Kamis, 29 Januari 2009

Teologi 1


YESUS MEMBAWA PEMBEBASAN, PENEBUSAN DAN PUNCAK PEMBAHARUAN RELASI MANUSIA DENGAN ALAM SEMESTA
(Sebuah Tinjauan Teologi Penciptaan dari Perspektif Perjanjian Baru)
Rofinus Jas, SVD
I. Pengantar
Dalam PB hubungan manusia dengan alam semesta meneguhkan ajaran Perjanjian Lama, bahwa Yesus adalah kepenuhan kebijaksanaan ilahi. Yesus digambarkan dalam PB bahwa sejak awal mula Ia bersama-sama dengan Allah dan segala sesuatu diciptakan dalam Dia dan untuk Dia. Yesus secara dinamik menyatakan diri-Nya dan hadir dalam semua ciptaan. Hal ini memang sudah diramalkan oleh para nabi Perjanjian Lama, terutama ketika setelah pembuangan nubuat tentang negeri yang subur tidak terpenuhi. Visi harapan para nabi setelah pembuangan bahwa akan ada langit yang baru dan bumi yang baru; zaman ketika Allah memperbaharui bukan saja tanah Israel tetapi juga alam semesta. Harapan langit dan bumi baru tersebut, ternyata terpenuhi dalam inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus. Jadi struktur kristologi memiliki sumbangan signifikan yang besar bagi sebuah teologi kontemporer yang ingin menyatukan teologi penciptaan dengan inkarnasi.

II. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk relasional dapat dijelaskan dalam empat dimensi relasi yakni; relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan diri sendiri, dan relasinya dengan dunia atau alam ciptaan. Namun ketika manusia jatuh dalam dosa, maka empat dimensi relasi tersebut menjadi rusak. Akibatnya muncullah sederetan kekacauan akibat dosa tersebut menyebabkan manusia saling mengancam, memberontak satu sama lain. Hubungan manusia dengan alam semesta tidak harmonis. Manusia menguasai alam dan merusaknya serta menganggap alam semesta ini hanyalah untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia dan binatang saling mengancam dan membinasakan dalam permusuhan abadi tanpa kemenangan. Manusia menjadi menderita. Manusia harus bekerja keras untuk mendapat makanan. Manusia harus bersusah-payah mendapat rezeki meskipun tanpa memperoleh hasil yang seimbang dari tanah yang garap.
Jadi dosa manusia tidak hanya soal melanggar perintah Tuhan, tetapi juga melanggar dan menggerogoti kepercayaan akan kasih Tuhan, Sang Pemberi hukum itu sendiri. Dosa menyebab hubungan manusia dengan Allah dan seluruh ciptaan terganggu oleh dosanya terhadap Allah. Hubungan manusia dengan alam semesta menjadi tidak harmonis. Maka dengan demikian, Yesus dalam PB tampil untuk mengharmonisasikan kembali relasi manusia dengan alam semesta yang telah rusak karena dosa manusia.

III. Hubungan Manusia dengan Alam Ciptaan Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru
3.1. Inkarnasi Allah Dalam Yesus Kristus Membawa Pembebasan dan Penebusan Kesatuan Kristus dengan ciptaan menemukan bentuk sempurna dalam inkarnasi. Sabda menjadi daging(sarx, Yoh 1:14) menekankan makna sejati bukti kehadiran Allah memulihkan kembali relasi manusia dengan alam semesta. Ini berarti penebusan yang dilakukan Allah dalam inkarnasi membawa pembebasan dan dipersatukan dengan Dia berkat kebangkitan-Nya. Itulah sebabnya Paulus melihat kebangkitan Kristus akan membawa pemulihan relasi manusia dengan alam semesta.
Puncak penebusan dan pembaharuan Allah atas dunia adalah Yesus itu sendiri. Ia adalah Allah yang datang kepada milik-Nya sendiri yaitu dunia ini(Bdk.Yoh 1:1-18). Ia membawa hidup bagi dunia supaya mendapat kelimpahan(Bdk. Yoh 10:10). Maka kehadiran Yesus ke dunia adalah membuktikan bahwa Allah mencintai dunia. Jika kasih Allah menjadi dasar penciptaan atau Logos menjadi dasar penciptaan(Yoh 1:1-3), maka Tuhan Yesus juga sebagai dasar penebusan Allah. Karena itu dalam diri Yesus Kristus, Allah telah memperdamaikan diri-Nya dengan ciptaan-Nya(Kol 1:19-20; 2 Kor. 5:18-19). Dengan demikian Yesus menjadi pemenuhan yang telah dinyatakan dalam Perjanjian Lama, seperti Yes 11:6-9; 65:17; 66:22 dan Hosea 2:18-23.



3.2.Yesus Puncak kepenuhan Relasi Manusia Dengan Alam Semesta
Relasi manusia dengan alam semesta dalam PB bersifat Kristo-sentris. Dalam PB pewartaan kabar gembira, bahwa penderitaan, kematian dan kebangkaitan Yesus Kristus telah mengadakan transformasi total, yakni pemulihan kembali restorasi hubungan mulia yang erat antara Allah dan manusia, manusia dengan alam semesta. Surat Rasul Paulus kepada umat di Efesus mengungkapkan hal ini:

“Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian. Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi” (Ef 1:7-10).
Dalam pemikiran Paulus, tidak satu pun yang lepas dari pengaruh penebusan Kristus. Setiap kenyataan apapun juga, baik yang hidup maupun yang mati, apalagi manusia, berada dalam penebusan itu, masing-masing sesuai dengan kondisinya. Paulus menegaskan bahwa rekonsiliasi sebagai hasil penebusan yang dilakukan oleh Kristus, menebus dan melimpahi segala sesuatu dalam kosmos. Surat Paulus kepada umat di Kolose mengungkapkan hal itu (bdk. Kol 1:19-20 -- “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus”. Selanjutnya, dalam suratnya kepada umat di Galatia, Paulus menegaskan bahwa mereka sebagai jemaat orang-orang yang percaya dan bersatu dalam Kristus telah menyingkirkan semua hambatan, baik budaya, laki-laki perempuan, maupun ekonomi dan sosial (bdk. Ayat 27-28).
Jadi tujuan inkarnasi adalah untuk memulihkan kembali empat dimensi relasi manusia. Yesus datang mengharmonisasikan kembali relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan dirinya sendiri, dan relasi manusia dengan alam semesta akibat dosa manusia.



3.3.Yesus Sebagai Pusat Dunia atau Kristus Kosmik
Teks Yoh 1:3-5 menampilkan dua hal pokok berkaitan dengan konsep Kristus kosmik. Pertama, kesatuan segala sesuatu ada dalam Kristus, karena segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Kristus sebagai pusat kosmos secara keseluruhan. Keselamatan kosmis sudah nampak dalam pelayanan Yesus. Misalnya dalam injil Mrk 1:13 tentang Yesus berada di padang gurun ada bersama dengan binatang liar. Semua ini menunjukan Yesus memilik sisi kosmisnya. Kedua, karya keselamatan yang datang dari Allah dalam Kristus mengena terhadap segala sesuatu atau terjadi penebusan universal.
Kristus adalah kebijaksanaan Allah (Bdk. 1 Kor 1:24). Dia bersama dengan Allah dalam penciptaan (Ams 8:22-23). Ini mengambarkan teologi ekologi dilihat secara baru dalam iman kristiani. Dalam 1 Kol 1:15-20 bahwa Yesus adalah gambar Allah yang tak kelihatan; segala sesuatu dipersatukan dalam Dia sebagai yang sulung dari segala ciptaan, karena Ia ada sebelum segala sesuatu dan segala sesuatu ada dalam Dia dan diciptakan untuk dia. Maka inti pewartaan PB adalah bahwa Yesus adalah puncak pemenuhan janji Allah untuk membangun kembali empat dimensi relasi yang telah rusak akibat dosa manusia. Jadi penekanan pewartaan keselamatan dalam PB memang bersifat Kristo-sentris.
Pewartaan Yesus yang melibatkan diri dengan dunia ciptaan diteruskan oleh Paulus. Paulus dalam tulisannya memberikan pedoman bagaimana manusia harus bersikap terhadap alam semesta. Paulus memegang dua pernyataan ini secara serempak, kendati terjadi dalam suatu ketegangan dialektis terus-menerus: (a) dunia diciptakan Tuhan dan karena itu adalah baik; (b) dunia sekarang menjadi sasaran kuasa negatif dosa.Walaupun demikian, Paulus tetap menganut prinsip “karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan semua pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa” (1 Tim 4:4-5).
Paulus melihat Yesus sebagai pusat dunia, yang mencakup bukan hanya manusia tetapi juga setiap realitas konkret (ef 1:10.21-22; Kol 1:20; 2:10.19). Teks yang paling penting ialah Rm 8:19-23, yang mengajarkan bahwa nasib dunia ini dikaitkan erat dengan nasib manusia. Jadi penebusan terhadap alam semesta sangat tergantung pula pada penebusan tubuh kita (ay 23), sebagai akibat dari kebangkitan.penciptaan baru sedang dalam proses dan menerangi dunia yang ada sekarang.

3.4.Visi-misi:Yesus Kepenuhan Janji Kerajaan Allah
Titik tolak pemahaman relasi manusia dengan alam semesta dalam injil, terangkuman dalam visi misi kepenuhan kerajaan Allah. Kepenuhan kerajaan Allah tersebut terungkap penuh dalam diri Yesus Kristus. Maka visi misi inkaransi Allah adalah untuk menjadikan manusia dan alam semesta menjadi milik Allah kembali. Hubungan antara kepemilikan Allah atas manusia dan alam semesta, terungkap jelas dalam khotbah Yesus di bukit tentang kekuatiran manusia. Manusia kerapkali kuatir dengan masa depanya, seolah-olah Allah tidak peduli dengan manusia. Maka Yesus memberikan keyakinan kepada manusia bahwa Allah tetap memelihara dan memenuhi kebutuhan manusia. Tuhan Yesus menjelaskan bahwa tidak seekor burung pipit pun yang jatuh ke bumi di luar kehendak Bapa di surga(Mat. 10:29). Bahwa Bapa di surga memelihara burung-burung yang tidak menabur, tidak menuai dan tidak menyimpan makanan(Mat 6:25-34). Allah mau mengatakan bahwa manusia tidak perlu kuatir dalam hidupnya. Allah murah hati dan selalu memenuhi kebutuhan manusia.
Yesus tidak mendefinisikan kerajaan Allah secara gamblang. Ia mengambarkan kerajaan Allah lewat perumpamaan, misalnya: Kerajaan Allah seumpama orang menabur benih yang baik....(Mat 13:24-30). Hal kerajaan surga itu seumpama biji sesawi...(Mat 13:31-35). Beginilah kerajaan Allah seumpama orang menabur di tanah...(Mrk 4:26-29)
Yesus datang melaksanakan kehendak Bapa (Yoh 5:19, 8:26) Untuk membaharui seluruh alam ciptaan, alam dan manusia. Maka kerajaan Allah yang dimaksudkan PB adalah bahwa kedatangan Yesus ke dunia membawa berita baru memulihkan kembali hubungan manusia dengan alam yang telah rusak akibat dosa manusia. Ia datang membawa shalom Allah bagi seluruh ciptaan dengan jalan menebus dan mengampuni dosa manusia. Ia datang menebus seluruh ciptaan. Jadi kerajaan Allah yang dimaksudkan PB berarti kedatangan Yesus bertujuan memulihkan kembali relasi manusia dengan Allah, relasi manusia dengan manusia, relasi manusia dengan dirinya sendiri dan relasi manusia dengan alam ciptaan. Secara apokaliptis “mengenai langit baru dan bumi baru” (Why 21:1-10). Hal ini mau mengatakan bahwa secara eskatologis keharmonisan empat dimensi relasi manusia, secara konkret sudah terwujud dalam inkarnasi Kristus di dunia. Hal ini kemudian terpenuhi secara total pada zaman apolokaliptik seperti yang terungkap dalam Why 21:1-10 di atas.

IV. Hubungan Manusia dengan Alam Ciptaan dalam Tradisi Kristiani
Pandangan para bapa Gereja tentang hubungan manusia dengan dunia ini tercermin dalam uraian mereka tentang eskatologi dan moral. Secara eskatologi, mereka melihat bagaimana kesudahan dunia ini pada akhir zaman. Karena itu secara moral dunia ini harus dijaga karena memiliki nilai dan resiko yang terkandung pada benda-benda duniawi, sebab semuanya berjalan menuju Kerajaan Allah. Namun dalam perkembangan sejarah, para bapa Gereja melihat hubungan manusia dengan dunia ini ada dalam ketegangan dua kutub pemikiran, yaitu: kutub pandangan negatif dan positif terhadap dunia.

4.1. Pandangan Negatif Terhadap Dunia
Pemahaman yang terlalu rohani mengenai tujuan hidup manusia terdapat dalam beberapa tokoh dalam sejarah kekristenan. Misalnya Origenes yang dipengaruhi oleh neo-Platonisme misalnya cenderung mereduksikan dan merendahkan dunia materi. Baginya, Allah menciptakan dunia tidak lain karena manusia jatuh dalam dosa. Dunia alam semesta hanya menjadi sasaran menyucian jiwa manusia agar bisa kembali ke keadaan asalinya. Demikian pula dengan pandangan Thomas Aquinas. Setelah menegaskan kebaikan ciptaan dalam cara yang berbeda dari Origenes, Thomas Aquinas kemudian menyatakan bahwa tujuan semua ciptaan terutama hanyalah kebahagiaan manusia (dan malaikat) di surga bersama dengan Allah. Ia mengatakan “sibi ipsi et aliis providens” – manusia mengatur dirinya sendiri dan makhluk-makhluk lainnya.
Kutub pertama ini memang memandang dunia sebagai tempat dosa manusia (bdk. Injil Yohanes). Karena itu kesucian manusia bisa dicapai dengan “melarikan diri” dari keduniawian (spiritualisme). Pandangan yang negatif terhadap dunia ini sangat dominan dalam sejarah, dan melahirkan pandangan dualisme: jiwa dan badan, baik dan jahat. Pandangan dualisme tentu ditolak oleh Gereja.

4.2. Pandangan Positif Terhadap Dunia
Berbeda dengan pandangan Origenes dan Thomas Aquinas dalam memandang hubungan manusia dan alam ciptaan. Ada beberapa yang memandang secara positif relasi manusia dengan dunia, bahwa seluruh alam semesta diciptakan dalam keadaan baik yang akan ditebus sebagai suatu keseluruhan pada akhir zaman. Irenius misalnya, ia memuliakan daging di dunia ini dan di dalam hidup yang akan datang. Bagi Irenius, Alam ciptaan benar-benar baik dan benar-benar berarti. Demikian pula dengan Agustinus dewasa (Agustinus akhir) melihat bahwa semua benda, makhluk alam dan manusia, memiliki keutuhan mereka sendiri, nilai mereka sendiri, dan tempat penting mereka sendiri di dalam sejarah akbar dari tatanan ciptaan.
Pandang positif lainnya terhadap alam ciptaan dapat kita temukan dalam tokoh Bonaventura dan Fransiskus Asisi. Bonaventura, filsuf-teolog di zaman patristik, dalam bukunya, “perjalanan menuju jiwa Allah”, menyebut alam semesta sebagai “Kitab alam” yang ditulis Allah sebagai media manusia untuk bersatu dengan-Nya. Bonaventura mencoba mengaitkan alam semesta dengan Trinitas. Menurut Bonavnetura ada unsur relasi alam semesta dengan Trintas. Pertama, Allah yang diimani, dialami adalah Allah Trinitas yang dinamik, terlibat aktif dan produktif. Allah mengungkapkan kebaikan-Nya tanpa batas memelihara alam semesta. Kedua, Yesus Kristus sebagai kepenuhan kebaikan Allah terhadap alam semesta. Ketiga, Roh Kudus sebagai ungkapan cinta Allah terhadap alam semseta. Roh Kudus yang mengikat cinta Allah dengan Yesus Kristus sehingga ungkapan cinta ini juga mengena seluruh alam semesta.
Bonaventura memang sangat memandang positif terhadap dunia bahwa alam semesta sebagai pengungkapan diri Allah. Sedangkan dalam Fransiskus Asisi, Ia menghargai dan memperlakukan setiap ciptaan Allah (organis dan an-organis) sebagai sesama, saudara-saudarinya. Menurut Fransiskus, di dalam alam semesta ini ia melihat Allah Bapa pencipta hadir dan hidup di dalamya. Bulan bintang, bumi, api, air adalah saudara-saudari tercinta. Matahari, langit, serigala ganas, burung adalah saudara-saudarai yang patut dicintai. Dihadapan Fransiskus Asisi, manusia dan alam ciptaan adalah saudara.
Pandangan Bapa Gereja pada umumnya memang sangat menekankan teosentris. Pandangan teosentris tentang alam semesta berakar kuat dalam Kitab Suci bahwa alam semesta diciptakan Allah baik adanya. Seperti Irenius dari Lyon sangat menekankan bahwa seluruh ciptaan Allah dilindungi dan ditebus oleh Allah. Tubuh manusia adalah sentuhan maha karya Allah dan dosa Adam tidak pernah merusak alam. Hal ini oleh Yohanes Krisostomus memperkenalkan alam semesta ini sebagai penyelenggaraan Allah atau pantokrator. Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta. Gagasan ini selanjutnya dimasukan dalam formula credo kuno Nicea: Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta segala sesuatu yang kelihatan dan yang tak kelihatan.
Visi teologis metafisis tentang alam semesta ini disebut creatio ex nihilo-penciptaan dari ketiadaan. Akhirnya Bapa Patristik menyimpulkan bahwa tujuan dan maksud tindakan Allah mencipta dan tujuan eksistensi ciptaan merupakan realisasi kebaikan dan cinta Allah. Jadi kutub kedua pandangan bapa Gereja memang memandang dunia sebagai yang baik dan bernilai, dalam hubungan dengan Allah yang menciptakan semuanya dalam keadan baik. Keselamatan manusia akan tercapai jika manusia mengubah dunia ini sesuai dengan rencana Allah. Tokoh aliran ini adalah Santo Fransiskus dari Asisi dengan madah kasih bagi alam semesta.

V. Konsili Vatikan II dan sesudahnya
Konsili vatikan II berusaha mengembalikan tekanan pandangan yang melihat alam ciptaan secara negatif kepada pandangan yang lebih cenderung pada nilai positif dari alam ciptaan. Manusia diajak untuk menghormati alam ciptaan sebab bagi Gereja, alam ciptaan memiliki otonominya sendiri dan hendaknya dimanfaatkan dan makin diatur oleh manusia, dan hal ini adalah sesuai dengan kehendak Sang Pencipta sendiri. Pandangan positif Gereja terhdap dunia mempunyai dampak positif pula bagi pada pandangan Gereja tentang perutusannya di dunia.

5.1. Paus Yohanes Paulus II
Pandangan pimpinan Gereja Katolik tentang lingkungan hidup terungkap jelas dalam KV II. Paus Yohanes Paulus II adalah salah satu tokoh yang sangat getol berbicara tentang lingkungan hidup. Dalam ensiklik Laborem Exercens thn 1981, Paus mengakui bahwa salah satu kesadaran dunia modern adalah berkembangnya kesadaran bahwa warisan alam terbatas dan mengalami pencemaran tidak boleh dibiarkan (LE 1).
Kemudian dalam SRS yang diterbitkan thn 1987, Paus Yohanes Paulus II sangat lantang mengungkapkan perlunya penghormatan pada keutuhan alam semesta(SRS 26). Bangsa-bangsa dunia tidak boleh melupakan sikap hormat terhadap makhluk ciptaan. Hal ini berdasarkan tiga pertimbangan, pertama bahwa tidak layaknya manusia menggunakan makhluk-makhluk ciptaan lain semaunya sendiri; kedua, sumber daya alam terbatas, maka kesewenang-wenangan membahayakan persediaannya bukan hanya generasi sekarang, melainkan juga bagi generasi-generasi mendatang; ketiga, hasil langsung atau tidak langsung dari industri ialah pencemaran lingkungan yang dapat mengakibatkan bahaya bagi kesehatan penduduk(SRS 34).
Dalam SRS 29 (Solliticitudo rei Socialis), Paus Yohanes Paulus II menegaskan tentang hubungan manusia dengan alam ciptaan dengan menafsirkan kembali Kitab Kejadian. Di satu pihak ditegaskan peranan manusia sebagai subjek, tetapi di lain pihak sekaligus juga kebersamaan manusia dengan alam ciptaan. Ia mengungkapkan:

“manusia mempunyai suatu keserupaan dengan makhluk-makhluk lainnya: ia diundang untuk mendayagunakannya dan untuk memeliharanya seperti dikatakan kitab (Kej 2:15), ia ditempatkan di taman dengan tugas untuk mengolahnya dan melindunginya, dan ia juga ditempatkan di atas segala binatang yang diserahkan-Nya ke dalam kuasanya (Kej 1:26). Tetapi sekaligus manusia harus tetap taat kepada kehendak Allah yang menetapkan batas-batas penggunaan dan penguasaan kekayaan itu (Kej 2:16-17)...” (SRS 29).

Pada hari Perdamaian Dunia 1 Januari 1990, Yohanes Paulus II menyampaikan pesannya -- “Peace with God the Creator, peace with all of creation”-- agar manusia mampu berdamai dengan dunia manusia, dengan dirinya sendiri, dan dengan seluruh alam ciptaan. Dalam konteks Krisis ekologi, ia mengungkapkan bahwa Krisis dunia ekologis bersumber pada integritas moral, dan karena itu Paus Yohanes Paulus II mengemukakan dua prinsip moral: (1) integritas semua ciptaan dan (2) penghormatan atas kehidupan. Paus Yohanes Paulus II tampak jelas melihat posisi setara antara manusia dan alam ciptaan, dan memandang alam ciptaan secara positif.
Akhirnya dalam ensikliknya yang berjudul Centesimus Annus yang diterbitkan thn 1991 ia menegaskan bahwa dibalik pengerusakan alam lingkungan bertentangan dengan akal sehat sebagai kesesatan di bidang antropologi; manusia lupa bahwa kegiatan harus didasarkan pada kenyataan bahwa segala sesuatu adalah karunia Allah; manusia mengira manusia boleh semaunya sendiri mendayagunakan bumi dan menikmati hasilnya; manusia menggantikan tempat Allah; sikap itu membangkitkan pemberontakan alam(CA 37). Pengerusakan alam lingkungan juga akan merusak lingkungan manusiawi; dalam konteks ini perlu disebutkan masalah-masalah serius yang muncul dalam urbanisasi (CA 38). Kewajiban negara untuk membela dan melindungi harta milik umum, misalnya; alam lingkungan dan lingkungan manusiawi; hal itu semua tidak dapat dijamin dengan sistem ekonomi pasar; menghadapi kapitalisme baru sekarang ini baik negara maupun sgenap masyarakat wajib membela harta milik kolektif yang merupakan lingkup gerak bagi setiap orang; ada kebutuhan-kebutuhan kolektif dan kuantitatif yang tidak dapat dipenuhi melalui mekanisme-mekanisme pasar; ada kebutuhan-kebutuhan manusiawi yang penting dan tidak terjangkau oleh logika pasar(CA 40)

VI. Relenvansi
Tugas memelihara alam ciptaan adalah tugas hakiki setiap umat beriman. Yesus telah menjadi contoh memulihkan kembali relasi manusia dengan alam lingkungan lewat misi-Nya. Yesus menegakan kembali kerajaan Allah suatu kondisi baru yang dicita-citakan Allah sejak penciptaan di mana semua ciptaan hidup harmonis sebagai saudara-saudari satu sama lain, saling menghargai, menghormati dalam cinta Allah sebagai Bapa yang satu bagi semuanya. Orang Kristen mestinya memiliki tanggung-jawab memelihara alam semesta sebagai wujud konkret iman kepada Tuhan. Mencintai Tuhan berarti juga mencintai sesama dan alam semesta. Manusia harus memiliki tanggung-jawab untuk menjaga keharmonisan alam semesta.
Maka ada tiga sikap manusia yang tepat dalam relasinya dengan alam ciptaan.
Pertama, alam harus dilihat sebagai subyek bukan obyek. Sikap manusia yang melihat alam ciptaan sebagai obyek harus ditinggalkan. Alam ciptaan harus dilihat sebagai saudara yang harus dihormati dan dicintai. Alam bukan objek manipulasi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia tidak boleh bersikap eksploitasi terhadap alam semesta. Bencana alam kerap terjadi karena kesalahan pada paradigma pola relasi manusia dengan alam. Secara paradigmatik, pola relasi kita dengan alam selama ini adalah pola relasi subyek-obyek. Dalam hal ini, manusia bertindak sebagai subyeknya dan alam sebagai obyek. Ini pola relasi yang bersifat dominatif-eksplotatif. Pola semacam ini menempatkan alam sebagai benda mati yang tidak membutuhkan penghargaan. Keberadaan alam hanya dilihat pada tataran kegunaan semata, yakni berfungsi memenuhi kebutuhan manusia. Manusia berhak penuh atas alam. Akibatnya, alam dijadikan sasaran penjajahan dan eksplotasi manusia serakah. Hutan yang mestinya menjadi sumber bahan mentah industri, tempat berkembang-biak beragam hayati (plasma nutfah) tidak dipedulikan lagi.
Prilaku hidup masyarakat yang selalu mengobyektivasikan alam adalah faktor utama datangnya bencana. Cara bertindak semacam ini merupakan simbol hedonis manusia serakah tumpul hati nurani. Alam tidak lagi dipandang sebagai teman hidup, tetapi obyek yang bisa dieksplotasikan. Pada hal kesalahan cara pandang tersebut merupakan kesalahan yang sangat fundamental. Karena secara faktual, kerusakan alam semesta sebenarnya merupakan ancaman terhadap masa depan kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian, kesalahan paradigmatik jelas akan menghancurkan nyawa bangsa sendiri.
Kedua, perlu pertobatan teologis, khususnya teologi penciptaan. Dalam Kitab Kejadian 1:26 menunjukkan manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Artinya manusia diciptakan setara dengan ciptaan lainnya. Manusia tidak hanya membiarkan alam ada begitu saja tetapi manusia dipanggil untuk mengolah alam sedemikian rupa sehingga alam semakin hari semakin sempurna. Jadi teologi kristiani, tidak lagi sekedar melihat alam sederajat tetapi manusia tetap berada di atas alam semesta untuk mengolah dan diberi tanggung-jawab supaya alam semesta menjadi sempurna.
Ketiga, perlu adanya penelitan ilmiah mengenai kerusakan alam ciptaan dan mensosialiasikan kepada masyarakat.

VII. Tindakan Pastoral
Pertama, tindakan menjaga dan merawat alam semesta adalah tugas yang sangat mendesak bagi Gereja saat ini. Gereja harus mengusahakan trobosan untuk menghijaukan kembali lingkungan hidup.
Kedua, studi dan mendalami kearifan-kearifan tradisional, terutama kearifan lokal yang sangat menghargai alam sebagai ciptaan yang sakral. Gereja mestinya menggali kembali jejak langkah Sang Pencipta dalam alam ciptaan seperti yang seringkali diyakini dalam kearifan lokal.
Ketiga, membangun kerja sama, baik tingkat lokal maupun tingkat global. Gereja mau tidak mau harus bekerja sama dengan lembaga profan lainnya dalam mengupayakan melestarikan alam semesta.

VIII. Penutup
Konsep relasi manusia dengan alam semesta dalam tatataran teoritis menganut dua paham “antroposentris dan kesedrajatan antara alam semesta dengan manusia. Paham antroposentris tentu melihat alam semesta memiliki relasi subyek-obyek. Manusia sebagai subyek sehingga ia berhak menguasai alam sebagai obyek. Sementara paham kesederajatan manusia dengan alam semesta dilihat sebagai relasi subyek-subyek. Maka hubungan manusia dengan alam semesta kedua-duanya sebagai subyek sehingga manusia tidak boleh memperlakukan alam semesta sesuka-hatinya.
Relasi manusia dengan alam semesta dalam PB, nampaknya mengandung paham relasi teosentris atau Kristo-sentris. Sebab inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus membawa transformasi total, yakni pemulihan kembali restorasi hubungan mulia yang erat antara Allah dan manusia, manusia dengan alam semesta. Jadi penderitaan, kematian dan kebangkaitan Yesus Kristus telah memulih kembali relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan alam semesta. Relasi ini sebenarnya telah rusak akibat dosa manusia, maka Yesus tampil untuk memulihkan itu secara total, sehingga seluruh alam ciptaan menjadi harmonis, damai dan sejahtera.
Konsep antroposentris yang ditekankan PL dan konsep kesederajatan manusia dengan alam ciptaan bagi penulis kurang setuju. Penulis tetap melihat manusia lebih dari ciptaan Allah yang lain. Oleh karena itu sebagai makhluk yang berakal budi, manusia mestinya tetap memiliki hak tanggung-jawab untuk melestarikan alam semesta. Alam harus dilihat sebagai sahabat, sesama ciptaan Tuhan, sebagai SAUDARA. Dan dalam konteks Indonesia, kiranya pandangan ini tidak jauh berbeda dengan kearifan lokal yang ada dalam budaya kita yang jelas memandang alam sebagai subjek. Maka, kita perlu kembali kepada kearifan lokal yang melihat alam adalah sahabat manusia, bahwa manusia bagian integral seluruh alam semesta ini. Kearifan lokal mengajarkan kebijaksanaan hidup bagaimana manusia secara arif memperlakukan alam semesta.

* * * *















Daftar Pustaka
Baukhan, R., Jesus and the Wild Animals (Mark 1:13): A Christological Image for an Ecological Age, dalam J.B. Green (ed.), Jesus of Nasaret: Lord and Christ, Grand Rapids:Eerdmans, 1994.
Borrong, Robert P, Etika Bumi Baru: Akses Etika dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1999.
Edwards, Dennis., Jesus the Wisdom of God: An Ecological Teology, New York: Orbis Books, 1995.
Go, Piet., O.Carm, Etika Lingkungan Hidup, Malang: Sekretariat Kelompok Kerja Awamisasi, 1989.
H.P. Santmire, The Travail of Nature: The Ambiguous Ecological Promise of Christian Theology, Philadelphia: Forterss, 1985.
Hadiwardoyo, Al. Purwa., MSF, Masalah Sosial Aktual Sikap Gereja Katolik, Yogyakarta:Kanisius, 2006.
Handoko, Petrus Maria. Dicipta untuk Dicinta (promanuscripto). Malang: STFT Widya Sasana, 1996.
Kristoforus Tara, Yohanes., OFM. Ekologi dalam Kristen dan Islam: sebuah perjumpaan transformatif menuju dialog ekologis. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2008,
Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
Sunarko, A., OFM dan Kristiyanto, Eddy, A., OFM(eds.) Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologi atas Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Suwarta, Thomas. “Ketika Tanah dihadapi dengan sikap hormat”, dalam: Majalah Gita Sang Surya, Januari-Februari 2008.
Tantiono, Paulus Toni. Yesus dan Orang Kristen sebagai Pelayan dan Pencinta Alam ciptaan. Forum Biblika No. 14 (tahun 2001).
Telnoni, J.A. Bumi menurut Para Nabi di Israel. Forum Biblika No. 14 (2001).
Tucker, Mary Evelyn dan John a. Grim (eds.). Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar