEBASAN DAN PENDERITAAN ANTARA SHOPENHAUER DAN BUDHISME
(Sebuah analisis Pemikiran Barat dan Timur)
Rofinus Jas, SVD
Pengantar
Konsep kebebasan dunia timur, kerapakali berbeda dengan konsep kebebasan di dunia Barat. Kebebasan di dunia Timur, terutama Budhisme mengartikan kebebasan lebih pada usaha membebaskan diri dari penderitaan. Sebab pemikiran Timur memahami penderitaan melekat pada eksistensi manusia. Maka untuk membebaskan diri dari penderitaan, dunia Timur menekankan Samadhi atau meditasi. Samadhi adalah ciri khas pola pikir dunia Timur terutama di India. Samadhi adalah suatu cara untuk mengatasi penderitaan manusia, misalnya pembebasan dari rasa sakit, menderita dan kematian. Sementara dunia Barat memahami kebebasan lebih pada pembebasan dari bentuk kelembagaan masyarakat, misalnya bebas dari tekanan otoritas pemerintahan, bebas dari hukum dan lain-lain. Kebebasan lebih pada usaha membebaskan diri dari tekanan yang datang dari luar diri manusia. Namun kalau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya kebebasan yang dimaksudkan dunia Timur maupun dunia Barat ada persamaannya. Sebab pandangan dunia Barat sangat dipengaruhi pandangan Yunani yang sebenarnya mirip dengan pandangan dunia Timur. Oleh karena itu, dalam artikel ini, penulis mencoba menggagas persamaan dan perbedaan konsep kebebasan dunia Timur dan dunia Barat, terutama pemikiran Schopenhauer dan Budhisme.
Titik-Tolak Hubungan Kebebasan dan Penderitaan Pemikiran Schopenhauer dan Budhisme
Titik-tolak etika Schopenhauer bahwa manusia pada dasarnya menderita. Seluruh premis Schopenhauer melukiskan pesimisme keadaan manusia yang penuh penderitaan. Manusia dilihat oleh Schopenhauer tidak pernah tenang, tidak pernah puas. Manusia penuh dengan harapan, keinginan, kecemasan dan kekhawatiran hidup. Manusia berusaha untuk memuaskan keinginan hatinya, tetapi toh tetap merasa kosong, hampa dan menderita. Manusia senantiasa selalu resah, mengalami kekecewaan, sakit, menderita bahkan pada akhir mengalami kematian.
Nampaknya pemikiran Schopenhauer di atas memiliki cara berpikir yang sama dengan Budhisme. Budhisme memiliki pemahaman bahwa penderitaan adalah bagian dari eksistensi manusia. Inilah hasil refleksi Siddharta Gautama, ketika ia pertama kali ke luar dari pintu gerbang timur istana disaksikannya laki-laki tua; kemudian dilihatnya orang sakit di pintu gerbang selatan; di pintu gerbang bagian barat dilihatnya orang mati dan akhirnya di pintu gerbang utama ia melihat seorang religius lewat. Empat pertemuan inilah, mengubah hidup Siddharta Gautama sehingga ia meninggalkan istananya dan menuntut hidup religius. Karena itu ia berusaha menemukan bagaimana jalan untuk membebaskan dirinya dari penderitaan tersebut.
Konsep Kebebasan dari Penderitaan Schopenhauer dan Budhisme
Analisis pemikiran Schopenhauer menunjukkan betapa ia dipengaruhi oleh Sang Budha Gautama. Sang Budha Gautama mengajarkan bahwa untuk bebas dari penderitaan, manusia harus melepaskan kehendaknya sendiri. Dengan melepaskan kehendaknya sendiri, manusia menemukan ketenangan sehingga ia mengalami pembebasan, ia masuk dalam keadaan moksha atau nirwana. Karena itu, Schopenhauer untuk membebaskan dari penderitaan, ia menawar dua cara utama, yaitu cara sementara dan cara definitif.
Pertama, dengan cara sementara. Menurut Schopenhauer, untuk bebas dari penderitaan harus dengan cara kontempelasi estetik atau dengan mengkotempelasikan karya seni. Bagi Schopenhauer dengan mengkontempelasikan karya seni akan memampukan manusia lepas dari penderitaan, sebab dengan mengkontempelasikan karya seni dapat membuka idea-idea abadi yang terjelma dalam karya seni itu. Di sini Schopenhauer dipengaruhi filsafat Yunani tentang theoria yang dipengaruhi pemikiran Aristoteles dan Plato. Kedua, kebebasan secara definitif. Menurut Schopenhauer untuk bebas dari penderitaan secara definitif dan total; manusia harus menolak kehendak untuk hidup. Dengan kata lain, manusia harus mati atau berhenti dari mau untuk hidup.
Lalu bagaimana cara membebaskan dari penderitaan menurut Budha? Siddharta Gautama pada awalnya mempelajari cara pembebasan dengan melakukan meditasi yoga. Meditasi ini dikenal pula sebagai Yogacara. Tujuan meditasi Yogacara ialah untuk konsentrasi pikiran dan intropeksi ke dalam hati sanubari, sekaligus untuk mengenali jiwa terdalam manusia. Namun kerapkali cara ini lebih menekankan jiwa dan merendahkan tubuh. Tubuh dianggap sumber dosa dan layak disiksa bahkan dihancurkan dengan kematian. Akibatnya, tubuh kerapakali didera sebagai upaya pembebasan jiwa. Kemudian cara pembebasan jiwa menurut Budha selanjutnya dengan menjalankan tirakat. Ada yang melakukan tirakat ekstrim seperti pengikut Jainisme dengan puasa total sampai mati. Kematian menurut mereka dianggap jalan keluar yang benar bebas dari penderitaan. Hal ini dipengaruhi konsep dualisme tubuh dan jiwa manusia. Karena itu, cara tirakat ekstrim ini ditinggalkan Siddharta dan mulai dengan hidup asketik sebagai bentuk usaha pembebasan manusia dari penderitaan.
Persamaan dan Perbedaan Konsep Kebebasan dari penderitaan Schopenhauer dan Budhisme
Bila mencermati secara teliti konsep kebebasan dari penderitaan Schopenhauer di atas, nampaknya ada persamaan dan perbedaan dengan pemikiran Timur terutama zen Budhisme. Persamaan bahwa, baik Budhisme maupun Schopenhauer keduanya mengakui bahwa manusia pada dasarnya menderita. Dilain pihak, baik Budhisme maupun Schopenhauer, cara untuk membebaskan diri dari penderitaan harus dengan penyangkalan diri.
Menurut Schopenhauer dan Budha, sikap penyangkalan diri yang tepat untuk bebas dari penderitaan adalah dengan sikap belas-kasih. Sang Budha mengatakan sikap belas-kasih merupakan sarana utama yang paling ampuh untuk membebaskan diri dari penderitaan. Maka Schopenhauer juga mengatakan bahwa sikap belas-kasih adalah dasar moralitas. Bagi Schopenhauer sikap belas-kasih kepada sesama manusia, akan menembus selubung Sang Maya, kefanaan sampai manusia itu menemukan realitas yang sebenarnya atau realitas noumenal. Jika manusia itu sampai pada realitas noumenal, maka secara total manusia bebas dari penderitaan. Manusia akan mati. Dalam kematian, manusia individual menghilang tanpa jejak, kembali ke kehendak alam semesta, seperti setetes air menyatu dalam air samudra tanpa jejak. Ia masuk ke dalam nirwana seperti nirwana yang dimaksudkan Sang Budha, bukan surga melainkan ketiadaan sebagai individual.
Namun ketika berbicara soal cara untuk membebaskan dari penderitaan secara sementara lewat kontempelasi karya seni, baik Schopenhauer dan Budhisme sedikit berbeda. Bagi Schopenhauer dengan mengkontemplasikan karya seni akan memampukan manusia lepas dari penderitaan, sebab dengan mengkontempelasikan karya seni dapat membuka idea-idea abadi yang terjelma dalam karya seni itu. Tujuannya adalah untuk mengacaukan keadaan diri manusia yang menderita dengan memandang dan mengkontempelasikan karya seni tersebut. Bagi Schopenhauer seakan-akan karya seni itu, mengundang manusia untuk mencerap ide-ide abadi atau ilahi yang ada dibalik karya seni tersebut. Dengan mengkontempelasikan karya seni tersebut, mengundang manusia menyatu di dalamnya, sehingga akhir manusia itu melupakan segala penderitaannya. Maka secara sementara menurut Schopenhauer manusia saat itu bebas dari penderitaan.
Sementara dalam zen Budhisme melihat bahwa karya seni itu bisa dirasakan atau direfleksikan.
Allan W. Watts mengatakan:
“The expression of zen in the art gives us one of the most direct ways of understanding it. This is the more so because the art forms which zen has created are not symbolic in the same way as other types of Budhisme art, or as is religius art as a whole”.
Suzuki menilai bahwa karya seni adalah bentuk ungkapan kebebasan manusia. Suzuki mengatakan, life is an art yaitu hidup merupakan manifestasi kebebasan. Bagi zen Budhisme karya seni itu tidak lain dari pada hidup itu sendiri. Menurut zen Budhisme, karya seni lebih pada ekspresi jiwa manusia secara bebas. Dengan melakukan tindakan membuat karya seni berarti manusia mengungkapkan kebebasannya. Suka duka jiwa manusia bisa diekspresikan secara bebas dalam karya seni tersebut. Maka dengan menuangkan ekspresi jiwa itu dalam karya seni, maka pada saat yang sama pula manusia itu bebas dari penderitaan meskipun sifatnya sementara.. Maka ajaran tentang hidup dalam zen itu ditemukan dalam karya seni.
Perbedaan yang sangat mencolok juga antara Schopenhauer dengan Budhisme adalah soal kebebasan secara total. Jika kebebasan total yang dimaksudkan Schopenhauer lebih bersifat sangat pesimistis tentang nilai hidup itu sendiri. Sebab menurut Schopenhauer jika manusia ingin bebas secara total, mau tidak mau manusia harus menolak kehendak untuk hidup. Konsep kebebasan ini jelas berbeda dengan konsep kebebasan Budhisme. Budhisme menekankan kebebasan lebih pada sifat aktif, yaitu; pembebasan dari suatu penderita harus dengan upaya. Pertama, kebebasan dengan cara prajna. Kebebasan sejati muncul dalam prajna yaitu, sebagai situasi tak berhingga terlepas dari dualisme pikiran. Di sini mau mengatakan bahwa kebebasan lebih pada situasi ketenangan pikiran yang tenang, pikiran yang tidak dikuasai nafsu atau boleh dikatakan pikiran yang penuh konsentrasi. Kedua, kebebasan juga muncul dalam kesadaran tindakan sepontan, spontaneous action. Spontanitas disebut sebagai sifat alami, naturalness. Kebebasan spontan lebih pada kebebasan yang menyatukan manusia dengan alam. Manusia dengan alam saling menyatu dan melingkupi sehingga terjadi harmoni. Ketiga, kebebasan yang merujuk pada kemurnian sifat manusia. Artinya lebih pada sifat yang wajar-wajar saja bukan dibuat-buat. Maka kesimpulan kebebasan yang dimaksudkan Budhisme lebih pada keadaan manusia bersatu dengan alam. Manusia menjadi bebas karena manusia menyatukan dengan alam semesta.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, nampaknya pemikiran Schopenhauer sangat dipengaruhi oleh Budhisme. Hal ini terbukti ketika berbicara tentang pembebasan dari penderitaan, baik Schopenhauer maupun Budhisme memiliki persamaan meskipun juga ada perbedaan. Karena itu konsep pemikiran Barat dan Timur sebenarnya ada korelasinya meskipun tidak semua pemikiran Barat memiliki korelasi dengan pemikiran Timur. Namun ada tokoh pemikiran Barat tertentu yang cara pemikirannya sangat dipengaruhi oleh pemikiran Timur, termasuk salah satunya adalah Schopenhauer yang sudah diuraikan di atas.
Daftar Pustaka
J.A. Dhanu Koesbyanto dan Firman Adi Yuwono, Pencerahan: Suatu Pencarian Makna
Hidup dalam Zen Budhisme, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Franz Magnis Suseno SJ, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Jhon W.M. Verhaar, SJ, Identitas Manusia Menurut Psikologi dan Psikiatri Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Dr. Alexander Berzin dan Ven. Thubten Chordron, 2 Sisi Kesunyatan, Jakarta: Yayasan Penerbitan Karaniya, 1993.
Ven. Ajahn Sumedho, Kesadaran: Jalan Menuju Keabadian, Denpasar: Mutiara Dharma, 1994.
Kamis, 29 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar