Kamis, 29 Januari 2009

Keluarga 2


KELUARGA KRISTIANI KRISTEN SEJATI
(CINTA, KOMUNIKASI DAN PENGAMPUAN)
Rofinus Jas, SVD
Setiap pasangan suami istri atau pasutri tentu memiliki cita-cita untuk membangun keluarga yang ideal dan bahagia, baik secara lahir maupun batin. Meskipun begitu, banyak pasutri berpendapat bahwa membentuk keluarga ideal yang membahagiakan tidaklah semudah melangkahkan kaki. Gereja Katolik sendiri mengakui dan sangat prihatin dengan meningkatnya angka perceraian dan pernikahan kedua, perkawinan melalui sipil, perkawinan sakramental tanpa iman dan penolakan moral seksual Kristiani.
Gereja melihat bahwa keluarga zaman sekarang tampaknya sudah terancam oleh perubahan-perubahan tata nilai dan pola hidup dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Tuntutan ekonomi dan irama pekerjaan yang menekankan efisiensi dan efektivitas mengakibatkan orang harus bekerja bagaikan mesin. Prestasi kerja di luar rumah menjadi prioritas tertinggi, sehingga nilai kebersamaan dalam keluarga dan komunikasi mesra antar anggota keluarga mulai dilupakan dan kurang memperoleh perhatian. Pendek kata, nilai keutamaan terutama kesetiaan dalam hidup perkawinan dan keluarga, tanpa disadari semakin lama semakin memudar dan menghilang.
Pada zaman modern ini nilai kesetiaan dalam keluarga kiranya telah mendapat tantangan, tersaing oleh keutamaan-keutamaan modern yang trendy seperti efisiensi, hedonisme, budaya instant, hidup gengsi, dan sebagainya. Nilai kesetiaan tidak lagi menjadi tema penting dalam pembicaraan sehari-hari para pasutri. Kalau begitu, di manakah kunci untuk menciptakan keluarga yang ideal itu? Bagaimanakah Gereja harus bersikap dan menghadapi hilangnya nilai kesetiaan pada pasutri Kristiani dalam dunia modern ini?


III. Faktor Penyebab Runtuhnya Nilai Kesetiaan Pasutri
Perubahan-perubahan sosial dan kemajuan teknologi yang pesat, ternyata dapat membuahkan dampak pada menurunnya nilai kesetiaan sebuah perkawinan. Lalu di manakah letak kesalahannya? Orang Indonesia pada umumnya, seringkali meletakkan kesalahan pada pengaruh masuknya budaya Barat. Tetapi sesungguhnya hal ini tidak benar. Orang Barat tidak selamanya memperhatikan diri sendiri dan mengejar uang serta kenikmatan. Mereka sangat menghargai ‘pribadi manusia’, hak asasi manusia, perhitungan akal budi yang cermat serta hukum masyarakat. Secara sadar masyarakat Barat memang memilih hidup bebas, namun pilihan mereka bukanlah suatu paksaan nafsu. Terbukti bahwa banyak keluarga Barat yang bertekad setia, bahkan lebih mesra dan harmonis. Biar bagaimana pun, kita harus menyadari bahwa letak kesalahannya ialah terletak pada pola pikir yang masih tradisional, yang masih mementingkan hubungan perorangan, hubungan rasa dan kurang memahami hukum masyarakat secara nalar. Di bawah ini kami akan menampilkan beberapa bentuk sikap hidup yang kami rasa dapat menjadi penyebab runtuhnya nilai kesetiaan, yaitu:

3.1. Sikap Hidup Hedonisme
Sikap hedonisme atau sikap yang mengutamakan kenikmatan, biasanya akan menjadi pemicu bagi seseorang untuk tidak berkomitmen dalam kesetiaan. Ciri khas orang yang demikian biasanya sukar berkorban dan sukar untuk menahan diri untuk mengejar kenikmatan. Ia cepat sekali merasa terpacu untuk menikmati sesuatu. Ia mudah menjerumuskan diri dalam pola hidup yang tidak teratur dan berlebihan. Jajan seksual bagi orang hedonisme adalah sama dengan ke restoran. Ia melihat wanita atau pria sebagai obyek seksual untuk mencapai kenikmatan dan kepuasan. Moralnya jelas tidak berkembang. Bila tidak diimbangi dengan nilai-nilai moral yang baik, maka gaya hidup seorang hedonisme akan mengarah pada perilaku hidup berselingkuh, perzinahan bahkan poligami.

3.2. Perzinahan
Perzinahan adalah hubungan seksual antara dua orang yang berlainan jenis, paling kurang salah satu dari mereka telah menikah. Perilaku zinah ini jelas menunjukkan sikap ketidaksetiaan dalam hidup perkawinan. Lebih kerap alasan ketidaksetiaan ini, selalu diawali dengan sikap tidak pedulinya seorang pasutri yang menganggap pasangannya sebagai obyek seksual dan emosional. Perilaku perzinahan biasanya membawa kerugian bagi cinta, harmoni dan stabilitas dalam keluarga dari pasangan yang menikah. Cinta dari pasangan yang melakukan perzinahan lazimnya akan terbagi. Perzinahan juga telah melanggar sumpah setia perkawinan dan ikrar pada saat menerima sakramen perkawinan. Resiko terbesar dari perzinahan adalah bahwa anak-anak yang dihadiahkan bagi kehidupan tidak terawat dengan baik. Perzinahan dapat dihindari apabila suami dan istri mau menghayati sikap saling mencintai dan menghargai satu sama lain.

3.3. Poligami
Poligami adalah bentuk perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria yang memiliki lebih dari satu istri. Bagi Gereja Katolik poligami merupakan pelanggaran langsung prinsip monogami. Pada budaya tertentu dan juga ajaran agama Islam, poligami tidak dilarang. Para pelaku poligami sering kali mengaitkan tindakan itu dengan syariat Islam. Alasannya mengikuti sunah Rasulullah. Islam juga mengatur agar penyaluran syahwat bermanfaat secara sosial, terutama untuk mengayomi anak yatim dan janda. Ada juga orang berpandangan bahwa poligami lebih bermanfaat dibanding melakukan pelacuran. Biar bagaimana pun, poligami merupakan salah satu masalah seks dan bentuk perilaku ketidaksetiaan.

3.4. Pudarnya Kualitas Komunikasi
Sumber pemicu ketidaksetiaan yang lain ialah pudarnya komunikasi antara pasangan suami istri. Dalam kehidupan perkawinan, komunikasi merupakan suatu ketrampilan (skill) yang diperlukan untuk membangun dan memelihara hubungan yang sehat. Melalui komunikasi, suami istri bisa saling mengungkapkan atau mewujudkan cintanya, baik melalui kata-kata maupun melalui tindakan (verbal dan non-verbal). Dengan berkomunikasi, maka pasangan suami istri dapat saling mengekspresikan realita yang ada dalam dirinya masing-masing, sehingga mereka bisa saling mengetahui, mengerti, memahami, dan mencintai satu sama lain. Tentu saja hal tersebut dapat terjadi bila masing-masing pribadi mau saling terbuka dan jujur.

3.5. Sikap Puber Kedua yang Suka Berpetualang Cinta
Secara psikologis, istilah puber kedua hendak menunjukkan perilaku seseorang yang memasuki usia lanjut, yaitu usia berkisar 50-65 tahun. Pada zaman modern orang seperti ini masih dapat kita temui di tempat tertentu, di mall-mall, club malam, diskotik dan lain-lain. Biasanya orang yang mengalami situasi ini mungkin telah ditinggalkan oleh anak-anaknya, teman karibnya yang sudah meninggal, dan mungkin juga pasangannya karena perceraian. Orang seperti ini sudah menghadapi pensiun. Ia cenderung mulai menjadi genit atau “kenes”, suka bergaya dan memakai pakaian seperti anak muda. Tidak menutup kemungkinan, orang seperti ini suka berpetualangan dalam bidang seksual, entah sampai menjadi “oom senang” atau “tante girang”. Padahal setiap pertualangan yang mereka lakukan sesungguhnya dapat membawa dirinya lebih dalam pada kekecewaan.

IV. Peranan Gereja Membina Nilai Kesetiaan Pasutri

4.1. Nilai Kesetiaan Pasangan Suami Istri Kristiani
Bagi Gereja, pengungkapan nilai kesetiaan suami istri kristiani sangat nyata dalam dua sifat hakiki perkawinan, yakni perkawinan yang bersifat monogami (unitas) dan tak terceraiberaikan (indissolubile). Secara khusus bila sepasang suami istri dikatakan setia, maka dengan sendirinya mereka telah mewajibkan diri untuk memenuhi janji yang telah diucapkannya baik secara gamblang ataupun tersirat. Lalu apa yang dimaksud dengan kesetiaan dalam monogami dan tak terceraiberaikan itu?
Pengertian kesetiaan sehubungan dengan monogami sering dirumuskan secara negatif, yakni dengan istilah ‘tidak berzinah’. Perkawinan bersifat monogami berarti perkawinan itu terjadi antara satu pria dan satu wanita. Satu pria hanya boleh punya satu istri dan sebaliknya satu wanita hanya boleh memiliki satu suami. Sifat monogami ini didasarkan pada keutuhan dan ketakterbagian cinta Kristus kepada Gereja. Jika seorang suami mempunyai beberapa istri atau hidup poligami, maka cintanya tidak bisa diberikan secara total kepada istri-istrinya. Sedangkan, pengertian kesetiaan sehubungan dengan sifat tak terceraiberaikannya perkawinan juga sering dirumuskan secara negatif, yakni dengan istilah suami istri yang ‘tak boleh cerai’, atau bahkan ‘tak bisa cerai’. Artinya, kalau perkawinan sudah disahkan dan suami istri sudah bersetubuh (Ratum et Consumatum), maka suami istri itu tidak boleh cerai dan tidak boleh kawin lagi dengan pria atau wanita lain. Dengan demikian suami istri dituntut kesetiaan pada ikatan perkawinan seumur hidup.
Selain kedua sifat perkawinan di atas, Gereja juga mengingatkan pasutri kristiani untuk tetap setia, karena telah berpegang teguh pada keputusan irreversibel. Keputusan irreversibel merupakan janji keputusan untuk setia seumur hidup atau keputusan yang tak dapat ditarik lagi. Adapun prinsip Gereja untuk menekankan keputusan ini adalah pertama, Gereja memiliki prinsip bahwa keputusan irreversibel itu mungkin, meskipun sukar. Kedua, Gereja percaya bahwa kesetiaan dapat terus berlangsung, karena adanya kekuatan tuntutan Kristus dan ajaran Gereja-Nya. Ketiga, Gereja menyakini bahwa kesetiaan itu dapat terus bertumbuh asalkan didasari oleh iman kristiani, khususnya melalui sakramentalitas perkawinan yang mencerminkan dan mementaskan kesetiaan perjanjian Allah. Di sini jelas sekali bahwa untuk tetap setia, maka peranan rahmat Allah dan komunitas Gereja sangat dibutuhkan.
V. Reksa Pastoral
Pada zaman modern ini, Gereja merasa perlu mendampingi pasangan suami istri dan seluruh tahap perkembangannya. Mengapa? Karena zaman yang ditandai dengan banyak perubahan di segala bidang kehidupan, ternyata dapat membawa pengaruh positif maupun negatif pada kehidupan perkawinan. Oleh kerena itu, kaum muda atau calon pasutri yang telah berencana memilih hidup panggilan berkeluarga dan para pasutri yang telah menjalankan hidup berkeluarga perlu diberi pendampingan, yaitu dengan usaha:

5.1. Pendidikan Nilai Kesetiaan Sejak Kanak-Kanak.
Pembinaan dan pendidikan nilai-nilai keutamaan, seperti nilai kehormatan, kebenaran dan kesetiaan sesungguhnya sangat tepat jika dimulai sejak masa kanak-kanak. Pada masa ini, orang tua (pasutri) perlu menanamkan diri anak-anak mereka nilai-nilai manusiawi dan kristiani, baik dalam hubungan antarpribadi maupun hubungan sosial dengan orang lain. Misalnya saja, orang tua harus menunjukkan sikap kesetiaan kepada anak-anaknya, agar mereka pun dapat memahami arti kesetiaan. Anak-anak yang sejak semula mengalami dan mempunyai gambaran positif mengenai hidup berkeluarga sebagai panggilan hidup dari Allah, maka bila kelak membangun keluarga, mereka pun akan meniru dan melakukan apa yang dahulu mereka lihat dan dicontohkan oleh orang tuanya.

5.2. Pendidikan Nilai Kesetiaan Pada Pasutri.
Godaaan dapat mengakibatkan seseorang menempuh jalan pintas melawan keyakinannya sendiri. Oleh karena itu, Gereja perlu menyelenggarakan pendidikan kesetiaan yang benar bagi pasutri, yakni dengan cara membuka ruang konseling keluarga baik di paroki maupun pastoral keluarga center. Pasutri perlu diberi pengertian yang jelas tentang sejumlah masalah yang mempersulit kesetiaan, misalnya: sikap labilitas, sikap plin plan, kecenderungan menjadi lekas jenuh, dan kesulitan mengatur diri sendiri dalam menjalankan hidup perkawinan.

5.3. Meningkatkan Budaya Berkomunikasi.
Bila salah satu sumber ketegangan dan konflik antara suami istri terletak dalam kurangnya kuantitas dan kualitas komunikasi, bahkan tiadanya komunikasi, maka kiranya pasutri tersebut perlu diarahkan untuk mengembangkan budaya komunikasi. Salah satu contoh usaha ini ialah para pasutri dapat dianjurkan untuk ikut menjadi anggota Marriage Encounter, tulang rusuk, ikut kegiatan seminar-seminar keluarga, dan pelatihan komunikasi bagi keluarga.

5.4. Pendalaman dan Penghayatan Iman
Penghayatan iman yang benar, nampaknya salah satu faktor utama membina kesetiaan suami-isteri. Meskipun keberhasilan perkawinan, tidak selamanya ditentukan oleh faktor iman, melainkan lebih oleh faktor sifat-sifat kemanusiaan, misalnya watak suami istri dan situasi serta kondisinya. Namun faktor iman tidak boleh diabaikan. Gereja dalam hal ini perlu meningkatkan kekuatan iman bagi para pasutri kristiani untuk lebih menghayati makna doa dan sakramen perkawinan. Dalam hal ini Gereja perlu meningkatkan program retret keluarga dan retret pasutri, seperti: mengadakan retret tulang rusuk dan lain-lain.

5.5. Memberi Pemahaman yang Baru Tentang Kesetiaan
5.5.1. Kesetiaan itu adalah kehadiran.
Selama masa pacaran, setiap pasangan sejoli biasanya ingin selalu hadir dan dekat dengan orang yang dicintainya. Betapapun sibuknya, mereka selalu berusaha untuk memenuhinya. Tanpa disadari, ketika sudah berkeluarga, suami istri juga memiliki kecenderungan untuk mencari waktu agar bisa hadir, mendengarkan suka duka, ingin saling meneguhkan dan menyembuhkan pasangannya. Melihat kenyataan ini, Gereja perlu terus menghimbau para pasutri untuk meluangkan waktunya bagi pasangannya agar selalu bertemu dan berkumpul bersama. Tujuannya ialah agar para pasutri mau saling berbagi rasa, berkomunikasi, dan memupuk cinta yang mendalam.

5.5.2. Kesetiaan itu adalah sikap mau melakukan hal-hal yang sederhana dan terus
menerus.
Gereja juga perlu mendukung para pasutri untuk mengisi perkawinan mereka dengan mengambil sikap hidup yang mampu membangun nilai cinta dan kesetiaan. Sikap ini dapat dilakukan dalam bentuk perbuatan yang sederhana namun dapat memberi kesan yang mendalam bagi pasangannya, seperti: memberi perhatian istimewa, membawakan bunga, memberi kecupan, saling memberi pujian atau saling merangkul mesra yang selalu dilakukan terus menerus.



Keluarga kudus Nazaret Yesus, Maria dan St. Yosef, teladan keluarga kristiani sejati.

Maria Sosok Ibu Yang Ideal Bagi Keluarga Kristiani
Maria adalah sosok pribadi perempuan yang molek, gambar seorang ibu yang sempurna dan penuh pesona. Ketika Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel. Ia dengan tegar meskipun mungkin cemas dalam hatinya. Ketika Malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: “Salam hai engkau yang dikarunia Tuhan menyertai engkau”. Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya dalam hatinya, apakah arti salam itu? Kata Malaikat itu kepadanya, “jangan takut, hai Maria sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaknya engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Maha Tinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, Bapa leluhur-Nya dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” (Luk 1:26-33).
Figur Maria dalam teks di atas, menunjukkan sosok ibu atau perempuan yang rendah hati. Ia menyadari kodratnya sebagai perempuan yang siap mengandung dan melahirkan anak. Ia dengan sukarela menerima tawaran Allah lewat Malaikat Gabriel mengandung Putra Allah Yang Maha Tinggi untuk menyelamatkan umat manusia. Dan hal ini sudah diramalkan dalam Perjanjian Lama bahwa, “Sesungguhnya seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan ia akan menamakan Dia “Imanuel” (Yes 7:14).
Seorang ibu kristiani, tentu memiliki panggilan yang sama seperti Maria. Sebagai seorang ibu yang baik, tentu memiliki kerinduan melahirkan seorang anak. Anak adalah pemberian Allah yang harus disyukuri. Ibu yang baik, tentu dambaan setiap anak dalam keluarga kristiani. Anak pasti mendambakan seorang ibu yang penuh kasih sayang, penuh perhatian. Anak jelas mengharapkan ibu yang penuh cinta kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, setiap ibu kristiani mengemban misi untuk menjaga, mengungkapkan serta menyalurkan cinta-kasih. Cinta-kasih itu merupakan pantulan hidup serta partisipasi nyata dalam cinta-kasih Tuhan terhadap umat manusia, begitu pula cinta-kasih Kristus Tuhan terhadap Gereja Mempelai-Nya. Setiap tugas khusus keluarga menjadi ungkapan dan realisasi konkret perutusan yang mendasar itu. Maka kita wajib menggali kekayaan istimewa misi keluarga serta mendalami isinya, yang beraneka- ragam dan sekaligus terpadu.

St. Yosef Teladan Bagi Suami Kristiani
St. Yosef adalah suami yang baik hati. Ia penuh penuh perhatian. Ia seorang bapa keluarga yang penuh tanggung-jawab. Ketika Kaiser Agustus mengeluarkan suatu perintah menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia. Yusuf sebagai calon suami yang baik hati. Ia pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea dengan Maria yang sedang mengandung (Bdk. Luk 2:1-7).
Barangkali para suami keluarga kristiani belajar dari teladan St. Yusuf. Tanggung-jawab adalah panggilan suami untuk menjaga keluarga, isteri dan anak. Setiap isteri dan anak kristiani pasti mendambakan suami yang setia mendampingi keluarga. Suami mestinya memiliki kesadaran bahwa menjadi suami adalah sebuah panggilan yang harus disyukuri. Sebagai suami yang baik, pasti membawa kebahagiaan bagi keluarga. St. Yosef, meskipun ia rasa capek tetapi ia tetap tekun mencari beberapa tempat tumpangan untuk calon bayinya yang akan dilahirkan Maria. Sekalipun ditolak oleh semua orang. Yusuf tetap tidak mengeluh, tidak menggerutu, marah dan lain-lain. Ia seorang suami yang tidak pernah putus asa. Karena itu, sebagai suami kristiani yang baik, meskipun banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, tetapi tidak berarti harus lupa keluarga. Seorang suami tetap memperhatikan kebutuhan keluarga, kebutuhan isteri dan anak.

Yesus Teladan Bagi Anak-anak Kristiani
Yesus memberi contoh konkret mengenai apa artinya ”menghormati orangtua”. Dalam usia-Nya yang pendek kurang lebih 33 tahun, tak kurang dari 30 tahun Ia lalui di Nazaret. Ia mengabdi keluarga-Nya di desa Nazaret. Selama 30 tahun, Ia bersama keluarga-Nya, orang-tua dan sanak saudara-Nya. Seluruh hidup-Nya, Ia manfaatkan untuk ”urusan keluarga”. Namun bukan berarti Ia lupa untuk ”urusan pelayanan”. Ia membuktikan, betapa pelayanan-Nya tak sedikit pun berkurang nilai, makna dan dampaknya, hanya karena ”kuantitas”.
Teladan Yesus yang harus dicermati bagi kita adalah soal tanggung-jawab. Di dalam kelurga termasuk anak yang taat kepada orangtua. Ia sangat peduli terhadap keluarga-Nya di Nazaret. Ia membantu orangtua-Nya sebagai tukang kayu. Sebagai anak yang baik pasti selalu menuruti nasehat orangtua-Nya. Ia pasti juga sangat menyanyangi orangtua-Nya. Oleh karena itu, sebagai anak kristiani yang baik, kita dipanggil untuk mentaati orangtua. Membuat sesuatu untuk menyenangkan orangtua, jujur dan setia kepada keluarga. Anak membawa rahmat bagi keluarga, apabila seorang anak meraih sesuatu yang diharapkan keluarga. Inilah panggilan mulia seorang anak, jika seperti Yesus yang selalu menyenangkan hati orangtua-Nya.
Karena itu, ada tiga point penting usaha pembaharuan dalam keluarga, diantaranya; pembaharuan dalam bidang spiritual, emosional dan intelektual. Tiga model pembaharuan dalam keluarga inilah yang akan dibahas dalam artikel ini.

Pembaharuan Spiritual Dalam Keluarga
Pembaharuan spiritual dalam keluarga sangat menentukan keberhasilan dalam menjalankan kehidupan berkeluarga. Kebiasaan doa bersama dalam keluarga, ternyata sangat membantu kesuksesan dalam keluarga dan kelangsungan hidup rumah tangga. Banyak pengalaman kehidupan keluarga, membuktikan bahwa banyak keluarga kristiani mengalami kegagalan karena kurang memperhatikan kehidupan iman dalam keluarga. Banyak keluarga tidak mampu mengatasi persoalan dalam kehidupan berkeluarga karena kehidupan iman kurang diperhatikan. Banyak keluarga bercerai karena tidak melibatkan Allah dalam keluarganya. Banyak anak-anak dari keluarga kristiani hidupnya amburadul, karena di dalam keluarganya tidak pernah dibina imannya oleh orangtuanya. Banyak anak-anak muda Katolik jatuh di dunia narkoba, sex bebas, kurang peduli hidup menggerja karena orangtuanya tidak pernah mengajar dan mendidik anaknya dalam iman.
Contoh keluarga Pak Yanto dari Pontianak. Dalam sharing pengalamannya dengan saya ketika praktek pastoral di Kalimantan Barat. Ia hendak bercerai dengan isterinya. Ia tidak betah lagi hidup bersama dengan isterinya, karena sering berbeda pendapat. Anak-anaknya gagal dalam pendidikan bahkan karena pergaulan bebas, kedua anaknya kencanduan narkoba. Anak pertama perempuan berumur 21 tahun, selain kecanduan narkoba, ia juga hamil di luar nikah dan suaminya tidak mau bertanggungjawab. Anak kedua yang laki juga mengalami nasib yang sama. Selain ia kecanduan narkoba, ia juga seringkali menghamil anak orang dan tidak mau bertanggungjawab. Meskipun Pak Yanto sekeluarga termasuk pengusaha sawit yang sukses tiga tahun lalu, sekarang mengalami kebangkrutan karena habis membiayai pengobatan kedua anaknya. Bahkan rumah untuk tempat tinggal untuk keluarga pun sudah disita pihak bank karena tidak mampu melunasi peminjaman.
Pak Yanto mengalami kesulitan besar dalam kelurganya. Ia tidak bisa mengatasi persoalan keluarganya. Akhir pada suatu ketika ia menghadap Pastor paroki untuk minta nasehat mengenai persoalan dalam keluarganya. Pastor paroki menyarankan kepada keluarga pak Yanto, agar setiap malam mereka sekeluarga melakukan novena kepada Bunda Maria selama sembilan hari. Selain melakuan novena, Pastor Paroki juga meminta agar keluarga pak Yanto melakukan doa bersama keluarga; isteri dan anak-anak sebelum tidur malam. Doa bersama sebelum tidur malam dalam keluarga wajib dilaksanakan sepanjang hidup mereka.
Lalu apa yang terjadi? Kurang lebih sebulan kemudian keluarga pak Yanto mengalami perubahan yang luar biasa. Anak-anaknya pelan-pelan mengalami kesembuhan dari kecanduan narkoba. Isterinya yang hendak bercerai dengan dirinya, pelan-pelan berubah sikap bahkan mulai memperhatikan keluarga. Usaha mereka yang sudah bangkrut mulai bangkit kembali. Hutang peminjaman di bank sedikit demi sedikit dilunasi. Sampai satu tahun kemudian, keluarga pak Yanto berjalan normal kembali. Anak-anaknya sembuh total dari kecanduan narkoba. Semua hutang peminjaman di bank sudah dilunasi. Isterinya tidak berniat bercerai lagi.
Pengalaman inilah yang membawa pak Yanto sekeluarga percaya sungguh-sungguh atas keterlibatan Allah dalam membantu kesulitan keluarganya. Pak Yanto sekeluarga mulai aktif kehidupan menggereja; rajin ikut misa hari minggu bersama isteri dan anak-anaknya. Apa saja kegiatan rohani dalam lingkungan selalu diikutinya, bahkan sampai ia menjadi anggota dewan paroki. Ia mulai terlibat aktif urusan paroki, bahkan sekarang menjadi donatur utama dalam pembangunan paroki.
Kebiasaan doa bersama dalam keluarga, menunjukkan betapa peting dalam keluarga. Sebagai Penghayatan iman yang benar dalam keluarga, nampaknya salah satu faktor utama membina kesetiaan suami-isteri. Meskipun keberhasilan perkawinan, tidak selamanya ditentukan oleh faktor iman, melainkan lebih oleh faktor sifat-sifat kemanusiaan, misalnya watak suami istri dan situasi serta kondisinya. Namun faktor iman tidak boleh diabaikan. Gereja dalam hal ini perlu meningkatkan kekuatan iman bagi para pasutri kristiani untuk lebih menghayati makna doa dan sakramen perkawinan. Dalam hal ini Gereja perlu meningkatkan program retret keluarga dan retret pasutri, seperti: mengadakan retret tulang rusuk dan lain-lain

Pembaharuan Emosional Dalam Keluarga
Salah satu point penting pembaharuan dalam kehidupan berkeluarga adalah soal menata kembali kecerdasan emosional suami-isteri. Kecerdasan emosional suami-isteri sangat menentukan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga. Kecerdasan emosional suami-isteri tentu berkaitan dengan faktor psikis yang perlu dikembangkan dalam diri suami-isteri. Faktor psikis yang perlu dikembangkan dalam praktek hidup bersama dalam keluarga misalnya, faktor psikis suami-isteri yang lemah lembut, penuh perhatian, tidak mudah marah, saling pengertian, rendah hati, suka melayani, saling menghargai, dan lain-lain. Jika faktor psikis tersebut di atas, dikelola dengan baik dalam diri suami-isteri, maka kehidupan keluarga tersebut pasti harmonis, aman dan damai. Inilah yang disebut penulis sebagai kercerdasan emosional dalam kehidupan berkeluarga.
Oleh karena itu, kecerdasan emosional suami-isteri perlu diperbaharui terus menerus dalam kehidupan berkeluarga menuju ke arah yang baik. Suami-isteri yang memiliki kecerdasan emosional yang mantap, akan membantu suami-isteri untuk tetap setia dalam kehidupan berkelurga, tidak mudah marah, tahan bating, tidak mudah putus asa, percaya diri, memiliki keberanian, tidak mudah tergoda untuk selingkuh, konsisten pada visi misi keluarga dan lain-lain. Maka dengan mengenal gerakan emosional suami-isteri dengan baik, memudahkan kehidupan berumah tangga untuk menjaga diri serta selalu waspada dalam kehidupan berkeluarga.
Suami-isteri mestinya belajar kecerdasan emosional yang dilakukan keluarga Kudus Nasaret: Yosef, Maria dan Yesus. St. Yosef dan Maria adalah figur orangtua yang memiliki kecerdasan emosional yang sangat tinggi. Kesuksesan keluarga Kudus Nazaret terletak pada kesanggupan mereka dekat dengan Tuhan dan menuruti segala perintah-Nya serta saling mengasihi dalam kehidupan bersama. Itulah kesuksesan yang terjadi dalam Keluarga Kudus Nasaret: Yosef, Maria dan Yesus, sehingga Yesus "makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Tuhan dan manusia".

Pembaharuan Intelektual Dalam Keluarga
Kecerdasan intelektual suami-isteri, juga sangat membantu untuk melakukan pembaharuan dalam kehidupan berkeluarga. Dalam menyelesaikan segala persoalan kehidupan keluarga, tidak cukup hanya sekedar kecerdasan spiritual dan emosional semata. Jika ada masalah dalam keluarga, tidak hanya mengandalkan doa kepada Tuhan atau mengandalkan perasaan psikologis semata dalam menyelesaikan segala persoalan dalam kehidupan rumah tangga. Maka kecerdasan intelektual sangat dibutuhkan membantu menyelesaikan masalah dalam keluarga secara kritis, logis untuk menemukan solusinya. Karena itu, kecerdasan intelektual suami-isteri memiliki peranan penting untuk menyelesaikan masalah keluarga.

Kesimpulan
Pembaharuan dalam keluarga yang dibutuhkan zaman sekarang adalah mencakupi pembaharuan spiritual, emosional dan intelektual. Tiga model pembaharuan dalam keluarga tersebut, sangat membantu keluarga menjadi keluarga harmonis, aman dan sejahtera. Maka kami berharap kepada para suami-isteri, yang telah berjanji dihadapan Tuhan dan sesamanya untuk saling mengasihi, baik dalam untung dan malang sampai mati serta mendidik anak-anak yang dianugerahkan kepada mereka dengan baik. Kesuksesan suami-isteri untuk saling mengasihi dan mendidik anak-anaknya dengan baik, akan menjadi warta gembira dan kekuatan untuk membangun dan memperdalam hidup bersama: hidup menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semoga Keluarga Kudus Nasaret; Yesus, Maria dan St. Yosef menjadi teladan bagi kehidupan berkeluarga zaman modern dewasa ini. Marilah kita percaya bahwa kita dapat setia menghayati panggilan dan janji sampai mati, meskipun untuk itu kita tidak akan terlepas dari tantangan dan hambatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar