Senin, 19 Januari 2009

Ekologi

ALAM RUSAK TANDA LONCENG KEMATIAN MANUSIA

Rofinus Jas

HEGEL dalam tulisannya, “das Prinzip der Selbstgewissheit”, menggambarkan hubungan kesederajatan manusia dengan alam. Alam menjadikan rekan seperjalanan hidup manusia. Alam tidak ditempatkan sebagai korban sasaran kepongahan dan kesombongan manusia dalam menguras sumber daya dan keseimbangan alam di tanah air yang kita cintai ini.

Mengupas tema ini, penulis bertitik-tolak dari fenomena alam yang terjadi saat ini. Mengapa itu terjadi? Tentu ada sebab-sebabnya, diantaranya; Kesalahan pardigma pola relasi manusia dengan alam, Keserakahan Kaum Kapitalis, “Way of Life” manusia yang keliru. Akibatnya, merusak alam berarti tanda lonceng kematian manusia. Bagian terakhir tulisan ini, penulis mencoba mengajukan beberapa argumen sebagai bentuk kesadaran tanggung jawab manusia ke depan. Kemudian ditutupi dengan kesimpulan.

Fenomena Alam Yang Terjadi

Saat bencana alam datang beruntun, mengingatkan kita pada zaman “Kalabendu”, bagian Ramalan Joyoboyo yang diangkat oleh Ronggowarsito dalam “Serat Kalatida”. “Serat Kalatida”, meski berkisah tentang kedasyatan bencana alam pada suatu era tertentu, namun juga mengupas “bencana moralitas” (akhlak). Bahkan mungkin menjadi titik perhatian Sang Punjangga. Seolah bencana fisik sebagai pertanda era kehancuran moral. Pesan moral yang disampaikan Serat Kalatida” adalah siap dan tabah dalam menghadapi era ini dan optimisme datangnya zaman kemuliaan dengan munculnya Ratu Adil (Opini AB Susanto, Kompas, Selasa. 30 Januari 2007).

Bertolak dari fakta ini, maka kita menyimpulkan bahwa manusia dan alam pada dasarnya merupakan satu kesatuan. Keduanya bukan merupakan dua entitas yang terpisah. Itulah paradigma yang kita tanamkan dalam kesadaran kita sebagai mansusia Indonesia dalam menjalin relasi dengan alam. Kita harus sadar bahwa kerusakan alam semesta merupakan ancaman terhadap eksistensi manusia sendiri. Masa depan eksistensi alam semesta, secara fundamental merupakn masa depan keberlangsungan hidup manusia juga. Bertumpu pada logika itu, maka kita harus merubah pola relasi kita dengan alam, dari hubungan subyek-objek menuju pola relasi subyek-subyek.

Kesalahan Paradigma Pola Relasi Manusia Dengan Alam

Sejak bencana tsunami di Aceh, bencana alam bergulir terus menerus menyusul gempa di Yogyakarta, tsunami di Pangandaran, letusan Gunung Merapi, meluap lumpur Lapindo Sidoarjo hingga banjir di Ibu Kota Jakarta. Apa yang terjadi dengan alam kita? Apa yang telah kita lakukan pada alam ini? Apakah kita telah bersikap ramah terhadap alam?

Bencana alam kerap terjadi karena kesalahan pada paradigma pola relasi manusia dengan alam. Secara paradigmatik, pola relasi kita dengan alam selama ini adalah pola relasi subyek-obyek. Dalam hal ini, manusia bertindak sebagai subyeknya dan alam sebagai obyek. Ini pola relasi yang bersifat dominatif-eksplotatif. Pola semacam ini menempatkan alam sebagai benda mati yang tidak membutuhkan penghargaan. Keberadaan alam hanya dilihat pada tataran kegunaan semata, yakni berfungsi memenuhi kebutuhan manusia. Manusia berhak penuh atas alam. Akibatnya, alam dijadikan sasaran penjajahan dan eksplotasi manusia serakah. Hutan yang mestinya menjadi sumber bahan mentah industri, tempat berkembang-biak beragam hayati (plasma nutfah) tidak dipedulikan lagi.

Prilaku hidup masyarakat yang selalu mengobyektivasikan alam adalah faktor utama datangnya bencana. Cara bertindak semacam ini merupakan simbol hedonis manusia serakah tumpul hati nurani. Alam tidak lagi dipandang sebagai teman hidup, tetapi obyek yang bisa dieksplotasikan. Pada hal kesalahan cara pandang tersebut merupakan kesalahan yang sangat fundamental. Karena secara faktual, kerusakan alam semesta sebenarnya merupakan ancaman terhadap masa depan kehidupan manusia Indonesia itu sendiri. Dengan demikian, kesalahan paradigmatik jelas akan menghancurkan nyawa bangsa sendiri.

Keserakahan Kaum Kapitalis

Dalam sejarah Kapitalisme, bencana demi bencana selalu mengikuti setiap kebijakannya. Sejak revolusi industri di Inggris hingga dominasi Amerika, kerap menjadi penghalang upaya penanggulangan bencana alam. Pemanasan global, misalnya; akibat pembakaran bahan bakar fosil (batu bara, minyak dan gas) oleh industri-industri besar dan Amerikalah penghasil emisi terbesar di dunia. Amerika memiliki populasi 4 % populasi dunia, membuang lebih 20% gas limbah gabungan. Namun, Amerika selalu menghalangi upaya penanggulangan alam lewat Protokol Kyoto. Pada hal pemanasan global menjadi sebab lubangnya lapisan ozon bahkan sekarang kian melebar. Mencairnya es di kutub utara maupun selatan yang kemudian berdampak pada naiknya permukaan air laut; tenggelamnya pulau-pulau kecil serta berkurangnya luas daratan akibat kenaikan permuakaan air laut; badai-badai bertiup sangat hebat, bergesernya periode musim hujan dan musim kemarau; banjir dan tanah longsor yang melanda di tanah air, kekeringan yang menyebabkan gagal panen serta kebakaran hutan.

Kerusakan alam tentu pelaku utama adalah kaum Kapitalis. Semua kerusakan alam semesta ini berawal dari nafsu serakah kaum Kapitalis. Selama kaum Kapitalis tetap berkuasa, alam tetap menjadi sasaran obyek eksplotasi demi meninggikan gunung kekayaan. Bagi kaum Kapitalis, kekayaan adalah segalanya yang tidak lagi melihat hukum alam apalagi hukum Penciptanya. Akibatnya, kerusakan alam harus dibayar mahal oleh negara-negara yang banyak dijadikan tempat pembangunan industri besar para Kapitalisme, seperti Indonesia. Awalnya, pemimpin bangsa kita ingin merenggut keuntungan, ternyata dana habis menyediakan cadangan anggaran untuk penanggulangan bencana di seluruh pelosok tanah air.

“Way of life” Yang Keliru

Pekerjaan manusia ternyata tidak hanya membawa kemajuan, melainkan memanipulasi alam, merusak lingkungan hidup dan mengancam kelestarian ciptaan. Keserakahan dan kerakusan merusak alam dan lingkungan, jelas “way of life” manusia yang keliru. Manusia mestinya membangun dan memajukan masyarakat dan dunia harus dijalankan dengan pertimbangan dampak lingkungan (Banawirtama, 1994). Senada apa yang dikatakan Banawirtana; Sumartana (1994) juga mengatakan bahwa dalam mengolah alam harus berwawasan visi ekologi yang berbasis etika mendalam. Oleh karena itu, manusia harus berusaha melindungi dan melestarikan alam dunia kita sebagai lingkungan manusia (Bakker, 1995), yang merujuk pada keterikatan menyatu antara semua unsur kehidupan di muka bumi ini. Dengan kata lain, ada hubungan timbal-balik antara organisme dengan tempat tinggalnya dan sesamanya organisme yang saling menguntungkan (Tanjung, 1994).

Kehidupan ini perlu mencari keseimbangan. Sebab, kehidupan ini bukan hanya untuk manusia saja tetapi semua alam ciptaan sebagai sebuah komunitas “biotik”. Dilihat dari prespektif ekologis, maka setiap individu berada dalam suatu jaringan kehidupan yang saling bergantung satu dengan yang lain. Keseluruhan kehidupan itu merupakan satu organis yang memberikan kepada setiap warganya hak yang sama untuk hidup (Sumartana, 1994).

Persoalannya adalah sejauh mana kesediaan kita untuk saling berbagi dalam kehidupan ini? Hal ini dimaksudkan adalah sejauh mana tanggung jawab kita terhadap persoalan-persoalan lingkungan yang bermuara kesejahteraan bersama? Artinya, persoalan lingkungan tidak hanya suatu himbauan moral tetapi tindakan konkret. Namun kenyataannya, cara hidup kita “way of life” banyak yang keliru. Kita membuang sampah di sembarang tempat, menebang pohon, menggali barang-barang tambang, asap pabrik dan kendaraan dan lain sebagainya. Semuanya ini tentu cara hidup yang keliru yang pada akhirnya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri dan seluruh kehidupan, baik sekarang maupun kehidupan yang akan datang.

Kesalahan “way of life” manusia, menurut Tanjung (1994) akan mengarah kepada krisis ekologi atau krisis sumber daya yang sudah terjadi sejak tahun 1960. Ia mengidentifikasikan 4 persoalan yang menyangkut lingkungan hidup, diantaranya; Pertama; Limbah dan pencemaran mulai menumpuk di lingkungan sehingga menjadi bumerang bagi perkembangan ekonomi, menggangu kesehatan dan kesejahteraan. Kedua; Pertumbuhan ekonomi cendrung menguras sumber daya tidak diperbaharui sperti BBM, batu bara, dan miniral tanpa memikirkan perlunya persediaan masa depan. Ketiga; Sumber daya yang dapat diperbaharui seperti hutan, perikanan cendrung akan punah dan habis dipakai. Karena sistem habis tebang tanpa reboisasi dan regenerasi sehingga hilangnya keanekaragaman genetik sumber daya alam hayati. Keempat; Pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan pentingnya kualitas lingkungan yang rusak, menimbulkan gangguan pada manusia dan mahluk hidup lainnya.

Lonceng Kematian

Lonceng kematian telah berkumandang di negeri ini dengan terjadinya berbagai bencana alam. Rangkaian bencana longsor di tanah air merupakan peringatan ke sekian kalinya. Merusak hutan dan melakukan pencemaran lingkungan berarti menanamkan budaya kematian dalam diri kita sendiri. Dengan meluasnya erosi tanah subur, kritisnya endapan air dan gundulnya hutan menandakan hidup manusia diambang kehancuran. Dengan kata lain, mengeksplotasikan alam menandakan napas hedonisme manusia serakah yang tidak tahu diri.

Ironisnya, manusia tetap tegar, tidak mau belajar dari pengalaman bencana sebelumnya. Ribuan nyawa telah melayang akibat bencana alam, tetapi toh masyarakat tetap saja menebang hutan secara liar, mengeruk kekayaan alam, misalnya penggalian barang tambang seperti bouksit, batu bara dan lain sebagainya seperti di Kalimantan. Nampaknya, manusia tidak lagi bersahabat dengan alam. Alam dijadikan obyek eksplotasi kerakusan manusia.

Tanggung Jawab Ke Depan

Menurut Banawiratma (1994), cara melestarikan alam menuntut perhatian serius pada gaya hidup masyarakat yang berlandas pada etika “pembatasan diri”. Pembatasan diri yang merujuk pada solidaritas dengan kaum miskin. Menurut M. Suseno (1991) ada tujuh tuntutan yang lebih konkret termuat dalam sikap tanggung jawab terhadap lingkungan hidup, yaitu;

Pertama; Kita harus bejalar menghormati alam. Alam tidak hanya dilihat semata-mata sebagai sesuatu yang berguna bagi kebutuhan manusia. Alam jangan dilihat sebagai obyek semata yang patut pada kekuasaan manusia. Kedua; Kita harus memiliki perasaan tanggung jawab khusus terhadap lingkungan lokal, agar lingkungan kita bersih, sehat, alamiah, indah dan asri. Ketiga, Kita harus bertanggung jawab terhadap kelestarian bisofer. Untuk itu perlu sikap peka terhadap kehidupan. Keempat, Kita harus memiliki kesadaran solidaritas dengan generasi yang akan datang sebagai acuan dalam menghormati lingkungan. Kelima; Kita harus memiliki semboyan etika baru, yang memuat larangan keras untuk merusak, mengotori dan meracuni lingkungan. Keenam; Kita harus memiliki sikap proposionalitas. Artinya, setiap kegiatan pembangunan, tidak boleh merusak dan mengotori lingkungan alamiah. Ketujuh; Kita harus berorientasi pada penghematan pembebanan biaya. Dalam arti, tidaklah sewajarnya komunitas, kampung, perusahan menghabiskan biaya besar hanya karena usaha pemulihan kembali atas lingkungan yang telah rusak.

Dengan demikian, pendidikan dan kampaye tentang nilai-nilai luhur ekologis bagi masyarakat menjadi dasar menyelamatan alam. Pendidikan melahirkan pemahaman positif tentang alam, tidak sembarangan membakar hutan, tidak membuang sampah di sembarang tempat, berani memberikan pertimbangan kritis terhadap pengembangan industeri dan pembangunan, memberikan kesadaran tinggi untuk menjaga kelestarian lingkungan supaya tetap bersih, aman dari segala pencemaran.

Pendidikan nilai kearifan lokal juga, memberikan kontribusi besar dalam membangun kesadaran maunsia. Dalam konsep kosmos lokal Jawa, misalnya; soal prinsip “keharmonisan” antara manusia dengan alam. Hal ini juga terungkap dalam Filsafat Timur, yang menghubungkan relasi sejajar manusia dengan alam. Manusia berada dalam harmoni dengan alam. Alam tidak lain jaga besar, sedangkan manusia adalah jagad kecilnya. Interaksi aktif dilakukan manusia karena intelegensi dan perasaan yang dimilikinya sebagai bagian integral dari alam (A. Sudiarja, 1996).

Kesimpulan

Kerusakan alam tentu tanda lonceng kematian manusia. Mengapa demikian? Dikatakan demikain, karena keserakahan dan kerakusan manusia merusak alam pada giliran merusak hidup manusia itu sendiri. Seperti apa yang dikatakan dalam ajaran Islam bahwa, “bala bencana, kerusakan alam dan kerusuhan akan timbul di daratan dan di lautan oleh karena tangan kotor manusia” (Surat Ar Rum ayat 30). Manusia diharapkan membuka tabir rahasia alam raya sejalan dengan Firman-Nya. Karena itu, alam raya perlu dilestarikan oleh manusia itu sendiri. Tentu konsep ini juga, terungkap dalam ajaran Taoisme, Cofucianisme dan Zen. Ketiga ajaran ini mengatakan, bahwa ungkapan-ungkapan mentalitas yang rasanya seperti benar-benar berada di suatu rumah alam raya ini, yang memandang manusia sebagai satu kesatuan dengan lingkungannya. Kecerdasan manusia bukanlah Roh yang terpenjarakan dari kejauhan, namun suatu aspek keseluruhan keseimbangan organisme unik dunia yang sebenarnya. Dengan kata lain, tindakan manusia mestinya mewujudkan keseimbangan spontan antara manusia dengan alam. Sebab manusia adalah bagian dari alam. Marilah kita membangun “HABITUS BARU” mengolah alam kita.

PUSTAKA

Nusyirwan, Iwan., 1995, Etika Lingkungan Bagi Kesejahteraan Masyarakat, Jurnal Filsafat Fakultas Filsafat UGM, (Artikel), Yogyakarta.

Susanto, A.B., Manajemen Becana Zaman Kalabendu (Opini, KOMPAS, Selasa, 30 Januari 2007).

Siswanto, PC., Bangsa Rawan Bencana, (Opini KOMPAS, Selasa 30 Januari 2007?.

Maring, Prudensius, Hutan, Banjir dan Nasib Si Miskin, (Opini KOMPAS, Selasa 30 Januari 2007).

Bakker, A., 1995, Kosmologi & Ekologi, Filsafat Tentang Kosmos Rumah Tangga Manusia, Kanisius, Yogyakarta.

Sumartana, 1994, Ekonomi, Ekologi dan Etika, Seminar “Krisis Ekologi”, GMKI, 27 Agustus 1994, Yogyakarta.

Suseno, F.M., 1991, Berfilsafat Dari Konteks, Gramedia, Jakarta. Tanjung, S.D., 1994, Ekologi, Lingkungan dan Sumber Daya, Seminar “Krisis Ekologi”, GMKI, 27 Agustus 1994, Yogyakarta.

Banawiratma, J.B, Agamawan dan Cendikiawan Dalam Masalah Ekologi, Seminar “Krisis Ekologi”, GMKI, 27 Agustus 1994, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar