Kamis, 29 Januari 2009
Politik 4
BENARKAH AGAMA MENJUSTIFIKASIKAN KEKERASAN?
Rofinus Jas, SVD
Kemajemukan agama merupakan realitas sosial yang tak terbantahkan di tanah air kita. Kemajemukan agama tersebut, tidak jarang menjelma menjadi problem sosial dan kekerasan bernuansa sara meletup di Situbondo, Maluku, Poso, Ambon, Mataram, Lombok dan lain-lain. Sejak dua/tiga tahun lalu, Indonesia menjadi negeri yang dipenuhi dengan coreng-moreng perilaku kekerasan, baik struktural maupun horizontal. Perilaku demikian, baik individual maupun kolektif, antar pribadi maupun suku, senantiasa melibatkan unsur agama didalamnya. Kerusuhan bersentimen agama, meskipun tidak secara taken for granted berdiri sendiri, menjadi kerusuhan yang paling mengerikan dalam masyarakat beragama, dimana kekerasan atau kerusuhan seakan-akan dibenarkan agama. Agama menjadi justifikasi perbuatan perusakkan, pembakaran, pengambilalihan hak milik secara paksa, dan pembunuhan orang-orang tak berdosa. Pertanyaannya, mengapa agama senantiasa "dilibatkan" dalam konflik kekerasan? Apakah agama memang pemicu perang dan kekerasan? Ataukah agama itu anti kekerasan?
Benarkah Agama Menjustifikasikan Kekerasan?
Barangkali pernyataan agama sebagai "sumber dan pembenar" atas aksi kekerasan akan kita tolak. Tetapi, setiap peristiwa yang merugikan orang lain "atas nama" ajaran agama, atau demi "membela agama", maka sulit bagi kita menyangkal kalau agama steril dari unsur kekerasan. Kita dapat mengatakan agama telah imun dengan kekerasan! Agama seolah-olah dijadikan pembenaran untuk perbuatan kotor, culas, pembunuhan, dan sebagainya. Bukankah agama yang demikian akhirnya tidak lebih dari sekadar agama yang berwajah bopeng, sadis, garang dan sangar? Apalagi kekerasan itu dipelopori oleh para elite agama (agamawan) yang sebenarnya dijadikan panutan, figur, dan pemberi nasihat untuk umatnya? Agama seakan-akan menjadi sumber malapetaka yang senantiasa melilit kehidupan manusia(Suratno,2007/86-104). Umat beragama yang dangkal imannyalah, yang selalu merusak nilai esensi agama itu sendiri. Agama tidak bersalah, yang salah adalah umatnya yang tidak memahami ajaran iman yang sesungguhnya. Kita lantas bertanya, mengapa umatnya demikian? Apakah ajaran-ajaran agama tidak berbekas pada setiap umatnya? Lantas apa yang bisa kita buat, agar menjadikan agama tidak berwajah sadis, sangar, seram, dan mendorong permusuhan? Inilah yang perlu kita rumuskan secara cermat, sehingga umat beragama tidak terjerumus pada istilah-istilah sentimentil yang bernapas agama demi kepentingan kelompoknya.
Eksistensi Agama Yang Benar
Eksistensi agama yang benar adalah anti kekerasan. Agama anti kekerasan bukan slogan, melainkan realitas keterarahan agama yang harus dihidupi. Agama anti kekerasan adalah tugas dan tanggung jawab manusia sebagai subyek agama itu sendiri. Realitas bahwa manusia dari kodratnya rindu akan kedamaian. Hal ini nyata dalam diri semua penganut agama. Secara doktrinal-tekstual, orang Islam ketika berjumpa dengan orang lain, hendaknya selalu mengatakan: “assalamu’alaikum”. Karena Islam adalah agama perdamaian. Orang Kristen mengklaim dirinya sebagai agama cinta. Orang Hindu mengklaim agamanya yang menekankan dharma. Orang Budha mengklaim agamanya, sebagai agama melepaskan dari penderitaan manusia. Kesemuaan inti iman agama tersebut, semuanya menganut cita-cita perdamaian dan kerukunan. Semua agama mencetuskan formulasi keselamatan, perdamaian, kebaikan dalam tataran konseptual, formal dan teoritis. Namun pada tataran praktek konkret, real, mondial hampir selalu ditemukan rincian kompleksitas dinamika persoalan. Lantas kita bertanya; apa landasan dasar eksistensi agama yang benar itu? Jawabannya adalah penghormatan terhadap martabat manusia.
Agama Masa Depan
Agama masa depan adalah agama yang bersahabat dengan problem-problem kemanusiaan, seperti kemiskinan, kebodohan, kecurangan, mentalitas jongos, babu, merupakan tawaran agama yang akan tetap eksis hidup di masa depan. Singkatnya, agama yang bercorak civil religion; yaitu agama yang berpijak pada moral etika universal, bukan berdasar sentimen-sentimen kelompok yang prokial-getho. Agama masa depan adalah agama yang memberi kebebasan tiap individu untuk bisa mengekspresikan iman sebagai umat Tuhan.
Dengan catatan singkat ini, sebenarnya agama-agama bisa dibilang tidak mentolerir kekerasan yang ditimbulkan dalam masyarakat, oleh siapa saja. Agama tidak benar, jika untuk menjustifikasikan perbuatan curang umat manusia yang mengaku-aku beragama. Kita harus menyadari, pelbagai kekerasan yang muncul merupakan kegagalan dalam memahami serta menghargai segala bentuk perbedaan, kepelbagaian pluralitas sehingga yang tumbuh pada pribadi-pribadi adalah sikap menang sendiri,
arogan dan bertindak membabibuta.
Agama Sebagai Institusi Pencarian
Manusia pada dasarnya adalah makhluk beragama. Agama adalah sarana ungkapan kerinduan manusia akan Sang Pencipta. Agama berarti sebuah institusi pencarian akan Allah atau gema usaha manusia untuk mencari Tuhan. Manusia selalu memiliki kerinduan bersatu dengan Sang Pencipta. Agama dalam hal ini, berdimensi instrumental manusia beriman mencari Tuhan. Manusia menyadari atas kepenuhan dirinya hanya bersatu dengan Tuhan. Ini berarti manusia sendiri rela menyetujui dan mau menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Manusia rindu akan Tuhan. Tuhan adalah sumber kebaikan, kedamaian, kebahagiaan dan kasih.
Agama sebagai institusi pencarian, secara esensial mengacu kepada keterlibatannya dengan dunia dan sesama manusia. Pencarian Allah, tidak hanya dicapai secara spekulatif teorits, tetapi juga dengan praksis. Agama tidak bisa lepas dari kehidupan bersama di dunia. Ia tidak mungkin membentuk kista atau gettho yang steril dari dunia. Agama perlu berpijak pada dunia dalam pergumulannya dengan manusia lain. Agama ada untuk kehidupan, bukan kehidupan untuk agama. Hanya dengan itu agama dapat bertransformasi diri dan meningkatkan perannya bagi kehidupan. Agama menjadi kritis terhadap dirinya sendiri dan menjadi sebuah institusi yang terbuka.
Agama memang bisa dirumuskan secara singkat sebagai institusi pencarian. Sebagai institusi pencarian, agama menampung konsep, baik pencarian Allah akan manusia maupun pencarian manusia akan Allah. Kebanyakan umat beragama mengatakan Allah pertama-tama mencari manusia. Pencarian Allah tampak dalam pewahyuan-Nya. Inisiatif Allah ditanggapi manusia dengan iman. Iman manusia inilah yang memungkinkan manusia menangkap pewahyuan Allah. Karena itu dapat disimpulkan bahwa, Allah telah berkarya hingga saat ini, melakukan fungsi penyelenggaraan ilahi-Nya dalam tata keselamatan manusia lewat tradis-tradisi keagamaan manusia. Inilah sebabnya mengapa Karl Rahner (1975) menegaskan bahwa biarpun ada agama-agama yang kurang sempurna dan kurang lengkap dalam pewahyuan, namun mereka dapat menjadi suatu realitas yang konkret dan memiliki andil dalam sejarah keselamatan manusia.
Wujud Tanggung-jawab Hidup Beragama yang Benar
Tidak Diskriminatif
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling unggul; memiliki akal budi, kehendak, perasaan, kemampuan untuk menilai dan memilih. Maka secara internal, manusia harus mempertanggungjawaban perbuatannya dihadapan Tuhan. Didorong oleh kesadaran ini, secara eksternal manusia dipanggil untuk menciptakan keadilan sebagai wujud konkret penghormatan terhadap HAM dalam tindakan nyata. Keadilan terungkap dalam bentuk tindakkan dengan menghormati hak pribadi orang lain, baik pendapat maupun ideologi agama. Karena itu, aktivitas keagamaan, tidak bisa bersikap diskriminatif, manipulatif, dan arogan. Hal ini berkaitan bahwa Tuhan sendiri dan kitab suci agama-agama tidak pernah diskriminatif dan manipulatif. Tugas-tugas kemanusiaan yang dimaksud adalah sebuah tanggung jawab sosial yang tidak diukur berdasarkan pada untung rugi, dan kepentingan-kepentingan politik yang tersembunyi. Maka ketika ada kekerasan, pengeboman, kerusuhan, kemiskinan, amuk masa membakar rumah ibadat, diskrimasi, konflik politik, tawuran dan sebagainya. Semua orang secara spontan menentang tindakkan yang melanggar HAM tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Manusia secara kodrat mempunyai tugas memembela hak-hak asasi manusia, terutama dalam pelaksanaan konkret. Oleh karena itu, kita harus bertanggungjawab dengan cara kita masing untuk membrantas segala tindakkan yang melanggar HAM dengan mengusahakan kebenaran dan keadilan.
Sikap Pluralis Berintergrasi Terbuka
Mengakui pluralisme agama berarti mengakui keberagaman sebagai sesuatu yang indah dan memperkaya pemahaman manusia akan agama lain. Oleh karena itu, setiap manusia membutuhkan sikap pluralitas berintergrasi terbuka. Sikap pluralis terbuka berarti mengakui dan menerima kekhasan agama masing-masing sekaligus saling belajar dari yang lain. Seorang pluralis berintegrasi terbuka berkata: “Saya menyakini agama dan iman saya saat ini yang benar bagi saya. Karena itu, saya anut sepenuh hati. Namun kekhasan masing-masing agama dan kebebasan beriman dan agama orang lain saya akui dan terima”. Karena itu, aktivis keagamaan tidak menjadikan agama dan organisasi keagamaan sebagai dewa-dewa baru, namun menjadikan agama dan organisasi keagamaan sebagai "lawan" militan terhadap segala bentuk tindakkan antikemanusiaan, tindakan tidak beradab, dan tidak bermoral
Kita harus menyadari, bahwa kita hidup dalam masyarakat pluralitas agama sebagai sebuah keniscayaan, sehingga setiap penganut agama harus mengakui, menghormati, dan menghargai iman orang lain. Ini penting karena masyarakat kita plural, tetapi dalam prakteknya kadang-kadang amat tidak pluralis. Karena itu, aktivis keagamaan harus bersikap pluralis dan demokratis dalam tingkah laku sehari-hari sebagai perilaku every day life.
Pardigma Soteriasentris
Konsep ”soteria” setiap agama adalah salah satu point penting dalam kehidupan masyarakat pluralis agama. Paradigma soteriosentris dibangun atas dasar keyakinan bahwa semua agama mewartakan pesan keselamatan. Kita yakin bahwa setiap agama memiliki ajaran soteriosentris (soteriocentric core), sebagai dasar tujuan agama tersebut. Soteriosentris berarti berpusat pada keselamatan ”soteria” sebagai tujuan akhir setiap penganut agama. Paradigma soteria, jelas merangkul pluralis agama dan jika hal ini disadari oleh setiap agama, maka kebebasan beragama dapat terwujud. Aspek keselamatan ini merupakan sebuah nilai yang ditemukan dalam ajaran setiap agama. Klaim keselamatan setiap agama bukan berarti kebenaran keselamatan itu hanya ada dalam agamanya sendiri dan agama orang lain tidak ada. Setiap agama harus mengakui bahwa keselamatan itu datang dari Allah yang sama.
Tawaran Solusi
Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural perlu diterap di sekolah-sekolah. Mengapa demikian? Kita tahu, bangsa Indonesia termasuk salah satu Negara berwajah multikutural. Will Kymlicka mengatakan bahwa istilah multikultural mencakupi berbagai bentuk pluralisme budaya yang berbeda dan masing-masing memiliki integritas dan tantangannya sendiri. Pluralisme merujuk pada pengakuan dan penerimaan banyak kelompok ke dalam masyarakat; atau penerimaan banyak pemikiran dari berbagai disiplin intelektual dan kultural untuk kemajuan bersama. Pluralisme kultural berarti mengakomodasi eksistensi dan identitas budaya-budaya yang berbeda. Sementara pluralisme religius mencakupi pengakuan bahwa semua agama memiliki ajaran dan praktek religius yang valid.( Raymundus Sudhiarsa, 2008/2-3) Oleh karena itu, wawasan multikultural dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat fundamental dikembangkan dalam dunia pendidikan dewasa ini.
Tujuan utama pendidikan multikultural, tentu supaya tidak terjadi ghetto antara kelompok minoritas dan mayoritas dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat. Kita berharap agar dengan adanya pendidikan multikultural di sekolah-sekolah, anak didik mendapat pencerahan dalam seluruh aspek kehidupan bersama.
Pendidikan HAM
Pendidikan HAM berarti suatu tindakkan untuk memajukan, menyadarkan, memperkenalkan, menyebarluaskan dan memasyarakatkan HAM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur pendidikan formal. Bila perlu HAM sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah-sekolah, baik tingkat SD, SMP, SMU bahkan Perguruan Tinggi. Kami yakin dengan adanya pendidikan HAM di sekolah-sekolah, akan melahirkan manusia yang berbudi luhur, berwawasan kebangsaan nasional, jujur, adil dan lain-lain.
Saya teringat akan Konferensi Internasional mengenai HAM yang diadakan di Wina tanggal 14-25 Juni 1993 yang lalu. Dalam konferensi tersebut sangat ditekankan agar setiap orang atau Negara mempromosikan perlindungan HAM secara professional. Oleh karena itu, pendidikan HAM perlu diterapkan sejak dalam dunia pendidikan. Apalagi tahun 2001 dilaporkan oleh ‘USA Departement of the States’ bahwa pelanggaran HAM di Indonesia sangat memperhatinkan. Negara Indonesia termasuk Negara yang paling kacau, kerusuhan, perang saudara bahkan perang atas nama agama merupakan bentuk tindakkan yang melecehkan HAM. Belum lagi tindakkan korupsi, ketidakjujuran, tindakkan pelecehan keadilan di pengadilan, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia termasuk Negara yang rentan melakukan tindakkan melanggar HAM.
Dialog Antar-Agama
Dialog antar-agama adalah salah satu sarana untuk mewujudkan kebebasan beragama. Dialog adalah salah satu sarana mengenal agama lain. Dialog agama bukan untuk mencari kekurangan dan kelebihan agama lain. Dialog bukan untuk mencari pemufakatan, kompromi tetapi untuk saling berbagi hal-hal baik demi perkembangan iman masing-masing. Hans Kung mengatakan, dialog bukan berhenti pada ko-eksistensi melainkan pro-eksistensi; tidak hanya membiarkan orang lain ada tetapi ikut melibatkan secara aktif dalam kehidup bersama.
Dialog antar agama memang sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat pluralis agama. Dialog diharapkan secara bijaksana dan penuh kasih membangun kerja sama dengan agama lain sambil memberikan kesaksian serta prihidup yang benar setiap penganut agama. Dialog antar umat beragama, mempunyai empat dimensi perwujudan, yakni: Pertama, dialog kehidupan, di mana orang berjuang untuk hidup dalam semangat keterbukaan dan bertetangga, saling membagi pengalaman kegembiraan dan kedukaan, permasalahan-permasalahan serta keperihatinan-keprihatinan manusiawi. Kedua, dialog tindakkan, di mana setiap umat beragama bekerjasama untuk mewujudkan kemajuan dan pembebasan rakyat secara utuh. Ketiga, dialog pengalaman religius, di mana orang-orang yang berakar pada tradisi keagamaan masing-masing berbagi kekayaan rohani, misalnya; hal-hal yang berhubungan dengan doa dan kontemplasi iman dan cara-cara mencari Allah atau yang mutlak. Keempat, dialog dalam pembicaraan teologis, di mana para spesialis berusaha memperdalam pemahaman mereka mengenai warisan-warisan religius mereka serta saling menghargai nilai-nilai kehormatan yang dimiliki oleh masing-masing pihak.
Penulis
Rofinus Jas
d/a Seminari Tinggi SVD “Surya Wacana” Malang
Jl. Terusan Rajabasa 6 Malang -Jatim
Mahasiswa Program Magister Humaniora STFT Widyasasana Malang, Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa STFT Widyasasana Malang(BPM).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar