Senin, 19 Januari 2009

HAM

AGAMA, KEKERASAN DAN MARTABAT MANUSIA
Rofinus Jas

I. Pengantar
Kemajemukan agama merupakan realitas sosial yang tak terbantahkan di tanah air kita. Kemajemukan agama tersebut, tidak jarang menjelma menjadi problem sosial dan kekerasan bernuansa sara meletup di Situbondo, Maluku, Poso, Ambon, Mataram, Lombok dan lain-lain. Sejak dua/tiga tahun lalu, Indonesia menjadi negeri yang dipenuhi dengan coreng-moreng perilaku kekerasan, baik struktural maupun horizontal. Perilaku demikian, baik individual maupun kolektif, antar pribadi maupun suku, senantiasa melibatkan unsur agama didalamnya. Kerusuhan bersentimen agama, meskipun tidak secara taken for granted berdiri sendiri, menjadi kerusuhan yang paling mengerikan dalam masyarakat beragama, dimana kekerasan atau kerusuhan seakan-akan dibenarkan agama. Agama menjadi justifikasi perbuatan perusakkan, pembakaran, pengambilalihan hak milik secara paksa, dan pembunuhan orang-orang tak berdosa. Sebagai contoh peristiwa Situbondo 1996; Sanggauledo-Kalimantan Barat 1997; pembunuhan kiai-kiai di Banyuwangi 1998; peristiwa 12-14 Mei 1998 di Jakarta dan Solo; Konflik Maluku sejak tahun 1998 hingga kini; dan Kalimantan Barat terutama di Sambas 1999 serta Pontianak 2000 adalah daftar hitam di mana agama secara tidak langsung turut "bermain didalamnya". Puncak konflik berbau sara tersebut, secara terbuka terjadi di Maluku tepatnya pada hari Lebaran tahun 1999. Pristiwa Maluku tersebut, yang paling mengerikan terjadi pada tanggal 23 November 2000, dimana ketika kampung Kristen di pulau Kesui dikuasai Laskar Jihad, semua warga yang melawan dibunuh, rumah-rumah dibakar dan gereja-gereja dirusakkan secara paksa. Sementara di kota Ambon sendiri, tercatat 175 gereja Kristen dan Katolik yang rusak serta 28 masjid juga dibakar. Pengerusakkan Gereja juga terjadi di Poso sejak tahun 1999, tercatat 21 gereja Kristen yang rusak dan kebanyakan hancur total. Sementara masjid juga banyak yang rusak, namun kami tidak memperoleh data yang terinci mengenai jumlah masjid yang rusak tersebut. Di propinsi Aceh, selama tahun 1998 tercatat 6 gereja yang dirusak. Pada tanggal 20 Juli 1998 di kabupaten Kuta Serangan di Aceh Tengah, 4 gereja Protestan dibakar dan tanggal 31 Agustus 1998 di Lhokseumawe, 2 gereja terkena lemparan batu hingga rusak berat yakni gereja Metodist dan gereja Batak. Pertanyaannya, mengapa agama senantiasa "dilibatkan" dalam konflik kekerasan? Apakah agama memang pemicu perang dan kekerasan? Ataukah agama itu anti kekerasan? Lalu, apa hubungan agama, kekerasan dengan martabat manusia? Peroalan inilah yang akan digagas penulis dalam artikel ini.


II. Sebab-Sebab Tindakan Kekerasan

2.1. Sikap Fanatisme Agama
Sikap fanatisme agama berlebihan, cenderung menjadi pemicu awal tindakkan kekerasan atas nama agama. Sikap fanatisme rentan menuju kekerasan, sebab sikap ini cenderung membuat orang terbius menganggap agama sendiri yang paling benar dan cenderung menghina agama lain. Sikap fanatisme, membuat orang terkurung dalam paham agamanya sendiri. Mereka cenderung tidak mau membuka diri terhadap orang lain, khususnya mereka yang beragama lain. Seorang yang fanatik cenderung tertutup dalam dunia kecilnya sendiri. Seperti Ermina dan Susetyo mengatakan: “Berangkat dari akar fanatisme yang sempit telah melahirkan implementasi yang serius pintu awal lahirnya konflik-konflik baru. Dengan demikian, akar fanatisme justru telah menisbikan dimensi kemanusiaan universal. Tak pelak bahwa sikap fanatisme juga telah melakukan peremehan realitas. Realitas akan adanya perbedaan, kesetaraan dan semacamnya”.
Mereka tidak dapat melihat kebenaran eksistensial dalam diri orang yang beragama lain. Mereka sulit sekali menerima kebenaran dalam agama lain. Pendek kata, fanatisme agama merupakan sikap yang membuat orang menganggap agamanya sendiri yang paling benar dan yang lain adalah sesat dan kafir. Seperti apa yang dikatakan Ahmad Sudirman mengatakan bahwa fanatisme adalah: “Keyakinan yang kuat terhadap kebenaran, idealisme, kepercayaan dan keyakinan yang dianut seseorang. Dalam konteks keagamaan munculnya sikap yang menganggap bahwa agama dan keyakinannya yang paling benar sementara agama lain tidak benar”. Sementara fanatisme agama menurut Ensiklopedi Umum adalah: “Semangat untuk mengejar-ngejar sesuatu tujuan tertentu, disertai manifestasi emosional yang sangat kuat dan luar biasa tanpa dasar rasional-obyektif-akseptabel yang cukup”. Jadi, sikap fanatisme agama tidak hanya membuat orang tidak nyaman tetapi sangat mengganggu ketentraman dalam masyarakat.

2.2. Eksklusivisme Agama
Eksklusivisme jika dilihat dari arti katanya, adalah ketertutupan, penyendirian, pengasingan diri dari pergaulan dialogal atau penyangkalan keberadaan orang lain. Eksklusivisme agama berarti sikap mengfokuskan agamanya sendiri. Mereka yang mengusung konsep eksklusivisme adalah mereka yang memandang agamanya sendiri sebagai satu-satunya sarana keselamatan. Eksklusivisme menurut Panikker mengandung unsur kepahlawanan tertentu. Artinya, mereka mengabsolutkan agamanya sendiri sebagai satu-satu agama yang membawa keselamatan. Mereka menganggap membunuh orang lain atas nama agama adalah suatu pekerjaan yang mulia dan menganggap membela Allah sendiri. Mereka menilai, kelompok lain dianggap musuh dan harus ditaklukkan. Agama lantas berwajah sadis, sangar, seram, dan mendorong permusuhan serta pembunuhan.
Kita harus akui bahwa setiap agama memiliki sikap eksklusivis dalam melihat agama lain. Dalam arti, agamanya sendiri yang paling benar dan agama orang lain tidak benar. Contoh; bagi orang Yahudi, tidak ada nabi setelah Musa, sehingga nabi yang datang kemudian tidak diakui. Hal ini menyebabkan amarah pihak Kristen dan Islam atas kehadiran Yesus dan Muhammad. Dikalangan Katolik, eksklusivisme hadir dalam kecenderungan “eklesiastikalis keselamatan”. Keselamatan cenderung dipagari dalam batas-batas Gereja seperti terekam dalam ungkapan “ di luar Gereja tidak ada keselamatan”. Untuk memperoleh keselamatan orang harus secara eskplisit menjadi anggota Gereja. Gereja Katolik diyakini sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Agama-agama lain mungkin memiliki keutamaan manusiawi yang baik, namun mereka bukan jalan keselamatan. Pandangan tradisional Gereja Katolik sebelum Konsili Vatikan II mengenai keselamatan harus diakui sangat diwarnai oleh paradigma eksklusivisme-eklesiosentris.
John Hick mengakui bahwa paradigma eksklusivis juga hadir dikalangan Kristen Protestan dengan bobot yang tidak kalah kuatnya. Pandangan Karl Bart (1886-1968) dari kalangan evangelis konservatif sebagaimana disitir oleh Coward dan Knitter mengatakan bahwa Allah hanya dapat dikenal berkat wahyu Allah. Rahmat Allah yang menyelamat itu hadir dalam Kristus. Kehadiran rahmat Allah dalam Kristus inilah yang membuat agama itu paling benar. Jadi, agama Kristen yang paling benar. Eksklusivisme Protestan tampak lebih pada eksklusivisme-kristosentris. Sementara dalam Islam, sikap eksklusivisme nampak dalam konsep bahwa Islam adalah agama yang paling benar karena menganut paham Allah Yang Tunggal. Bagi Islam konsep Allah Tritunggal yang dianuti oleh orang Kristen adalah sesat dan kafir.
Sikap eksklusivisme seperti yang digambarkan diatas, cenderung menimbulkan banyak bahaya dan pertentangan dalam masyarakat, misalnya; intoleransi, kesombongan, dan menghina agama orang lain. Dengan demikian, seorang yang eksklusivis cenderung berusaha memonopoli kebenaran, cenderung tertutup, tidak mau mendengarkan dan memahami orang lain serta bersikap otoriter. Sikap eksklusivisme, biasanya cederungan memiliki sikap mengadili mana agama yang benar dan mana agama yang sesat, siapa yang pantas masuk surga dan siapa yang tidak pantas masuk surga.

2.3. Fundamentalisme Agama
Terminologi fundamentalis mengalir dari kata kerja, fundare yang berarti mengalaskan, mendasarkan, menegakkan dasarnya, memegang teguh pendirian yang mendasar. Pendasaran yang dimaksudkan adalah pendasaran ajaran-ajaran agama sebagai sesuatu yang tidak bisa dibantahkan. Apa yang dikatakan dalam Kitab Suci, itu yang paling benar dengan memahami secara harafiah. Menurut James Barr dalam bukunya, mengatakan bahwa, karakteristik fundamentalisme memiliki ciri-ciri:
1. Penekanan kuat pada ketidaksalahan inerrancy Kitab Suci; Alkitab, Alquran, dan lain-lain. Kitab Suci tidak mengandung kesalahan apa pun.
2. Kebencian mendalam terhadap teologi modern terutama atas studi-studi kritis modern terhadap Kitab Suci.
3. Adanya jaminan kepastian bahwa mereka yang tidak menganut agama tertentu bukanlah orang Kristen, Islam, Budha, Hindu yang beriman sejati.
Fundamentalisme hampir sama dengan fanatisme. Namun fanatisme lebih mengarah kepada sikap, sedangkan fundamentalisme lebih mengarah kepada paham, sehingga muncul paham fundamentalisme Krsiten, Islam, Budha, Hindu dan lain sebagainya. Mereka yang berpaham fundamentalisme, kerapkali menendang keberadaan orang lain, suka bermusuhan dan menghina kebenaran iman orang lain. Sikap fundamentalisme akhirnya mengarah kepada tindak-tindakan kekerasan dengan mengklaim bahasa suci berperang untuk Tuhan, mati demi membela agama, jihad dan lain sebagainya.
Paham fundamentalisme di atas, bisa dikatakan menjadi salah satu penyebab tindakkan kekerasan atas nama agama. Mereka yang berpaham fundamentalisme, cenderung tidak menerima penganut agama lain. Mereka menganggap agama lain kafir, tidak benar, najis, menyembah berhala, kelompok pendosa dan tidak akan mendapat keselamatan diakhirat. Kehadiran mereka inilah menjadi pemicu konflik agama dalam masyarakat. Kita tahu, meskipun kelompok fundamentalisme termasuk sekte kecil dalam setiap agama, tetapi mereka dapat memprovokasi pihak lain, sehingga menimbulkan konflik dalam kehidupan beragama.

2.4. Proselitisme
Proselitisme salah satu pemicu timbulnya konflik dalam kehidupan beragama. Proselitisme adalah bentuk penyebaran agama secara tidak sopan dengan menggunakan segala macam dalih dan siasat, misalnya; membujuk seseorang untuk masuk agama tertentu dengan bujukan manis, uang suap, hadiah-hadiah, tekanan, ancaman-ancaman dan lain-lain. Cara proselitisme sama sekali tidak menghargai konsep kebebasan beragama sebagai HAM.
Praktek proselitisme seringkali tidak manusiawi. Misi pewartaan disalahgunakan menjadi tendensi sekedar mencari anggota supaya mengabungkan diri dalam agama tertentu. Mereka mendatangi rumah tertentu dengan memberikan hadiah-hadiah atau janji-janji yang menggiurkan, asalkan orang bersangkutan masuk agama mereka. Mereka juga mengunakan ceramah-ceramah, kotbah, tulisan-tulisan yang bernada menjelekkan agama lain. Cara proselitisme, tentu menjadi pemicu konflik dan akhirnya muncul kekerasan serta pembunuhan dan lain-lain.

2.5. Luka dan Beban Sejarah
Tidak bisa dipungkiri bahwa luka dan beban sejarah dimasa lalu, termasuk sederetan penyebab terjadinya konflik dalam kehidupan beragama. Contoh; perang salib, sebagai salah satu contoh konflik agama masa lalu. Menurut Prof. DR. Burhanuddin bahwa konflik masa lalu bisa menjadi penyebab konflik kehidupan beragama saat ini. Senada juga dikatakan Franz Magnis Suseno, SJ mengatakan bahwa; “Hubungan umat Krsiten dengan Islam dibebani tidaknya saling pengertian untuk melupakan masa lalu. Umat Islam tidak melupakan perang salib 200 tahun yang lalu dan imprealisme kekuatan-kekuatan Eropa. Umat Kristen selalu mengisolasikan Islam dengan Tour dan Politer (pertempuran di dekat kota Paris tahun 738 M, dimana Raja Prancis Karl Martel menghentikan ofensi tentara Arab) dan 300 tahun keterancaman Eropa di Turki”.
Dalam konteks Indonesia, Alwi Shihab mengatakan, bahwa hubungan Kristen dan Islam di Indonesia sejak semula memang mengalami gangguan. Masuknya agama Kristen di Indonesia mengejukan umat Islam. Isu kristenisasi yang ditunggang oleh para penjajah bangsa Barat di Indonesia. Isu islamisasi di Indonesia bagian Timur, dengan hadirnya pedangag Jawa, Bugis dan Padang yang nota bene beragama Islam. Jadi, isu kristenisasi dan islamisasi masa lalu, tentu menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik dan kekerasan dalam kehidupan bersama umat beragama di tanah air kita.

III. Benarkah Agama Menjustifikasikan Kekerasan?
Barangkali pernyataan agama sebagai "sumber dan pembenar" atas aksi kekerasan akan kita tolak. Tetapi, setiap peristiwa yang merugikan orang lain "atas nama" ajaran agama, atau demi "membela agama", maka sulit bagi kita menyangkal kalau agama steril dari unsur kekerasan. Bisa dibilang agama telah imun dengan kekerasan! Agama seolah-olah dijadikan pembenaran untuk perbuatan kotor, culas, pembunuhan, dan sebagainya. Bukankah agama yang demikian akhirnya tidak lebih dari sekadar agama yang berwajah bopeng dan sangar? Apalagi kekerasan itu dipelopori oleh para elite agama (agamawan) yang sebenarnya dijadikan panutan, figur, dan pemberi nasihat untuk umatnya? Agama seakan-akan menjadi sumber malapetaka yang senantiasa melilit kehidupan manusia. Tetapi perlu kita ketahui, bahwa umat beragama yang menjadikan agama demikian sadistis dan garang. Agama tidak bersalah, yang salah adalah umatnya. Kita lantas bisa bertanya, mengapa umatnya demikian? Apakah ajaran-ajaran agama tidak berbekas pada setiap umatnya? Bila demikian, untuk apa orang beragama?
Lantas apa yang bisa menjadikan agama tidak berwajah sadis, sangar, seram, dan mendorong permusuhan serta pembunuhan? Inilah yang kini perlu dirumuskan secara cermat, sehingga umat beragama tidak terjerumus dengan istilah-istilah sentimentil yang bernapas agama kepentingan kelompoknya, dengan "mengatasnamakan umat", dengan menakut-nakuti bahkan membahayakan pihak lain. Barangkali agama yang bersahabat dengan problem-problem kemanusiaan, seperti kemiskinan, kebodohan, kecurangan, mentalitas jongos, babu, merupakan tawaran agama yang akan tetap bertahan hidup di masa depan. Singkatnya, agama yang bercorak civil religion; yaitu agama yang berpijak pada moral etik universal, bukan berdasar sentimen-sentimen kelompok yang prokial-getho. Pendek kata, agama masa depan adalah agama yang memberi kebebasan tiap individu untuk bisa mengekspresikan keimanannya sebagai umat Tuhan.
Dengan catatan singkat ini, sebenarnya agama-agama bisa dibilang tidak mentolerir kekerasan yang ditimbulkan dalam masyarakat, oleh siapa saja. Agama tidak benar, jika untuk menjustifikasikan perbuatan curang umat manusia yang mengaku-aku beragama. Kita harus menyadari, pelbagai kekerasan yang muncul merupakan kegagalan dalam memahami serta menghargai segala bentuk perbedaan, kepelbagaian pluralitas sehingga yang tumbuh pada pribadi-pribadi adalah sikap menang sendiri, angkuh (arogan) dan bertindak membabi buta.

IV. Eksistensi Agama Yang Benar
Eksistensi agama yang benar adalah anti kekerasan. Agama anti kekerasan bukan slogan, melainkan realitas keterarahan agama yang harus dihidupi. Agama anti kekerasan adalah tugas dan tanggung jawab manusia sebagai subyek agama itu sendiri. Realitas bahwa manusia dari kodratnya rindu akan kedamaian. Hal ini nyata dalam diri semua penganut agama. Secara doktrinal-tekstual, orang Islam ketika berjumpa dengan orang lain, hendaknya selalu mengatakan: “assalamu’alaikum”. Karena Islam adalah agama perdamaian. Orang Kristen mengklaim dirinya sebagai agama cinta. Orang Hindu mengklaim agamanya yang menekankan dharma. Orang Budha mengklaim agamanya, sebagai agama melepaskan dari penderitaan manusia. Kesemuaan inti iman agama tersebut, semuanya menganut cita-cita perdamaian dan kerukunan. Semua agama mencetuskan formulasi keselamatan, perdamaian, kebaikan dalam tataran konseptual, formal dan teoritis. Namun pada tataran praktek konkret, real, mondial hampir selalu ditemukan rincian kompleksitas dinamika persoalan. Lantas kita bertanya; apa landasan dasar eksistensi agama yang benar itu? Jawabannya adalah penghormatan terhadap martabat manusia.


4.1. Penghormatan Terhadap Martabat Manusia
Penghormatan terhadap martabat manusia, sangat ditentukan ketika kita menghormati hak asasinya sebagai manusia. Manusia disebut manusia jika hak-hak fundamentalnya dijunjung tinggi dan dihormati oleh setiap orang. Secara universal, manusia memiliki hak-hak asasi. HAM di sebut unversal karena dimiliki semua orang sejak manusia itu hidup. Karena itu, penghormatan dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia secara langsung pula menghormati keseluruhan pribadi manusia itu sendiri. Dalam dokumen “Dignitatis Humanae”

KV II menegaskan:
“Martabat pribadi manusia semakin disadari oleh manusia zaman kita sekarang. Bertambah juga jumlah mereka yang menuntut supaya dalam bertindak, manusia sepenuhnya mengunakan pertimbangannya sendiri, serta kebebasannya yang bertanggungjawab bukan terdorong oleh paksaan, melainkan karena menyadari tugasnya.

Martabat manusia adalah nilai tertinggi setiap pribadi manusia. Martabat manusia sebagai persona, kunci utama kebebasan beragama. Mengapa? Karena kebebasan beragama, bukan karena aturan negara, bukan pula kebijaksanaan kepala negara atau seorang panglima yang berwibawa, melainkan martabat manusia. Martabat manusia merupakan dasar kebebasan beragama. Berarti pelanggaran HAM, misalnya; teror, pengerusakan tempat ibadat, menghalangi kebebasan beragama, jelas bertentangan dengan martabat manusia. Dengan kata lain, memperjuangkan HAM berarti berusaha menghormati dan menjunjung tinggi martabat manusia itu sendiri. Kita harus sadar bahwa manusia dari kodratnya adalah makhluk yang luhur dan mulia. Keluhuran manusia, tidak ditentukan oleh status sosial dan peran dalam masyarakat. Keluhuran manusia tersebut, tentu dilukiskan pada penghormatan hak-hak asasi manusia.

4.1.1. Manusia Sebagai Makhluk Bebas
Manusia pada dasarnya adalah mahluk bebas. Manusia diberikan karunia akal budi dan kehendak bebas. Dengan akal budi, manusia dapat memilih, menentukan pilihannya secara sadar serta tahu dan mau memilih salah satu agama tertentu sesuai keyakinannya. Setiap orang mempunyai hak mencari kebenaran dalam agama. Katekismus Gereja Katolik, dalam judul “Panggilan Manusia: Hidup dalam Roh Kudus, Bab I, artikel II, tentang kebebasan manusia, menyatakan: ”Allah telah menciptakan manusia sebagai mahluk berakal budi dan telah memberi kepadanya martabat seorang pribadi yang bertindak seturut kehendaknya sendiri dan menguasai segala perbuatannya. Allah bermaksud menyerahkan manusia pada keputusannya sendiri (bdk. Sir 15:14), supaya ia dengan sukarela mencari penciptanya dan mengabdi kepada-Nya secara bebas, sampai ia mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan”
Manusia dengan kehendak bebas pula, ia mampu mempertanggungjawabkan imannya kepada Tuhan yang tak dapat diambil alih oleh orang lain. Orang tidak boleh dikekang kebebasannya, apalagi soal kebenaran iman yang diyakini oleh setiap orang dalam agamanya masing-masing. Kebenaran hanya dapat diakui oleh seseorang, apabila kebenaran itu diyakini benar oleh akal budi dan dengan lemah lembut diterimanya sebagai kekuatan hidupnya.


4.1.2. Manusia Sebagai Makhluk Beragama
Manusia pada dasarnya adalah makhluk beragama. Agama adalah sarana ungkapan kerinduan manusia akan Sang Pencipta. Agama berarti sebuah institusi pencarian akan Allah atau gema usaha manusia untuk mencari Tuhan. Manusia selalu memiliki kerinduan bersatu dengan Sang Pencipta. Agama dalam hal ini, berdimensi instrumental manusia beriman mencari Tuhan. St. Agustinus melukiskan pencarian manusia akan Tuhan dengan mengatakan, “Inquetum est cor meum donec requiecat in Te” (Gelisah hatiku sebelum beristirahat di dalam Engkau Ya Tuhan). Ungkapan ini menunjukkan bahwa manusia menyadari atas kepenuhan dirinya hanya bersatu dengan Tuhan. Ini berarti manusia sendiri rela menyetujui dan mau menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Manusia rindu akan Tuhan. Tuhan adalah sumber kebaikan, kedamaian, kebahagiaan dan kasih.
Agama sebagai institusi pencarian, secara esensial mengacu kepada keterlibatannya dengan dunia dan sesama manusia. Pencarian Allah, tidak hanya dicapai secara spekulatif teorits, tetapi juga dengan praksis. Agama tidak bisa lepas dari kehidupan bersama di dunia. Ia tidak mungkin membentuk kista atau gettho yang steril dari dunia. Agama perlu berpijak pada dunia dalam pergumulannya dengan manusia lain. Agama ada untuk kehidupan, bukan kehidupan untuk agama. Hanya dengan itu agama dapat bertransformasi diri dan meningkatkan perannya bagi kehidupan. Agama menjadi kritis terhadap dirinya sendiri dan menjadi sebuah institusi yang terbuka.
Agama memang bisa dirumuskan secara singkat sebagai institusi pencarian. Sebagai institusi pencarian, agama menampung konsep, baik pencarian Allah akan manusia maupun pencarian manusia akan Allah. Kebanyakan umat beragama mengatakan Allah pertama-tama mencari manusia. Pencarian Allah tampak dalam pewahyuan-Nya. Inisiatif Allah ditanggapi manusia dengan iman. Iman manusia inilah yang memungkinkan manusia menangkap pewahyuan Allah. Karena itu dapat disimpulkan bahwa, Roh Kudus telah berkarya hingga saat ini, melakukan fungsi penyelenggaraan ilahinya pula dalam tata keselamatan manusia lewat tradis-tradisi keagamaan manusia. Inilah sebabnya mengapa Karl Rahner (1975) menegaskan bahwa biarpun ada agama-agama yang kurang sempurna dan kurang lengkap dalam pewahyuan, namun mereka dapat menjadi suatu realitas yang konkret dan memiliki andil dalam sejarah keselamatan manusia.

4.2. Pendasaran Penghormatan Martabat Manusia Dalam Kitab Suci
Dalam Kitab Kejadian menyatakan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai mahluk yang bermartabat, memiliki keinginan dalam dirinya mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan citranya (Bdk. Kej.1:26-27). Martabat menunjukkan penghargaan dan kesempurnaan diri realitas manusia. Martabat manusia merupakan kemampuan subyek moral yang berakar pada citra manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Manusia sebagai citra Allah, tentu memiliki kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan beragama tentu dibimbing Roh Kudus. Roh kudus membimbing kita menuju kemerdekaan rohani, menjadikan kita rekan kerja yang bebas dalam penghayatan iman. Secara moral, kebebasan beragama adalah postulat kebebasan subyek moral yang bertanggungjawab. Kebebasan beragama secara teologis, tentu mengacu kepada kepenuhan rahmat persona manusia. Katekismus Gereja Katolik menyatakan, maksud kepenuhan rahmat itu adalah suatu gerakkan kehendak, yang diarahkan kepada tujuan”(KGK No. 1752).
Dalam Perjanjian Baru, ide mengenai martabat manusia banyak juga dibicarakan. Dalam diri Kristus tidak ada perbedaan martabat berdasarkan etnisitas, kelas sosial, ekonomi atau jenis kelamin. Perjanjian Baru justru mengangkat manusia menjadi anak Allah dan diciptakan menurut citra Allah. Ide ini sangat dalam maknanya, karena menunjukkan watak eksistensi manusia kepada Allah. Manusia menjadi Anak Allah dan secitra dengan Allah menjadi sebab utama manusia diangkat pada posisi istimewa diantara seluruh ciptaan Tuhan. Secara persona manusia dan visi Kristen secara spesifik membawa citra Allah. Yesus menunjukkan penghargaan terhadap martabat manusia kepada semua orang. Yesus dalam prilakunya; Ia bergaul dengan kelas-kelas paling bawah dan terhina, misalnya; orang kusta, pelacur, pencuri, pemungut cukai, orang miskin dan lain-lain. Sikap Yesus ini menunjukkan bahwa Ia sangat menghargai martabat manusia. Etika sosial ini juga nampak dalam perjuangan Paulus untuk menghormati semua orang non-Yahudi, budak dan perempuan.

Penutup; Relevansi Berupa Anjuran dan Tindakkan Pastoral

Anjuran
Agama sebagai gerakan nonpartisan politik dan dikenal kritis terhadap pemerintah, maka saya menganjurkan sebagai berikut;
Pertama, agama sebagai gerakan nonpartisan tidak boleh menjadi "corong politik" sebuah kekuatan politik tertentu. Jika gerakkan keagamaan menjadi corong politik tertentu, maka tidak lagi independen, netral bahkan berat sebelah dalam memberikan pemberdayaan, fasilitasi, mediasi, dan sebagainya. Pendek kata, tugas dan misi keagamaan akan terganggu dengan urusan-urusan politik tertentu yang sifatnya sesaat dan sementara.
Kedua, memahami pluralitas masyarakat sebagai sebuah keniscayaan, sehingga setiap penganut agama harus mengakui, menghormati, dan menghargainya iman orang lain. Ini penting karena masyarakat kita plural, tetapi dalam prakteknya kadang-kadang amat tidak pluralis. Karena itu, aktivis keagamaan harus bersikap pluralis dan demokratis dalam tingkah laku sehari-hari sebagai perilaku every day life.
Ketiga, mendasarkan seluruh gerakannya demi tugas-tugas kemanusiaan yang merupakan pancaran dan aktualisasi keimanannya pada Tuhan. Aktivis keagamaan, tidak bisa bersikap diskriminatif, manipulatif, dan arogan. Hal ini berkaitan bahwa Tuhan sendiri dan kitab suci agama-agama tidak pernah diskriminatif dan manipulatif. Tugas-tugas kemanusiaan yang dimaksud adalah sebuah tanggung jawab sosial yang tidak diukur berdasarkan pada untung rugi, dan kepentingan-kepentingan politik yang tersembunyi.
Keempat, melakukan kontekstualisasi atas ajaran-ajaran doktrin-doktrin agama. Karena itu, aktivis keagamaan tidak bisa menutup diri dengan lingkungan sosial yang berkembang sebagai suatu kondisi yang senantiasa berubah. Dengan kata lain, aktivis keagamaan tidak menjadi seorang "provokator" atas nama agama tertentu untuk melakukan mobilisasi terhadap umat dengan tindakan-tindakan merugikan, menakutkan, dan mengancam orang lain.
Kelima, responsif, memiliki sensibilitas terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang muncul. Karena itu, aktivis keagamaan tidak menjadikan agama dan organisasi keagamaan sebagai dewa-dewa baru, namun menjadikan agama dan organisasi keagamaan sebagai "lawan" militan terhadap segala bentuk tindakan antikemanusiaan, tindakan tidak beradab, dan tidak bermoral. Sikap menjadikan agama dan organisasi keagamaan sebagai Tuhan atau dewa baru adalah gambar jelas bahwa aktivis keagamaan itu memiliki fanatisme buta terhadap apa yang diyakini dan bersikap anti dialog, karena itu tidak tepat bagi sebuah masyarakat majemuk.
Keenam, menjadikan agama sebagai fungsi kritik terhadap diri sendiri dan atas realitas sosial yang menyertainya. Sebagai fungsi kritik, agama diperlukan sebagai sumber inspirasi dalam membangun hubungan diri dengan sesama manusia/ makhluk hidup dan hubungannya dengan manusia bersama Tuhan, karena di sinilah sebetulnya fungsi iman berada.

Tindakan Pastoral

1. Meningkatkan dialog antar umat beragama. Model dialog yang diharapkan adalah:

a. Dialog kehidupan sehari-hari
Dalam kehidupan bersama dengan orang beragama lain. Penganut setiap agama harus memberikan kesaksian hidup yang benar dalam kehidupan bersama. Bidang kerjasama dialog kehidupan misalnya; membantu kaum buruh dan miskin, membela para TKW yang dikorban oleh majikan, membantu pembantu rumah tangga yang dilecehkan majikannya, bersillaturahmi dan lain-lain. Caranya; membentuk lembaga LSM untuk membantu kaum tertindas, tanpa ada label atas agama tertentu.

b. Dialog iman
Dialog iman lebih menekankan tataran akademis. Dialog ini seringkali terjadi dalam forum-forum resmi diantara para ahli terdidik, para pemimpin agama, teolog-teolog, kaum intelektual dan lain-lain. Caranya; membangun tempat studi perbandingan agama dan budaya. Misalnya; misiologi Aditya wacana SVD.

c. Dialog karya
Dialog karya lebih menekankan pada bertemu bersama untuk menghadapi kepedulian sosial. Membantu kaum HIV, narkoba, kaum gelandangan dan lain-lain. Caranya; membangun panti-panti sosial bersama semua umat beragama untuk membantu mereka yang tidak peduli oleh masyarakat, tanpa label agama tertentu.





Daftar Pustaka

Alwi Shihab, Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1999.
Agung Chrisputra, Catatan Ajaran Sosial Gereja II, (diktat), STFT Widyasanana, 2005.
Armada Riyanto CM (ed.), Agama-Kekerasan Membongkar Eksklusivisme, Malang: STFT Widyasasana Malang, 2000.
Amin Abdullah, Pengantar untuk Mircea Aliade, et.al., Metodelogi Studi Agama (terj.) oleh Ahmad Norma Permata, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, Yogyakarta: LKiS, 2004.
Crisis Centre Keuskupan Ambonia, Lintas Peristiwa Kerusuhan di Maluku – periode 15 Januari 1999-13 April 2001.
David J. Bosch, Transformasi Misi Krsiten: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, (Terj.) Jakarta: Gunung Mulia, 1997.
Djohan Effendi, Dialog Antar-Agama: Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan, dalam Agama dan Tantangan Zaman, Seri Prsima, Jakarta: LP3ES, 1985.
Dokumen Umat Katolik Indonesia dalam Masyarakat Pancasila (UKIMP), Dokemen dan Penerangan MAWI, 1985.
Georg Kieberger, (ed)., Gereja Berwajah Asia, Ende: Nusa Indah, 1995.
James W. Nickel, Making Sense of Human Rights: Philosophical Reflection, California: The Regents of the University of California, 1987.
Jaquaes Dupuis, S.J., Toward a Christian Theology of Religius Pluralism, New York: Orbis Books, 1997.
KV II, “Dignitatis Humanae 1” dalam Dokumen KV II (Terj. R. Hardawiryana), Jakarta: Dokumen dan Penerangan KWI-Obor, 1993.
Karl Rahner, On the Importance of the Non-Christian Religions for Salvation, in Theological Investigation XVIII, New York: Crossroad, 1983.
Louis P. Pojman (ed.), Philosophy of Religion: An Anthology, 2nd ed., California: Wadsworth Publishing C., 1994.
Michael Pterson, William Haster, Bruce Reichenbach and David Basinger, Philosophy of Religion, New York: Oxford University Press, 1996.
Michael Amaladoss, The Pluralism of Religions and the Significance of Christ, East Asian Pastoral Review, Vo. 26. No. 3 & 4, 1989.
Pringgodigdo A.G., “Esiklopedi Umum” Yogyakarta: Kanisius, 1973.
Phlipus Tule, SVD., Bermisi Dalam Semangat Dilaog Dengan Islam, dalam Dialog Antar Agama dan Budaya, SeriI/1, Puslit Candraditya, Ende: Ledalero, 1992.
Raimundo Panikker, Dialog Intrareligius, (terj.) Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Th. Sumartana (ed.), Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei, 2001.
Theodor Kampschulte, Situasi HAM di Indonesia: Kebebasan Beragama dan Aksi Kekerasan, Aachen: Missio, 2002.
Wim Beuke – Karl Josef Kuschel (ed.)., Religion as a Source of Violence, Concilium, 1997/4.
William E. Paden, World, in Willi Braun-Russell T. McCutcheon, Guide to the Study of Religion, London 2000.
Yohanes XXIII, Ensiklik “Pacem in terries”, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hal. 278; dan Amanat Radio Pius XII, 24 Desember 1944: AAS (

Tidak ada komentar:

Posting Komentar