Kamis, 29 Januari 2009

Filsafat 2


FILSAFAT EKSISTENSIAL
(Relevansinya Serta Sumbangan Bagi Teologi Kristiani)
Rofinus Jas, SVD
Filsafat eksistesial bertitik-tolak dari eksistensi manusia. Mengapa? Karena filsafat eksistensial berbicara tentang cara berada manusia sebagai manusia yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Eksistensi tidak merujuk pada esensi yang abstrak tetapi ada yang konkret membedakan manusia dengan makhluk lain. Filsafat eksistensial sering disebut sebagai usaha untuk berpikir secara filosofis dari perspektif pelaku bukan penonton. Artinya bahwa masalah filosofis yang digarap oleh seorang filsuf eksistensial adalah hal-hal yang merupakan masalah vital baginya sebagai manusia. Manusia itu sendiri sebagai pelaku utama berfilsafat. Filsafat dalam hal ini tidak sekedar latihan intelektual atau hanya eksplorasi abstraksi intelektual semata yang mengabaikan keterlibatan personal dari sang pemikir itu sendiri. Isi filsafat eksistensial adalah soal keberadaan manusia sebagai manusia dalam dirinya sendiri dan keberadaan manusia itu dengan yang lain, yang membentuk keberadaannya di dalam dunia ini. Dengan kesadaran manusia dengan yang lain inilah, manusia tidak hanya ada dengan alasan bahwa manusia itu ada bersama begitu saja di dalam dunia ini. Maka filsafat eksistensial berarti filsafat yang berbicara tentang cara berada manusia itu sendiri sebagai manusia.
Jasper salah satu tokoh filsuf eksistensial yang bertitik-tolak dengan cara berpikir menyangkal validitas absolut dari doktrin dan menggantinya dengan komunikasi tidak-autoirtatif dengan teks-teks historis dari filsuf-filsuf hebat. Jasper sebenarnya tidak bermaksud untuk berfilsafat tetapi ia membuat perbedaan antara apa itu psikologi dan apa itu filsafat profetis. Dalam buku “Der geistige Situation der Zeit” Jasper sebenarnya meletakan dasar filsafat eksistensial, meskipun ia sendiri enggan memberikan label filsafat eksistensial. Ia berusaha menggunakan pendekatan filsafat eksistensial dan membedakannya dengan cara berpikir manusia sebagai obyek semata. Jasper berusaha agar seorang filsuf eksistensial tetap menjaga agar satu kaki tetap berada pada sains tetapi juga orang tetap harus mengemansipasi diri mereka dari sekedar obyek.
Jadi Jasper sebenarnya mengkritik kemajuan peradaban kemajuan teknologi yang mengutamakan pemikiran obyektif. Menurut Jasper peradaban modern yang terlalu menekankan hukum obyektif akan mengakibatkan eksistensi manusia terpinggirkan. Peradaban Barat yang menekankan prinsip postifivisme, atau hukum obyektivisme oleh Jasper disebut kemunduran pemikiran Barat. Pemikiran Barat yang terlalu bersifat obyektif-mekanistik, pada gilirannya menurut Jasper akan terjadi penolakan terhadap eksistensi manusia itu sendiri. Jasper menilai bahwa jika pemikiran Barat terlalu menekankan individu, rasionalisme akan meghancurkan nilai fundamental yang ada dalam manusia itu sendiri. Bagi Jasper meskipun kebebasan individu ditekankan, namun pada akhir menurut Jasper sama sekali tidak memberikan kepuasan untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri. Manusia mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa ada sesuatu yang melebihi realitas manusia itu sendiri yaitu ada yang transenden. Bagi Jasper bahwa filsafat eksistensial adalah cara berpikir di mana orang menjadi dirinya sendiri dengan mamakai ilmu pengetahuan yang mahir tetapi pada waktu yang sama melampuinya. Ini yang diakui oleh Jasper sebagai ada yang transenden, yang melampui realitas obyektif yang diagung-agungkan oleh dunia modern. Dengan demikian argumen Jasper pada akhirnya memuncak pada filsafat religius yaitu filsafat yang diasimilasikan dari tradisi Kristen seperti filsafat Kierkegaard.
Jasper akhirnya melihat bahwa nasib buruk akan menimpa bangsa Barat, karena mereka terlalu menekankan hukum positivisme. Karena itu Jasper menekankan subyektivitas untuk menentang cara berpikir Barat yang menolak subyektivitas. Cara berpikir ini tidak mengenal obyek tetapi menerangkan dan menjadi aktual ada dari seorang pemikir itu sendiri. Filosof Jasper bukan metafisika atau antimetafisika. Ia berfilsafat tentang ada tapi ada itu hanya dimiliki melalui komunikasi tidak langsung sebagai tugas seorang filsuf untuk menemukan keseluruhannya. Membuka rahasia makna keseluruhan itu bukan terletak pada kesanggupan subyek-obyek eksistensi manusia tapi ada dalam suasana yang tak terdefinisikan yang menjadi pedoman keduanya. Jasper menyadari bahwa manusia untuk mencari keseluruhan hanya terikat pada dikotomi subyek-obyek. Menurut Jasper yang menyeluruh tidak dibatasi subyek-obyek tetapi ada manifestasi dalam dikotomi tersebut. Ada atau the encompassing tidak mempunyai isi yang obyektif. Ada tidak pernah muncul sebagai obyek pengetahuan. Ada atau the Encompassing muncul sebagai kedalaman tak terhingga yang melebihi subyek dan mengangkat subyek-obyek tersebut menuju ke arah transenden.
Jasper pada akhirnya bahwa ada atau the encompassing menuju keyakinan sebagai alam, dunia atau Tuhan. Artinya ia mengakui akan adanya totalitas ada yang melampui manusia. Manusia harus mengakui akan keterbatasannya sebagai manusia untuk menggengam totalitas ada. Manusia hanya bisa mengenal ada jika manusia itu melebur dalam ada itu. Manusia harus kembali kepada keasliannya, sebab hanya ada dalam existenz, ada hadir sebagai yang transeden. Manusia hanya bisa mengenal ada yang otentik, jika manusia itu kembali ke existenz yang asli supaya mengenal yang transeden.
Tetapi bagi Martin Heidegger, manusia pun tidak mampu menyelesaikan masalah eksistensinya sendiri. Heidegger seorang filsuf eksistensial yang sangat penting bahkan termasuk pemikir intelektual yang sangat disegani di Eropa. Ia pemikir yang kaya inspirasi psikologis, psikoanalitik dan filsafat spekulatif pada zamannya. Heidegger memang menekankan pada eksistensi manusia itu sendiri atau keberadaan manusia itu sendiri dalam dunia. Ia menekankan ada pada manusia itu sendiri, bukan ada yang dimaksdukan metafisika klasik. Hal inilah yang dikatakan dalam buku “Being and Time”. Ia tidak bermaksud mengenai apa itu ada tetapi lebih pada genus mengenai keberadaan manusia itu dalam dunia.
Heidegger akhirnya melihat bahwa realitas manusia pada kenyataannya mengalami penderitaan, kegelisahan, dan pada akhirnya manusia itu mati. Jika fenomenologi bahwa kita tidak tahu obyek bahkan diri kita tidak tahu sebagai subyek, namun bagi Heidegger bahwa kenyataan manusia itu lahir dan memikul seluruh yang dialami sebagai konsekuensi dari hidup itu sendiri. Manusia dalam kenyataan hidupnya mengalami kelahiran, penderitaan, kematian bahkan mengalami itu semuanya tidak ada artinya bagi dirinya sebagai manusia.
Heidegger akhir memberikan solusi bahwa manusia itu harus sadar sebagai subyek-obyek itu tidak terelakkan. Meskipun pada akhir manusia itu mati, namun manusia harus di dalam dirinya menemukan makna hidupnya supaya hidupnya memiliki nilai. Oleh karena itu manusia harus mengenal tujuan hidupnya supaya memiliki makna dan berarti. Manusia mau tidak mau berusaha sedapat mungkin mencari tujuan hidupnya. Konsep Heidegger mau tidak mau mengarah kepada keyakinan bahwa ada yang transenden, meskipun Heidegger sendiri fokus eksistensi manuisa itu pada esensi manusia saja.
Sartre salah satu tokoh filsuf eksistensial. Dalam pemikirannya ia sangat menekankan kebebasan manusia mutlak. Ia melihat eksistensi manusia pada dasarnya bebas. Manusia memiliki hak kebebasan apa saja tanpa batas. Namun pada kenyataan konsep kebebasan Sartre sama sekali tidak konsekuen dalam prakteknya. Sejauh mana kebebasan dalam prakteknya sama sekali tidak ada. Saya menilai kebebasan yang dimaksudkan Sartre adalah kebebasan tidak bebas. Mengapa? Karena kebebasan yang dimaksudkan seperti seorang yang berada dalam ruang tertutup, namun tetap ada rasa tidak bebas karena masih ada takut ada orang mengintip dan yang mengintip ini juga takut dilihat oleh orang lain. Di sini tetap ada ketakutan, akhirnya mengantar orang pada keyakinan ada nilai tertinggi yang melebihi manusia itu sendiri.
Gabriel Marsel kemudian melihat eksistensi manusia pada akhir menuju adanya yang transeden. Gabriel Marsel akhirnya merucut pandangan pada metafisik, di mana eksistensi manusia memiliki kemampuan membayangkan, merefleksikan sesuatu yang tak kelihatan dan memahaminya yang ada dalam totalitasnya. Gabriel Marsel tidak menyangkal keberadaan manusia, tetapi di dalam diri manusia mampu memahami yang transeden lewat refleksi kontemplatif. Gabriel Marsel akhirnya membawa kita pada kebenaran iman kristiani. Misteri mengenai yang ada hanya bisa dipahami lewat relasi intersubyektif antara yang misteri itu dengan aku sebagai pribadi.
Kesetiaan menurut Gabriel Marsel adalah dasar relasi intersubyek antara manusia dengan yang lain. Kesetiaan pada akhir mengarahkan komitmen kesetiaan antar aku dengan yang transenden. Kesetiaan yang dimaksudkan Gabriel Marsel di sini, tentu merujuk pada keuletan dan menuntut komitmen tanpa syarat kepada orang lain atau pun kepada yang transenden. Tindakkan kesetiaan pada akhirnya menuntut kerendahan hati yang radikal. Dengan demikian, pada akhirnya kesetiaan itu merujuk pada Tuhan. Jadi kesetiaan kita kepada orang lain akan menjadi jaminan kesetiaan kita kepada Tuhan. Gabriel Marsel menyadari bahwa kita disebut sebagai manusia seluruhnya apabila kita hidup dalam kesetiaan komunio dengan manusia dan Tuhan.

Relenvasi Filsafat Eksistensial Pada Teologi Kristiani
Dampak filsafat eksistensial pada teologi kristiani sangat besar. Hal ini sangat disadari oleh para teolog kristiani. Filsafat eksistensial sangat mempengaruh studi tentang agama. Diantara filsuf eskistensial yang paling pengaruh adalah Martin Heidegger. Namun untuk memahami Heidegger kita juga harus memikirkan Bultman (1884-1976). Bultman seorang teolog perjanjian baru di Universitas Marburg. Dia dalam studi Perjanjian Baru, ia mengunakan pendekatan studi kritis seperti Yohanes Weis(1983-1914). Bultman memang cara pemikiranya sangat menekankan fakta historis Yesus Kristus. Ia menelusuri Yesus historis dengan mempelajari mitos-mitos dan ide-ide religius yang memiliki cara berpikir memiliki ketearahan pada Yesus Historis. Bultman nampaknya berusaha agar pewartaan kita tentang Yesus adalah mewartakan Yesus historis, bukan Yesus diwahyukan semata. Ia mengkritik pewartaan Gereja yang terlalu menekankan Yesus yang kerygma bukan Yesus yang historis.
Inilah yang disebut dengan “demythologizig” oleh Bultmann. Ia tidak setuju melihat Yesus lepas dari mitos-mitos hitoris Perjanjian Baru. Ia mengkritik sekolah Harnack yang berusaha menghilangkan cerita mitos yang merujuk Yesus historis. Satu masalah besar teori Bultman adalah berhubungan “three storied universal” kebangkitan Yesus dalam daging. Masalah ini lebih besar dari pada bahasa mitos itu sendiri. Ini adalah salah satu metode untuk menafsirkan teks-teks biblis dalam sebuah cara yang baru dan membimbing para pastor dalam mengembangkan kotbah mereka. Demythologizing dapat dimengerti sebagai kritik untuk berbicara tentang Tuhan dalam bahasa obyektif dan kebenaran umum. Berbicara tentang Tuhan adalah membuat Tuhan menjadi sebuah objek dan mengambil pernyataan netral di luar hubungan dengan Tuhan. Ketika seorang berpikir secara mitologis seorang lupa maksud esesial dari mitos di keberadaan manusia yang terbatas yang sama sekali dialami atau dirasakan oleh pikiran manusia. Menurut Bultman mestinya kita berbicara tentang Tuhan dalam konteks konkret yang melepaskan hidup yang lama dan memasukan hidup yang baru dalam iman dalam relasi dengan Tuhan.
Bultmann menemukan analisis pemikiran Heidegger bahwa dalam menganalisis pemikiran mitologis Perjanjian Baru harus dirasakan sebagai panggilan untuk mengerti mitologi tersebut secara baru. Sejarah masalah lalu dapat kita pahami dalam konteks keberadaan kita saat ini. Kita tidak perlu diminta untuk terlibat dalam keseluruh proses sejarah itu. Kita cukup berdiri di luar sejarah itu. Subyek sejarah menurut Bultmann dan Heidegger adalah keberadaan manusia itu sendiri. Ketika kita merefleksikan keberadaan manusia, kita sadar bahwa tindakan historis berhubungan dengan masa lalu dan masa depan. Jadi esensi apa yang kita saat ini miliki, memiliki keterarahan pada masa depan. Semua apa yang dilakukan manusia dalam sejarah hidupnya akan terungkap secara penuh pada masa depan, baik keberhasilan maupun kegagalan.
Akhirnya “Being and Time” Heidegger melihat eksistensi keberadaan manusia, pada akhirnya sebuah antisipasi kematian immanen kita yang kita persiapkan sejak masa lalu, saat ini dan masa depan. Manusia akhir oleh Heidegger melihat sebagai eksistensi yang sementara. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki kewajiban mencari makna hidupnya dengan mengharapkan masa depan yang menjanjikan. Dengan adanya pengharapan masa depan yang membahagiakan, akhirnya manusia kembali menemukan makna hidupnya yang sementara.
Nampaknya pemikiran Heidegger di atas, hidup ini memiliki makna tergantung kebebasan manusia untuk memberi makna sejarah hidupnya. Heidegger memang sangat menekankan harapan masa depan hanya tergantung pada manusia itu sendiri. Manusia yang menentukan masa depan lewat keputusan sejarah hidupnya. Kelemahan pemikiran Heidegger memang terlalu menekankan keputusan radikal manusia itu sendiri dan mengabaikan dirinya yang sejati sebagai sebuah hadiah yang diberikan pada masa depan. Bultmann nampak sangat dipengaruhi Heidegger di mana ia menafsirkan Yesus historis semata. Akibatnya, ia mengabaikan Yesus yang diwahyukan Allah. Ia hanya mengerti Yesus sebagai peristiwa eskatologis tindakan Tuhan yang telah mengatur akhir sebuah dunia lama semata.
P. Tillich justru lebih sensitif dari Bultmann. Ia justru melihat pemikiran Heidegger merujuk pada Allah. Ia mengarahkan teologinya sebagai sebuah metode korelasi menghubungkan dalam pewahyuan kristiani. Pewahyuan memilik makna bagi kita sejauh hal itu menghubungkan pertanyaan eksistensial yang berpusat pada eksistensi, keterbatasan manusia dan kondisi ketiadaan. Pertanyaan teologi lebih pada persoalan tentang ada berbeda dengan ada yang dimaksudkan filsafat. Ada dalam pemahaman filsafat lebih pada analisis mengenai struktur ada itu sendiri, sementara teologi melihat arti Ada untuk kita. Jika teologi memerlukan analisis tentang ada mau tidak mau ia memerlukan filsafat, meskipun pertanyaan dasar teologi adalah Tuhan. Tuhan adalah nama untuk menunjukan keterbatasan manusia. Tuhan tidak bisa dijadikan subyek. Tuhan adalah ada itu sendiri, Sang Absolut. Allah sebenarnya tidak dapat disimbolisasikan dalam simbol apa saja. Namun manusia hanya membangun relasi manusia dengan Tuhan dengan simbolisasi karena keterbatasan manusia memahami Allah dalam keseluruhan-Nya.
Simbol mengenai Allah menurut Tillich tidak terlepas dari pengalaman religius manusia. Jika simbol itu berdiri sendiri maka itu terjadi berhala. Tetapi ketika simbol itu berhubungan dengan pengalaman religius akhir simbol itu memiliki makna. John Macquarrie melihat simbol sebagai pembuktian adanya Tuhan. Sebab manusia pada dasarnya memiliki keterbatasan memahami Allah itu dalam eksistensi kita sebagai manusia. Bagi Macquarrie relasi manusia dengan Tuhan bersifat interdependen. Seperti relasi forma dan material. Espersi iman manusia melalui simbol tersebut adalah sebuah tindakan eksistensial manusia untuk tetap komitmen dan setia terhadap Tuhan.
Firtz Buri dalam pemikirannya teologinya sangat dipengaruhi Jasper. Ia mengiterpretasikan pesan Perjanjian Baru dalam pewartaanya adalah tanggungjawab eksistensi manusia. Ia sebenarnya mirip dengan ajaran kristiani, tetapi ia seperti Jasper menentang revelasi objek. Revelasi itu berada di luar objek.

Kesimpulan
Filsafat eksistensial memang berakar di dunia Eropa dan berkembang setelah perang dunia pertama. Hal ini muncul karena kesadaran akan nilai eksistensi manusia itu sendiri. Bukan berarti eksistensi manusia itu dijadikan sebagai objek studi seperti ilmu pengetahuan biologi atau sosiologi. Jasper melihat eksistensi manusia sebagai subjek yang tidak terlepas dari sejarah hidupnya sebagai manusia. Tetapi bagi Jasper dalam sejarah manusia harus mengakui ada yang melampaui keberada manusia itu dalam dunia ini. Heidegger memang menekankan keberadaan manusia hanya dalam sejarah manusia semata, namun kalau ditelusuri terus pemikirannya pada akhirnya ia harus mengakui ada transenden seperti pemikiran Gabriel Marsel. Jasper juga meskipun menekankan kebebasan mutlak, tetapi pada akhir merujuk pada pengakuan akan ada yang transenden meskipun secara tidak langsung. Perbedaan filsafat eksistensial dengan teologi adalah, filsafat eksistensial menekankan pengalaman atau sejarah subyek manusia, sementara teologi mengakui sejarah atau pengalaman subyek manusia dan ada komunikasi intersubyek. Komunikasi pada akhirnya mengarah kepada pengakuan akan “Adanya Yang Transenden” dalam bahasa kristiani adalah Allah.
Filsafat eksistensial memang memberikan sumbangan besar dalam teologi Kristiani. Namun tantangan adalah para filsuf esksitensial sangat menekankan kesejarahan manusia semata. Eksistensi manusia menjadi fokus utama perhatian mereka. Manusia menentukan segala tujuan hidupnya. Mereka tidak mengakui adanya yang transenden yang didalam bahasa kristiani disebut Allah. Akibatnya banyak teolog kristiani sangat dipengaruhi filsafat eksistensial, misalnya Bultmann yang dipengaruhi Heidegger yang cara pemikirannya menekankan analisis Yesus historis. Jadi tantangan yang paling besar adalah ketika para teolog kristiani sangat menekankan eksistensi manusia akibatnya manusia tidak lagi mengakui sesuatu misteri dalam iman itu. Contohnya Bultmann, ketika ia menekankan eksegese Yesus historis, maka bahaya yang paling besar adalah kita tidak lagi mengakui pewahyuan Allah dalam diri Yesus. Jadi soal revelasi pribadi Yesus menjadi masalah dan menggoncangkan iman kristiani tradisional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar