Selasa, 20 Januari 2009

Politik



HAK ASASI MANUSIA VERSUS INDIVIDUALISME BERTENTANGAN DENGAN PAHAM KEKELUARGAAN SEBAGAI JIWA BANGSA INDONESIA

“Sebuah analisis teks pidato Soekarno dalam Rapat Besar BPUPKI Tanggal 11-15 Juli 1945”
Rofinus Jas, SVD

I. Pengantar

Permasalahan mengenai HAM memang menarik untuk dicermati. Indonesia termasuk negara yang memiliki cara pandang sendiri mengenai konsep HAM. Hal ini terbukti sejak berdirinya bangsa Indonesia muncul keragu-raguan beberapa founding of fathers memasukan konsep HAM di dalam UUD 1945. Salah satu tokoh pendiri bangsa Indonesia yang meragukan memasukan hak individu dalam UUD 1945 adalah Sukarno. Bung Karno secara mengejutkan menolak mencantumkan hak individu dalam UUD 1945. Hal ini melahirkan perdebatan hanyat, mengapa Sukarno menolak hal tersebut? Apa alasan yang mendasar sehingga Sukarno menolak memasukan hak individu dalam UUD 1945? Untuk menggagas masalah ini secara komprehensif, penulis mengkajinya dari teks pidato Sukarno dalam “Rapat Besar BPUPKI” Tanggal 11-15 Juli 1945.


II. Pengertian HAM
Hak Asasi Manusia biasanya dimengerti sebagai hak yang dimiliki setiap pribadi manusia sejak lahir. Pemahaman HAM dalam konteks ini, tentu pertama-tama lahir dari permenungan mendalam manusia dalam kodratnya. Setiap manusia sejak lahir langsung memiliki kodratnya sebagai manusia, tidak peduli apakah dia cacat atau normal, lahir di istana atau rumah orang miskin. Sejak manusia itu masih bayi dalam kandungan pun, ia sudah memiliki kodratnya sebagai manusia. Kodrat berarti merujuk pada keluhuran martabat manusia itu sendiri. Maka hak yang paling tinggi dalam konteks Hak Asasi Manusia adalah hak hidup. Hak hidup adalah hak yang tidak bisa diasingkan dari manusia, karena hak itu tidak bisa dialihkan, ditukar, dikorbankan, diganggugugat, disalahgunakan, digusur atau dilenyapkan demi kepentingan apa pun.


III. Hak Asasi Manusia Versus Individualisme
Perdebatan memasukan hak individu ke dalam UUD 1945 tentu memiliki asalan yang sangat mendasar. Mengapa? Sukarno sebagai seorang yang bijaksana termasuk salah satu anggota sidang BPUPKI pada waktu itu, merasa keberatan memasukan konsep HAM versus individualis tersebut ke dalam dasar Negara. Sukarno menyadari pijakan pemahaman HAM versus individualis modern sangat bertentangan dengan jiwa bangsa Indonesia yang mengedepankan prinsip kekeluargaan. Jika HAM versus individualis dimasukan dalam dasar negara, maka dengan sendirinya melanggar atau bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia. Namun sebagai seorang yang sangat bijaksana, secara kompromis ia mengajukan persoalan ini dalam sidang. Pada hal sebagian anggota sidang waktu itu sudah mengetujui hal tersebut.
Dalam rapat Panitia Hukum Dasar tanggal 11 Juli 1945, ketua sidang Sukarno, bertanya: “Jadi, tentang declaration of rights? Apakah tuan-tuan mufakat?”. Supomo yang sangat berpengaruh pada waktu itu mengajukan pendapatnya: “Saya belum mengerti apa maksudnya declaration of rights seperti yang dikemukan di waktu Fance revolutie dan Amerika bersandar atas invidualisme yaitu kepercayaan bahwa manusia seorang harus dijamin hak-haknya yang diberikan kepada alam dan Negara …itu sudah perang dunia I dan terutama di zaman ini bukan saja di Asia Timur tetapi juga Amerika dan Eropa pun sudah sebagai excess. Apakah kita sekarang meneruskan excess….. Jadi, jangan menyandarkan Negara kita pada aliran perseorangan tetapi pada aliran kekeluargaan…karena sesuai dengan sifat ketimuran?
Sukarno kemudian ia melanjutkan: “Juga tidak perlu kalau diadakan in de damkringvan kekeluargaan? Supomo: “Kalau begitu saya mufakat”.
Penghormatan HAM sebenarnya sudah dihayati oleh budaya bangsa Indonesia. Namun, ketika HAM sebagai konsep universal dimasukkan dalam UUD 1945 menimbulkan perdebatan. Maka sidang besar tanggal 15 Juli 1945 merupakan lanjutan sidang kedua BPUPKI membahas UUD. Melihat pentingnya sidang ini, Sukarno mengajak semua anggota sidang untuk menyadari kembali mengapa persoalan hak individu tidak dimasukan dalam UUD. Pada sidang kedua tanggal 15 Juli 1945, Sukarno mulai menjelaskan secara terinci alasan mengapa ia tidak setuju memasukan hak individu dalam UUD 1945.
Ia mengatakan:
“Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya telah mengetahui bahwa UUD daripada negara-negara itu tadi ialah didasarkan atas dasar falsafah pikiran yang dikemukan oleh revolutie Prancis yaitu individualisme dan liberalisme. Ajaran-ajaran yang dikeluarkan oleh Rousseau, oleh Montesqieu, oleh Hobbes, oleh Locke, oleh Immanuel Kant, faham individualisme dan liberalisme, itulah yang menjadi dasar falsafah UUD yang saya sebutkan tadi.
Di dalam semua UUD negara merdeka dimasukan apa yang kita sebut dengan bahasa asing “les droits de l’homme et du citoyen’ atau “the rights of the citizens” yaitu kemerdekaan tiap-tiap individu yang berhak atas kemerdekaan, berhak memiliki rumah tangga, bersidang dan berkumpul. Semuanya itu rancangan UUD kita Indonesia tidak dituliskan terletak dalam UUD negara-negara yang kita kenal, hampir semuanya, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya sekalian. Maka oleh karena itu, melihat UUD itu semuanya, beberapa anggota kepada kami dan menanyakan apa sebab dalam “les droits de l’homme et du citoyen” itu tadi.

Sukarno dalam teks di atas, ia menyampaikan bahwa apa yang dilakukan dunia Barat yang sangat mengagung-agungkan hak individu mengakibatkan banyak orang terjebak pada paham sangat individualistis. Sukarno melihat jika hak individu diutamakan akan menjadi sumber malapetaka bagi dunia. Ia mengambil contoh Negara Eropa dan Amerika didirikan di atas dasar hak kedaulatan staat yang dinamakan staatssouvereinteit. Bagi Sukarno jika hak individu dimasukkan dalam UUD 1945, akan fatal dan bertentangan dengan jiwa kekeluargaan bangsa Indonesia. Sukarno tidak mau terjebak pada konsep Barat yang terlalu mengagung-agungkan hak individu. Ia tetap mencintai budaya bangsa Indonesia yang sangat menekankan kekeluargaan, gotong-royong, dan penuh persahabatan.

IV. Alasan-alasan Sukarno
Sukarno kemudian menyampaikan alasan mendasar secara terinci mengapa hak individu tidak dimasukan dalam UUD 1945.
Pertama, Sukarno melihat hak individu termasuk salah satu sumber malapetaka bagi dunia. Sukarno maupun Supomo, ide hak individu sudah mengandung konflik. Konflik itu antara lain bahwa hak individu pasti mengalami pertentangan dengan hak kemerdekaan kedaulatan staat sebagai suatu badan yang memelihara “bonum commune”.
Ia dengan tegas mengatakan:
“Hak kemerdekaan manusia sebagai hak individu dan hak kemerdekaan kedaulatan staat sebagai suatu badan pula. Itu sebenarnya sudah mengandung konflik dan sebagai apa yang saya tadi terangkan kepada Tuan-tuan dan Nyonya sekalian, justru pertentangan dalam kebatinan negara-negara, itulah yang membuat dunia Eropa dan Amerika menjadi dunia yang penuh dengan konflik, dengan pergoncangan, dengan pertikaian klassenstrijd, dengan peperangan”.

Kedua, hak-hak dasar warga negara memang berasal dari paham individualisme. Namun Bung Karno melihat bahwa paham individualisme menurut paham negara Eropa langsung berasal dari paham liberalisme seperti yang dicetuskan Adam Smith yang getol dengan prinsip: “laissez faire, laissez passer”. Paham inilah yang melahirkan kapitalisme dan monopoli kepentingan sendiri. Sukarno menilai kapitalisme telah memasungkan bangsa Indonesia dalam kesengsaraan selama 350 tahun.
Ketiga, Sukarno kemudian melanjutkan alasannya bahwa paham imprealisme yang bersumber pada individualisme telah menimbulkan paham nasionalisme menjadi sempit. Akibatnya terjadi konflik, karena terjadi saling menyerang, misalnya muncul semboyan Rule Britania, rule waves atau Deutschland uber alles. Paham individualisme telah melahirkan kebencian, kekejian, pembataian sadis terhadap bangsa lain, mengakibatkan banyak korban jiwa. Sukarno dengan tegas menolak paham indivualisme untuk diterapkan di Indonesia. Ia berusaha menyakinkan para pendengarnya, agar paham individualisme ditolak dengan membandingkan negara-negara Eropa dan Amerika yang berpaham individualistis. Ia menilai paham individualis adalah paham salah.

Sukarno menegaskan:

“Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya yang terhormat bahwa dasar falsafah negara-negara Eropa dan Amerika adalah benar falsafah yang salah. Apakah kita hendak menulis dasar yang demikian itu dalam UUD? Apakah kita hendak menjadi satu bangsa yang akan mendapat nasib yang sama dengan bangsa-bangsa yang telah saya gambarkan? Tuan-tuan sekalian yang terhormat, saya yakin “tidak”! Sebab dasar yang demikian itu telah menimbulkan kapitalisme, imprealisme, peperangan. Dasar falsafah yang demikian itu tidak boleh tidak tentu hancur-lebur, oleh karena apa? Oleh karena tenaga-tenaga penentang yang ada di dalam batin sendiri, menghancur-leburkan segenap sistem yang didasarkan atas dasar individualisme”.

Sukarno dengan tegas menolak paham individualisme. Sebab jika bangsa Indonesia menganut paham individualisme, Asia dalam tempo tidak lebih dari sepuluh tahun yang akan datang, akan menyala-nyala dengan api peperangan; bukan lagi api peperangan antara sekutu dengan kita, tetapi peperangan antara kita dengan kita…maka saya minta kepada Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya agar paham individualisme jangan dimasukan dalam UUD kita yang dinamakan rights of the citizes…”.
Keempat, Sukarno melanjutkan alasan bahwa individualisme bertentangan dengan keadilan sosial.

Ia mengatakan:
Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya yang terhormat. Kita telah menentukan di dalam sidang pertama bahwa kita menyetujui kata keadilan sosial dan preampule. Keadilan sosial inilah protes kita yang sangat hebat kepada dasar individualisme. Tidaklah dalam sidang pertama saya telah menyitir perkataan Jaures yang menggambarkan salahnya liberalisme di zaman itu, kesalahan demokrasi yang berdasarkan liberalisme itu….Tuan-tuan yang terhormat! Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet menuliskan bahwa manusia bukan saja mempunyai hak kemerdekaan bersuara, kemerdekaan hak memberikan suara, mengadakan sidang dan rapat, jikalau misalnya tidak ada sosial rechtvaardigheid. Buat apa kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet berisikan ‘droit del’homme et du citoyen’ tidak bisa menghilangkan kelaparan orang miskin yang hendak mati”.

Sukarno nampaknya tetap berpendirian bahwa mendirikan suatu negara khususnya negara Indonesia bukan susunan pemerintahannya tetapi pada philosofische groundslag, filsafat dasar atau Weltanschauung-nya. Menurut Sukarno philosofische groundslag adalah fundamen falsafah, pikiran yang paling dalam, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal abadi”. Ia menilai falsafah Negara merupakan hasil pencarian seluruh elemen bangsa bukan hasil pencarian seseorang saja tetapi semua lapisan bangsa. Sebuah negara pertama-tama didirikan pertama-tama bukan karena ‘perstuan perangai karena persamaan nasib’ atau ‘hanya sebatas kehendak bersatu’ melainkan kesatuan karena mengakui satu falsafah dasar yang sama.
Kelima, Sukarno memberikan alasan bahwa individualisme, liberalisme telah menjadi parlemen demokrasi Eropa dan Amerika tetapi untuk diterapkan di Indonesia sangat tidak cocok. Kita merancang Undang-undang dengan kadaulatan rakyat dan bukan kedaulatan individu.

Ia mengatakan:
“… Marilah kita tunjukkan sekarang pada saat yang genting dan penting ini, keberanian kita di hadapan seluruh dunia; pertama-tama keberanian menyatakan kemerdekaan kita…Marilah kita menunjukkan keberanian kita dalam menjunjung hak kedaulatan bangsa kita dan bukan saja keberanian yang begitu tetapi juga keberanian merebut paham yang salah di dalam kalbu kita. Keberanian menunjukkan bahwa kita tidak hanya membebekan kepada contoh-contoh UUD negara lain, tetapi membuat sendiri UUD yang baru yang berisikan kefahaman keadilan yang menentang individualisme dan liberalisme; yang berjiwa kekeluargaan dan gotong-royong”.

Jika menelusuri gagasan Sukarno di atas, mengapa ia menolak dengan keras memasukan hak individualis dalam UUD 1945. Patut dibanggakan karena Sukarno sungguh menyadari benar jiwa bangsa Indonesia. Ia tidak menghendaki negara Indonesia menjadi negara kekuasan. Sukarno menghendaki negara Indonesia menjadi negara pengurus. Bangsa Indonesia harus berlandaskan gotong-royong dan usaha bersama… Sukarno sangat sadar jika hak individu masuk dalam UUD 1945 akan melahirkan kekuasaan tak terbatas kepada penguasa. Ia mengajak semua elemen bangsa untuk jangan takut bersuara, sebab rakyat adalah yang berdaulat bukan penguasa. Sukarno tetap melihat individu memiliki hak untuk bebas berpikir, bersuara tetapi bukan berarti bersifat individualisme yang tidak bertanggungjawab.
Ternyata apa yang dimaksudkan Sukarno di atas didukung oleh Hatta dan Supomo. Hatta melihat bahwa meskipun bangsa Indonesia menganut paham kekeluargaan tetapi tanpa jaminan dalam UUD, bisa saja terjerumus dalam bentuk kekuasaan yang mencengkram dan menindas rakyat. Hatta mendukung hak asasi manusia.
Supomo justru lebih menarik jika mencermati apa yang dimaksudkan HAM. Ia menghendaki negara justru memiliki kewajiban melindungi setiap pribadi individu. Bukan berarti negara memiliki hak untuk memberikan hak setiap individu itu kepada setiap pribadi manusia. Sebab negara tidak memiliki hak apa pun berhubungan dengan hak asasi setiap pribadi manusia. Manusia dari kodratnya memang sudah memiliki hak tersebut. Maka pemerintah atau negara tidak boleh menggagu-gugat, menghalangi, memaksa untuk mengambil-alih hak tersebut dari setiap pribadi manusia. Negara hanya bertugas menjamin hak setiap individu itu dari penindasan atau pemaksaan dari pihak mana pun juga.

V. Kesimpulan
Setelah mengupas masalah mengenai HAM di atas, Sukarno boleh dikatakan tokoh yang patut dihormati. Ia tokoh pendiri negara Indonesia yang sungguh-sungguh memahami jiwa bangsa Indonesia. Keraguan-keraguan Sukarno tentu memiliki alasan yang sangat mendasar yang telah diuraikan dalam lima alasan di atas. Memasukan hak individu dalam UUD 1945, akan pasti menjadi bumerang menimbulkan konflik dan peperangan di negara ini. Rupanya kecemasan Sukarno, juga kita rasakan sampai sekarang. Pelanggaran HAM justru kerapkali pelakunya adalah para penguasa bangsa Indonesia. Harkat martabat manusia kerapkali dikorbankan demi kekuasaan tetap langgeng. Hal ini dilakukan zaman ORBA bahkan sampai sekarang.
Usaha yang paling mendesak menurut penulis adalah bagaimana posisi HAM harus dinomorsatukan dalam hidup bersama dalam sebuah tatanan masyarakat Indonesia ini. Menghormati HAM akan melahirkan “bonum commune” yang aman, damai dan sejahtera.

Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, VOX, 42/1, 1997.
Mulya Lubis, Todung, In Search of Human Rights, Jakarta:Gramedia, 1993.
Nasution, Adnang Buyung, Pengatar, Instrumen Internasional Poko Hak Asasi Manusia, Peter Baehr, et al., (ed.)., Jakarta: Obor, 1997.
Risalah Sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persipan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 28 Mei-22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995.
Riyanto, Armada., CM, Catatan Kuliah Filsafat Politik, STFT Widya Sasana Malang, 2000.
Schultheis, Michael J., dan Henriot, Peter, Pokok-Pokok Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta:
Kanisius, 1993.
Zainudin, Rahmat, HAM Indonesia, Pembangunan Politik, Stuasi Global dan Hak Asasi di Indonesia, Hans Munando, et.al., (ed.)., Jakarta: Gramedia, 1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar