VISI-MISI PROFETIK PEREMPUAN DALAM GEREJA UNTUK MEMPERJUANGKAN PERDAMAIAN DAN KEADILAN DI MALUKU
(Sebuah Tinjauan Teologi Misi)
Pengantar
Agama yang benar adalah anti kekerasan. Agama anti kekerasan berarti agama yang terarah pada cinta damai. Sebab dari kodratnya, manusia pasti rindu akan kedamaian. Namun persoalannya; mengapa di Maluku terjadi problem sosial dan kekerasan bernuansa sara? Konflik atas nama agama tersebut, tentu banyak orang membunuh orang lain demi membela agama. Banyak gereja dan masjid dibakar. Pantas, banyak orang menilai bangsa Indonesia adalah bangsa yang brutal dan tak beradab. Konflik berlatar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), di beberapa wilayah negeri ini, seperti di Maluku dan Poso, hingga kini menimbulkan luka. Luka itu tak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga nonfisik. Luka- luka itu harus disembuhkan dan para "Kartini atau perempuan" memiliki peran yang signifikan dalam hal ini. Jadi penyembuhan luka (rekonsiliasi) ada di jantung perempuan Maluku. Sebab ketika konflik melanda Maluku pada thn 1999, yang pertama kali muncul dalam benak kaum perempuan di Ambon adalah doa, masak untuk kaum laki-laki yang pergi berperang, dan menyiapkan obat-obatan. Sebagai rekonsiliator pascakonflik, perempuan lebih memilih melanjutkan kehidupan daripada melampiaskan dendam dan amarah. Dengan begitu, perempuan lebih tanggap membangun benih-benih perdamaian dan keadilan di Maluku. Oleh karena itu, dalam artikel ini, penulis mengangkat kembali “Visi-Misi Profetik perempuan Dalam Gereja Untuk Memperjuangkan Perdamaian dan Keadilan di Maluku”. Maka dalam menggagas persoalan ini, penulis bertitik-tolak dari “PETISI” Gerakan Perempuan Peduli (GPP) Maluku yang secara resmi terbentuk pada tanggal 4 September 1999.
ISI “PETISI” Gerakan Perempuan Peduli (GPP) Maluku
GPP dengan tegas menyatakan, “Kami Perempuan Maluku Muslim, Protestan, Katolik bersatu hati membulatkan tekad untuk berjuang bersama untuk menyadarkan seluruh warga masyarakat, bahwa kekerasan tidak pernah dapat menyelesaikan masalah. Sebaliknya kekerasan justru akan menambah dan memperparah masalah. Untuk menanggapi jeritan hati setiap insan yang mendambakan keamanan, kedamaian, kenyamanan dan teristimewa kaum perempuan dan anak-anak, maka GPP merumuskan tujuan Gerakan ini sebagai berikut: Pertama, Menghentikan kekerasan dan pertikaian Kedua, Semua bentuk kegiatan (baik pembinaan/pendampingan rohani - jasmani, ekonomi) untuk kebersamaan mewujudkan rekonsiliasi. Ketiga, Mengupayakan rekonsiliasi antar warga masyarakat. Keempat, Memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak-anak.
Untuk mengkonkretkan / mensosialisasikan Tujuan GPP ini,
program-program yang sudah dilakukan antara lain:
1. Kontak batin / doa bersama pada jam tertentu setiap hari.
2. Penyampaian Suara Hati Perempuan dan Jeritan Hati Anak-Anak kepada
Bapak Gubernur disaksikan MUSPIDA Maluku. (dua kali dilaksanakan
kelompok kristen dan kelompok muslim).
3. Penyebaran Pita dan Selebaran "HENTIKAN PERTIKAIAN dan KEKERASAN",
4000 lembar.
4. Sosialisasi Suara Hati Perempuan dan Jeritan Hati Anak-Anak
melalui RRI dan TVRI lokal dan media cetak.
5. Penghentian pelecehan agama dan suku melalui massmedia.
6. Temu wicara dengan pimpinan TNI dan POLRI.
7. Penyampaian Suara Hati Perempuan dan Suara Anak-Anak kepada DPRD
Propinsi Maluku.
8. Temu wicara dengan Wali Kotamadya Ambon.
9. Temu wicara dengan tokoh-tokoh agama kristen Protestan dan
Katolik.
10. Temu wicara dengan DPRD Kotamadya Ambon.
11. Penggalangan Potensi Perempuan Peduli terhadap penghentian
pertikain dan kekerasan.
Kami melihat bahwa dalam “PETISI” (GPP) di atas; ada 4 point penting “Visi Misi Profetik Perempuan Dalam Memperjuangkan Perdamaian dan Keadilan di Maluku”. Diantaranya; Pertama, Visi Misi Profetik Perempuan Memperjuangkan Perdamaian dan Keadilan di Gelanggang Sosio-Politik di Maluku. Kedua, Visi Misi Profetik Perempuan Memperjuangkan Perdamaian dan Keadilan di Gelanggang Sosio-Agama di Maluku. Ketiga, Visi Misi Profetik Perempuan Memperjuangkan Perdamaian dan Keadilan di Gelanggang Sosio-Budaya di Maluku. Keempat, Visi Misi Profetik Perempuan Memperjuangkan Perdamaian dan Keadilan Dalam Membela Hak Perempuan dan Anak-Anak di Maluku. Namun sebelum menguraikan 4 Visi misi profetik dalam “PETISI” GPP di atas. Maka terlebih dahulu, kami menguraikan latar belakang munculnya “Gerakkan Peduli Perempuan (GPP) Maluku” di atas.
Latar Belakang Muncul Gerakan Perempuan Peduli (GPP) Maluku
Gerakkan Perempuan Peduli (GPP) Maluku, tentu diprakarsai oleh kaum perempuan Kristen Maluku. Perempuan adalah nadi rekonsiliasi pascakonflik. Di setiap langkah, para aktivis perempuam senantiasa menebar benih-benih perdamaian. Heidy de Lima dan masih banyak perempuan lain, memiliki peran besar untuk menciptakan perdamaian di Maluku yang memang rawan konflik. Tokoh aktivis lain misalnya Sr. Fransco Moens PBHK. Dialah perintis utama munculnya Gerakan Perempuan Peduli (GPP) Maluku. GPP muncul atas keprihatinan kaum Perempuan Maluku terhadap konflik berkepanjangan yang terjadi di Daerah Seribu Pulau tersebut, sejak Januari 1999. Gerakan ini dimulai sebagai sebuah Gerakan Moral dengan Misi "Hentikan Pertikaian dan Kekerasan." Maka pada tanggal 6 Agustus 1999, terjadilah pertemuan awal gerakan ini di Aula Rinamakana. Tanggal 7 Agustus 1999, gerakan ini diberi nama oleh ibu Wakil Gubernur Ny. Paula Renyaan/Bataona dan sekaligus pertemuan pertama antara wakil perempuan Muslim, Protestan, dan Katolik. Gerakan Perempuan Peduli (GPP) ini secara resmi pada tanggal 4 September 1999.
Menurut penulis, Gerakan Perempuan Peduli (GPP) ini, yang diprakarsai oleh Sr. Fransco Moens PBHK adalah salah satu contoh konkret “Visi-Misi Profetik Perempuan Dalam Gereja Untuk Memperjuangkan Perdamaian dan Keadilan di Maluku”. Maka dalam mengggagas persoalan ini, penulis mencoba mencari pendasarannya dalam Kitab Suci, serta dalam sejarah karya misi Gereja sejagat dan bagaimana relevansinya bagi seluruh perempuan Kristen di Indonesia.
Visi-Misi Profetik Perempuan Memperjuangkan Perdamaian dan Keadilan di Gelanggang Sosio-Politik di Maluku
Kita tahu bahwa dalam sejarah pembebasan di bidang sosial, ekonomi, politik dan keagamaan bangsa Israel; pertama-tama pembebasan itu bukan datang dari kaum laki-laki melainkan bermula dari keberanian sekelompok perempuan yang tak berdaya, misalnya; Bidan-bidan Ibrani Sifra dan Pua. Mereka berani melawan instruksi raja Mesir yang kejam (Kel 1:15-21). Mereka membangkang otoritas yang menindas kehidupan. Musa diselamatkan oleh kelihaian saudarinya dan Puteri Firaun (Kel 2:1-10). Keberanian segelintir orang yang tak berdaya inilah mencul pejuang pembebasan.
Konsep perempuan Perjanjian Baru mewarisi Perjanjian Lama. Rabbi Hillel yang sezaman dengan Yesus berkata; semakin banyak perempuan semakin banyak godaan. Hukum Yahudi yang anti perempuan masih berlaku. Masyarakat yang didominasi laki-laki sangat mempengaruhi Yudaisme. Yesus hidup dalam lingkungan yang didominasi laki-laki. Dalam mujizat memperbanyakan roti dicatat bahwa yang ikut makan bersama Yesus kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak (Mat 14:21). Hanya lelaki yang dihitung sedangkan perempuan disamakan dengan anak-anak. Yesus menolak marjinalisasi terhadap perempuan. Yesus mengangkat martabat perempuan. Yesus berbicara dengan perempuan samaria di tempat umum (Yoh 4). Kemudian, ada sejumlah perempuan yang melayani-Nya di Galilea; Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus Muda serta Salome (Mrk 15:40-41). Ada juga perempuan yang ikut keliling dari kota ke kota dan dari desa ke desa seperti para pengkhobtah yang serikali berkeliling seperti; Maria Magdalena, Yohana isteri Khuza, Susana dan beberapa perempuan lainnya. Mereka melayani rombongan dengan kekayaan mereka (Luk 8:2-3). Peran perempuan yang mengikuti Yesus sama kedudukannya dengan laki-laki.
Sejarah misi Gereja abad ke-19, tidak terlepas dari peranan kaum perempuan. Peran perempuan pada abad ke-19, memang disatu sisi masih bersifat subordinasi dibawah struktur-struktur Gerejawi yang didominasi kaul patriakal. Namun secara kualitatif dan kuantitatif abad ke-19, perempuan memiliki peranan penting dalam karya misi, terutama dari kalangan Gereja Protestant. Misi Gereja Protestan tahun 1890, kurang lebih 60% kaum perempuan dari Amerika Serikat. Banyak organisasi gerejawi kaum perempuan dibentuk meskipun masih bersifat tujuan religius. Namun peran perempuan abad ke-19 sudah nampak.
Jika peran perempuan dalam PL maupun PB serta sejarah misi Gereja abad ke-19, sangat nampak. Maka, Gereja menanggapi persoalan Maluku dengan memberikan kesempatan kepada perempuan Maluku, untuk menanamkan budaya keprihatinan sosial. Gereja memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada kaum perempuan untuk menunaikan pelayanan tepat-sasaran sesuai dengan karunia Roh Kudus yang mereka terima. Maka muncullah tokoh-tokoh perempuan Maluku, mendesak pemerintah daerah maupun pemerintah pusat melibatkan perempuan dalam perundingan Malino. Akhirnya keinginan itu terpenuhi lewat perundingan Malino II, dengan melibatkan tiga perempuan, yakni Suster Briggita, Pdt Eta Hendriks dan Eti Dumatubun, Ketua Presidium DPC PMKRI Cabang Ambon. Senada dengannya, Linda Holle dari Yayasan Baileo mengatakan perempuan memiliki peran penting untuk menghentikan kekerasan. "Merujuk pada pengalaman selama ini di wilayah konflik Maluku, perempuan terlibat sepenuhnya, ketika konflik terjadi dan ketika proses-penghentian kekerasan," katanya. Sedangkan, aktivis lainnya, Ina Soselissa mengatakan perempuan biasanya tersingkir, disingkirkan, atau termarjinalisasi, ketika ada proses perundingan dan masuk dalam tahap pembangunan perdamaian. Tetapi, perempuan dibutuhkan dan berperan kembali dalam upaya mencegah konflik.
Visi-Misi Profetik Perempuan Memperjuangkan Perdamaian dan Keadilan di Gelanggan Sosio-Agama di Maluku
Ribka adalah perempuan yang hidup dalam lingkungan masyarakat patriakat. Ia terkenal sebagai tokoh pembebas karena ia inisiatif dan prestasinya bagi penerusan sejarah keselamatan. Pertama, Ribka berani melakukan perjalanan panjang lalu dipinang menjadi isteri Isaak (Kej 24:1-61). Berkat tipuan Ribka, pilihan dan berkat Allah dibelokkan ke Yakob, bukannya sesuai tradisi, Esau si sulung. Dia bersedia menanggung resiko kutuk dari suaminya (Kej 27:1-17). Ribka menjadi contoh bahwa perempuan Israel berkepribadian dan berwatak kuat yang sanggup mengambil keputusan krusial bagi masa depan bangsanya. Ia tahu baik mengenai rencana Allah dari pada laki-laki untuk menentukan masa depan sejarah keselamatan.
Dalam PB, Perempuan juag menduduki peran penting dalam pewartaan. Maria dalam pesta nikah di Kana dengan tegas agar para pelayan berbuat apa yang diperintahkan Yesus (Yoh 2:1-11). Jadi, relevasi Yesus pertama karena ada Maria (Yoh 19:25-27). Pada relevasi puncak, Gereja lahir dan Maria menjadi contoh utama beriman. Perempuan Samaria berhasil menjadi pewarta di desanya. Dialah yang pertama mengenal Yesus Juruselamat (Yoh 4:26). Martha mengakui imannya akan Yesus Mesiah Putra Allah (Yoh 11:27). Di tempat lain, Petruslah yang mengenal siapa Yesus dan membuat pengakuan iman pertama-tama karena bantuan para perempuan(Mat 16:16). Penampakan Yesus juga pertama-tama kepada perempuan dan mereka menjadi saksi kebangkitan (Yoh 20:11-18). Maka, menjadi orang Kristen bukan sekedar mencari jalan menuju surga. Kita dipanggil menjadi saksi Kristus. “Kalian menjadi saksi-Ku” (Luk 24:48). Itulah perintah Yeus kepada para murid-Nya sebelum Ia naik ke surga. Kita harus menjadi garam dan terang dunia (Mat 5:13) sebagai tanda solider dengan sesama manusia. Inilah Visi-Misi Profetik dalam bidang sosio-Agama, yang Yesus kehendaki kepada para murid-Nya.
Dalam sejarah Misi Gereja Abad ke-19 juga, muncul beberapa lembaga misi perempuan, misalnya; Pertama, terbentuknya “Seminari Perempuan Mount Holyoke” oleh Mary Lyon Thn 1839 dengan mitra imbangnya Rufus Anderson. Penekanan misi mereka adalah pendidikan guru dan mengupayakan terciptanya rumah tangga Kristen yang ideal. Kedua, terbentuknya lembaga “Misi Uni Perempuan” oleh sekelompok perempuan dibawah pimpinan Sarah Doremus dari Gereja Reformasi pada tahun 1861. Misi mereka menekankan mencetak kaum perempuan lajang untuk menjadi misionaris. Ketiga, terbentuknya lembaga “Misi Inggris”. Lembaga ini bertujuan untuk memajukan pendidikan perempuan di Timur dan mengutus para pendidik perempuan sebagai misionaris khususnya ke India. Keempat, terbentuknya lembaga “Misi Asing Perempuan (WFMS)” oleh Gereja Methodis terutama berkarya dalam bidang pendidikan, kesehatan, reformasi sosial dan evangelisasi. Kelima, terbentuknya sebuah organisasi “missioner Charlotte Moon”. Dia seorang perempuan Amerika Utara yang berkarya 4o thn di bagian utara Cina. Dia berkarya sebagai evangelis. Ia mendorong perempuan untuk menjadi misionaris di Cina. Keenam, terbentuknya “Komite Misi Perempuan” thn 1888 oleh para pemimpin misionaris perempuan Amarika Utara dan Inggris. Mereka mengadakan pertemuan Pekan Raya Misi Sedunia bersama di Chicago thn 1983, Konferensi Misi Ekumensi di New York thn 1900 dan puncaknya Yubelium Misi Perempuan pada Thn 1910-1911. Tujuam pertemuan tersebut, tentu untuk mengalakkan rancangan misi bersama kaum perempuan dalam menanggapi tantangan zaman.
Jika hal ini dikenakan kepada peran perempuan Maluku, maka Hellen Sarita de Lima adalah contoh konkret aktivis Visi-Misi Profetik bidang sosio-agama di Maluku. Bagi Hellen Sarita de Lima, aktivis perempuan Maluku yang berprofesi sebagai hakim ad hoc, nilai kemanusiaan perempuan sangat tinggi. Ketika pecah konflik, tanpa berpikir panjang, dia merasa harus berbuat sesuatu bagi beberapa desa yang terkena imbas konflik, seperti Desa Waai, Desa Suli, dan Desa Tial, di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Dia bersama ibu-ibu dari Gereja Protestan Maluku (GPM) melakukan ibadah setiap hari di Gereja Maranatha bersama jemaat lainnya. Dari ibadah itu muncul keinginan membantu warga desa lain, seperti di Desa Waai.
Visi-Misi Profetik Perempuan Memperjuangkan Perdamaian dan Keadilan di Gelanggang Sosio-Budaya di Maluku
Bangsa Yahudi terkenal sebutan bangsa berideologi sangat patriakat. Sekalipun bangsa Yahudi menekankan patriakal, namun ada beberapa tokoh perempuan Yahudi sebagai tokoh pejuang dan pembebas. Mereka berperan dalam hidup bangsa, baik secara sosial maupun politik. Tokoh-tokoh perempuan tersebut diantaranya, Sarah, Rebeka, Rakel, Debora, Yudit, Ibu Samuel, ibu ketujuh bersaudara Makabe dan lain-lain. Tokoh lain adalah Abigail. Ia adalah contoh perempuan yang menjadi perantara dan pendamai. Daud mau membalas kejahatan Nabal, suami Abigail dengan pertumbahan darah. Abigail hidup di masa dimana perang, dan kekerasan adalah jalan keluar untuk menyelesaikan masalah dan menegakkan keadilan. Nabal adalah lelaki yang terbiasa dengan perang dan kekerasan. Melihat bahaya yang mengancam Nabal karena tindakkannya dan Daud siap membalasnya, Abigail cepat mengambil inisiatif dan bertindak. Dia mengusahakn agar kekerasan itu dihindari dengan sendiri bersedia menanggung kesalahan Daud itu. Abigail berhasil membuat Daud mengurungkan niatnya membalas Nabal. Abigail adalah perantara damai (1 Sam 25:2-35).
Konsep perempuan Perjanjian Baru mewarisi Perjanjian Lama. Rabbi Hillel yang sezaman dengan Yesus berkata; semakin banyak perempuan semakin banyak godaan. Hukum Yahudi yang anti perempuan masih berlaku. Masyarakat yang didominasi laki-laki sangat mempengaruhi Yudaisme. Yesus hidup dalam lingkungan yang didominasi laki-laki. Dalam mujizat memperbanyakan roti dicatat bahwa yang ikut makan bersama Yesus kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak (Mat 14:21). Hanya lelaki yang dihitung sedangkan perempuan disamakan dengan anak-anak. Yesus menolak marjinalisasi terhadap perempuan. Yesus mengangkat martabat perempuan. Yesus berbicara dengan perempuan samaria di tempat umum (Yoh 4). Kemudian, ada sejumlah perempuan yang melayani-Nya di Galilea; Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus Muda serta Salome (Mrk 15:40-41). Ada juga perempuan yang ikut keliling dari kota ke kota dan dari desa ke desa seperti para pengkhobtah yang serikali berkeliling seperti; Maria Magdalena, Yohana isteri Khuza, Susana dan beberapa perempuan lainnya. Mereka melayani rombongan dengan kekayaan mereka (Luk 8:2-3). Peran perempuan yang mengikuti Yesus sama kedudukannya dengan laki-laki.
Jika hal ini dikaitkan dengan peranan peerempuan Maluku, maka muncullah tokoh Sr. Brigitta. Ia dengan tegas mengatakan, perempuan harus bangkit untuk membangun perdamaian di Maluku. Ia mengingatkan ketika kekerasan mulai berhenti, perempuan tidak boleh terlena, sehingga pada akhirnya tesingkir dari meja perundingan untuk pembangunan perdamaian. Situasi terlena menyebabkan kepentingan-kepentingan perempuan dalam dokumen perjanjian damai kadang kala hanya satu paragraf di antara sekian ratus paragraf. "Selama ini, perempuan sering tidak dilibatkan dalam perjanjian perdamaian. Padahal mereka banyak mengalami kekerasan di lapangan," kata tokoh perempuan Katolik itu. Ia membela kepentingan perempuan.
Visi-Misi Profetik Perempuan Memperjuangkan Perdamaian dan Keadilan di Gelanggang Membela Hak Perempuan dan Anak-Anak di Maluku
Tokoh berikut adalah Nabiah Debora, isteri Lapidot memerintah sebagai hakim (Hak 4:4). Sebagai hakim, dialah yang menyelenggarakan keadilan. Dia sangat berpengaruh dan tampil pada masa Yabin raja Kanaan yang menteror orang Ibrani dengan kuasa militernya. Deborah duduk dibawah pohon palem dan masyarakat datang kepadanya untuk mendengarkan kebijaksanaannya. Dia menantang Barak orang Ibrani agar melawan orang Kanaan. Barak setuju kalau Deborah juga mendampinginya. Orang kanaan dikalahkan karena keberanian seorang perempuan. Madah kemenangannya pun sangat bernada militan (Hak 4:1-5:31).
Demikian juga Ester perempuan Yahudi. Dia menjadi ratu bagi raja Ahasyweros, raja Persia menggantikan ratu Wasti yang membangkang kepada perintah raja agar memperlihatkan kecantikkanya dalam satu pesta yang diselenggarkan raja (Est 1:11). Haman orang kepercayaan raja marah kepada Mordekai orang Yahudi karena tidak menghormatinya. Lalu dengan izin raja semua orang Yahudi dibunuhnya. Hal ini didengar oleh Ester. Lalu ia berusaha mengambil inisiatif agar rencana ini digagalkan. Dia mengundang raja Mordekai dan Haman ke perjamuan. Dalam perjamuan dan lewat kisah sejarah yang didengarnya selama pesta, raja sadar bahwa ada komplotan dari Haman. Ester berani berbicara dan mengutarakan ancaman itu dihadapan raja. Haman akhirnya dibunuh dan bangsa Yahudi selamat. Ester dalam hal ini adalah seorang perempuan Yahudi yang menyelamatkan ribuan orang sebangsanya (Est 1-8).
Dalam injil Lukas 1:46-55, nampak bahwa Maria adalah perempuan perkasa yang telah ikut dalam satu revolusi rohani yang diperjuangkan Yesus Putranya. Madah ini adalah sebuah nyanyian pembebasan atau nyanyian revolusi. Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah Juruselamatku. Setelah itu Maria melambungkan kidung revolusi . Pertama; kidung revolusi rohani: “Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tanganNya dan mencerai-beraikan orang yang congkak hatinya. Sebaliknya: rahmatnya turun temurun bagi orang yang takwa. Kedua, revolusi politik. Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang-orang yang renadah. Ketiga, revolusi sosial ekonomi. Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa. Maria adalah perempuan yang memperjuangkan hak orang kecil dan tertindas. Dialah perempuan yang kuat mengikut Yesus sampai di kaki salib ketika murid-muridNya melarikan diri.
Setelah konflik, muncul banyak pengungsi. "Bagaimana kita bisa membantu para pengungsi agar dalam kondisi seperti itu mereka mau tenang dan berpasrah terhadap konflik kemanusiaan. Untuk memulihkan Maluku, de Lima mendekati anak-anak dan ibu-ibu yang trauma. Maka dibuatlah kegiatan rohani Santa Claus, dengan membagi-bagi perlengkapan sekolah. Mereka juga memberi sumbangan kepada Yayasan Yatim Piatu Muslim di Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, melalui Ustaz Husein Toisuta. Selain itu, ada beasiswa bagi anak-anak yang berprestasi dalam olahraga air. "Ini semua kita lakukan dalam rangka pemulihan Maluku, agar trauma itu perlahan-lahan bisa hilang," tegas de Lima. Hal ini juga untuk menghindarkan mereka dari pikiran bagaimana cara membalas dendam," kata de Lima.
Himbauan Pastoral Visi-Misi Profetik Bagi Perempuan Katolik di Indonesia
Bidang Sosio-Agama
Menghadapi krisis disintergitas antarsuku, antaragama, antarbudaya dan antargolongan yang menyebabkan penderitaan, maka peran perempuan menyadari panggilan rasuli mereka yang sejati. Melalui dialog kehidupan dengan tetangga di lingkungan mereka berada; mereka membentuk rukun-hidup “human communities” tulus tanpa syarat. Dalam rukun hidup, diharapkan siapa pun tetangga kita harus terbuka untuk bekerja sama tanpa membeda agama, suku, golongan dan lain-lain. Persekutuan dalam persaudaraan itu menanggapi situasi konkret dalam bentuk kepeduliaan bersama yang diwujudkan dalam bentuk dialog dan gotong royong membantu tetangga yang mengalami kesulitan. Aktif kegiatan RT, RW, Desa, PKK dan lain-lain. Melibatkan diri kegiatan apa saja dalam lingkungan dimana kita berada. Perempuan dipanggil untuk saling mengunjungi sesama perempuan beragama lain, seperti teladan Maria mengunjung Elisabet saudaranya.
Bidang Sosio-Ekonomi dan Pembelaan Hak Perempuan serta Anak-anak
Melawan arus acuh tak acuh rakyat terhadap rakyat miskin. Perempuan dipanggil untuk terlibat membantu kaum miskin dan bekerja sama dengan mereka “Prefentia option for and with the poor”. Perempuan hendaknya menunjukkan sikap dasar kerayatan-jelataan yang nyata dan diwujudkan dalam sikap “empati” solidaritas sebab “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan zaman sekarang terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita” (GS 1). Bentuk kegiatan misalnya BAKSOS lintas agama, mendirikan LSM tingkat RT/RW oleh para perempuan lintas agama untuk membantu tentangga yang tertindas dan tidak diberlakukan adil dalam masyarakat. Misalnya, korban kekerasan para pembantu rumah tangga, TKW dan lain. Untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga, maka diharapkan membentuk arisan, koperasi, CU yang anggotanya adalah para perempuan lintas agama.
Bidang Sosio-Budaya
Di tengah maraknya eksploitasi menimpa kaum perempuan, maka awam perempuan didorong Roh Kudus mengerakkan kaum perempuan untuk menentang segala pelanggaran yang merendahkan martabat perempuan. Misalnya; pelecehan sosial, korban kekerasan majikan terhadap pembantu rumah tangga. Dalam kemitraan “partnership” antara perempuan dan laki-laki, hendaknya mencanangkan kerjasama yang serasi dan memiliki kesatuan solidaritas umat Allah. Perlunya perjuangan persamaan jender antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu perlu meningkatkan promosi lewat lokakarya-lokakarya” penyadaran jender, seperti diselenggaranya jaringan Mitra Perempuan yang diseponsori LPPS-KWI, untuk mengembangkan visi setara perempuan dan laki-laki karena secitra dengan Allah.
Bidang Sosio-Politik
Umat awam perempuan hendaknya menumbuhkembangkan nilai-nilai solidaritas dan sudsidiaritas sesama perempuan beragama lain dilingkungan di mana kita berada. Kaum perempuan Katolik diharapkan terlibat dalam kegiatan RT/RW, Desa, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten dan seterusnya. Perempuan harus terlibat dalam kegiatan politik dan bekerjasama dengan para perempuan beragama lain. Menghentikan segala tindakkan kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, kekerasan terhadap pembantu rumah tangga dan lain-lain.
Kesimpulan
Teologi gereja telah menantang kesadaran perempuan dalam gereja untuk mencoba mengembangkan gagasan misi. Keterlibatan perempuan turut berperan dalam panggilan gereja telah membuka jalan baginya untuk mencoba keluar dari keterkungkungannya patriakal. Perempuan ternyata berhasil menciptakan perdamaian dan keadilan di Maluku. Mereka justru menjadi pelopor pejuang dan pembebasan kaum tertindas akibat perang di Maluku. Mereka berhasil keluar dari posisi yang tidak diperhitungkan kaum laki-laki dengan mencoba membentuk suatu kelompok-kelompok tersendiri. Kesadaran perempuan mempunyai dorongan kuat keluar dari gagasan yang mempengaruhi peran-peran sekunder dalam menjawab panggilan Allah, memungkinkan gerakan feminis dalam gereja memberikan suatu gagasan yang lebih luas bagi upaya pemaknaan kehadiran gereja dalam dunianya. Uraian ini memperjelas bagaimana keterlibatan perempuan dalam misi gereja. Konsep bahwa gereja mempunyai misi yang bersumber dari Allah, yang dalam tataran aplikasinya justru menggambarkan seolah-olah gereja menjadi sumber misi merupakan suatu penyimpangan termasuk membatasi keterlibatan perempuan.
Daftar Pustaka
Elisabeth Schssler Fiorenza (ed.), From Woman in Men’s World. A Critical Feminist Theology of Liberation, New York: Orbis, 1996.
Stephens Fortosis, Great Men and Women of the Bible, Mumbai: St. Pauls, 1997.
Sharon Pace Jeansonne, The Women of Genesis, Minneapolis, 1990.
Hardawiryana, Robert., Cara Baru Menggereja di Indonesia 3 “Umat Kristiani Awam Masa Kini Berevangelisasi Baru”, Yogyakarta: Kanisius, 2001
Bria, Benyamin Y., (ed.), Kekerasan Terhadap Perempuan dan Bagaimana Menyikapinya (Kajian Teologis dan Yuridis), Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2003
Info Gender (Media Komunikasi Sekretaris Jaringan Mitra Perempuan KWI), Edisi 43/Thn XII/ Januari-Maret 2007
Panduan Tim Kerja Pewartaan Paroki, Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang, Yogyakarta: Kanisius, 2007
Hadiwardoyo, Al Purwa, 7 Masalah Sosial Aktual Sikap Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2006
A. Sudiarja, S.J (ed.), Teologi Kontekstual Liberatif , Tinjauan Kritis Atas Gereja Diaspora Romo Mangun Wijaya, Yogyakarta:Kanisius, 1999.
Surat edaran Paus Yohanes Paulus II “Tertio Millennio Adveniente”, 51
Kesepakatan Bersama Lokakarya Penyadaran Gender, Angkatan V, Tgl 20-24 1998.
Dr. Brigitte: Menunju Keadilan Jender-Laporan Misi Konsultasi LPPS-KWI/Indonesia dalam Pengembangan Kegiatan-Kegiatan yang Berhubungan dengan Jender, Jakarata, Tgl 5-17 Oktober 1997.
Suseno., Frans Magnis, Beriman Dalam Masyarakat:Butir-butir Teologi Kontekstual, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Riyanto., Armada, (ed.)., Agama-Kekerasan. Membongkar Eksklusivisme, Malang: STFT Widyasasana, 2000.
Sumartana (ed.), Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei, 2001.
Norman K. Gottwald, (ed.), The Bible and Liberation, New York: Orbits, 1984.
Stephen B. Bevans & Roger P. Schroeper, Terus Berubah – Tetap Setia: Dasar, Pola, Konteks Misi, Maumer: Ledalero, 2006.
SUARA PEMBARUAN DAILY http://www.suarapembaruan.com/News/2008/04/20/Utama/ut01.htm Akses Tgl 30-5-2008
INDONESIA-DOCS] PAX CHRISTI - Gerakan Perempuan GPP: http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/02/25/0027.html. Akses Tgl 30-4-2008.
Yuberlian Padele, Gereja, Perempuan dan Misi Kristen, dalam http://www.geocities.com/jurnalintim/lian.htm
SUARA PEMBARUAN DAILY tgl 30-5-08http://www.suarapembaruan.com/News/2008/04/20/Utama/ut01.htm
________________________________________
Perempuan, Nadi Rekonsiliasi
Konflik berlatar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), di beberapa wilayah negeri ini, seperti di Maluku dan Poso, hingga kini menimbulkan luka. Luka itu tak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga nonfisik. Luka- luka itu harus disembuhkan dan para "Kartini" memiliki peran yang signifikan.
Jadi penyembuhan luka (rekonsiliasi) ada di jantung perempuan Maluku. Ketika konflik melanda Maluku pada 1999, yang pertama kali muncul dalam benak kaum perempuan di Ambon, adalah doa, masak untuk kaum laki-laki yang pergi berperang, dan menyiapkan obat-obatan. Sebagai rekonsiliator pascakonflik, perempuan lebih memilih melanjutkan kehidupan daripada melampiaskan dendam dan amarah. Dengan begitu perempuan lebih tanggap membangun benih-benih perdamaian.
Bagi Hellen Sarita de Lima, aktivis perempuan Maluku yang berprofesi sebagai hakim ad hoc, nilai kemanusiaan perempuan sangat tinggi. Ketika pecah konflik, tanpa berpikir panjang, dia merasa harus berbuat sesuatu bagi beberapa desa yang terkena imbas konflik, seperti Desa Waai, Desa Suli, dan Desa Tial, di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Dia bersama ibu-ibu dari Gereja Protestan Maluku (GPM) melakukan ibadah setiap hari di Gereja Maranatha bersama jemaat lainnya.
Dari ibadah itu muncul keinginan membantu warga desa lain, seperti di Desa Waai. Setelah konflik, muncul banyak pengungsi. "Bagaimana kita bisa membantu para pengungsi agar dalam kondisi seperti itu mereka mau tenang dan mau berpasrah terhadap konflik kemanusiaan. Hal ini juga untuk menghindarkan mereka dari pikiran bagaimana cara membalas dendam," kata de Lima.
Untuk memulihkan Maluku, de Lima mendekati anak-anak dan ibu-ibu yang trauma. Maka dibuatlah kegiatan rohani Santa Claus, dengan membagi-bagi perlengkapan sekolah. Mereka juga memberi sumbangan kepada Yayasan Yatim Piatu Muslim di Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, melalui Ustaz Husein Toisuta. Selain itu, ada beasiswa bagi anak-anak yang berprestasi dalam olahraga air. "Ini semua kita lakukan dalam rangka pemulihan Maluku, agar trauma itu perlahan-lahan bisa hilang," tegas de Lima.
Sementara itu, aktivis perempuan, mantan anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Lies Mailoa menyatakan pemerintah daerah kurang melibatkan perempuan dalam pembangunan di Maluku. Tak jarang, anak dan perempuan menjadi tameng dalam konflik. "Ketika konflik di Ambon, anak-anak berada di garis depan disusul dengan barisan perempuan. Perempuan bisa menjadi agen perdamaian dengan banyak hal yang dapat lakukan dalam meredam konflik. Identitas yang memperuncing konflik ditanggalkan, dengan menyerukan gerakan moral bersama perempuan Muslim, Katolik, dan Protestan, dengan misi menghentikan pertikaian dan kekerasan di Maluku," katanya.
Hampir seluruh aktivis perempuan di Maluku meendesak pemerintah daerah maupun pemerintah pusat melibatkan perempuan dalam perundingan Malino. Akhirnya keinginan itu terpenuhi lewat perundingan Malino II, dengan melibatkan tiga perempuan, yakni Suster Briggita, Pdt Eta Hendriks dan Eti Dumatubun, Ketua Presidium DPC PMKRI Cabang Ambon.
Senada dengannya, Linda Holle dari Yayasan Baileo mengatakan perempuan memiliki peran penting untuk menghentikan kekerasan. "Merujuk pada pengalaman selama ini di wilayah konflik Maluku, perempuan terlibat sepenuhnya, ketika konflik terjadi dan ketika proses-penghentian kekerasan," katanya.
Sedangkan, aktivis lainnya, Ina Soselissa mengatakan perempuan biasanya tersingkir, disingkirkan, atau termarjinalisasi, ketika ada proses perundingan dan masuk dalam tahap pembangunan perdamaian. Tetapi, perempuan dibutuhkan dan berperan kembali dalam upaya mencegah konflik.
Perempuan, lanjut Suster Brigitta, bukan hanya korban, akan tetapi memiliki kapasitas yang memadai untuk menjadi survivor di wilayah konflik. Namun dia mengingatkan ketika kekerasan mulai berhenti, perempuan tidak boleh terlena, sehingga pada akhirnya tesingkir dari meja perundingan untuk pembangunan perdamaian. Situasi terlena menyebabkan kepentingan-kepentingan perempuan dalam dokumen perjanjian damai kadang kala hanya satu paragraf di antara sekian ratus paragraf. "Selama ini, perempuan sering tidak dilibatkan dalam perjanjian perdamaian. Padahal mereka banyak mengalami kekerasan di lapangan," kata tokoh perempuan Katolik itu.
Tak Mandiri
[VL/128]
________________________________________
Last modified: 18/4/08
[INDONESIA-DOCS] PAX CHRISTI - Gerakan Perempuan GPP
From: indonesia-docs@indopubs.com
Date: Sun Feb 25 2001 - 18:49:59 EST
________________________________________
X-URL: http://www.paxchristi.nl/vredesvrouwenambon.html
SELAYANG PANDANG GPP (translation in english below)
Gerakan Perempuan Peduli (GPP) lahir sebagai akibat dari keprihatinan
kaum Perempuan Maluku terhadap konflik berkepanjangan yang terjadi di
Daerah Seribu Pulau tercinta ini sejak Januari 1999. Inisyatif awal
adalah Sr. Fransesco Moens PBHK.
Pada tanggal 6 August 1999, pertemuan awal gerakan ini di Aula
Rinamakana.
Tanggal 7 August 1999, gerakan ini diberi nama oleh ibu Wakil Gubernur
Ny. Paula Renyaan/Bataona dan sekaligus pertemuan pertama antara wakil
perempuan Muslim, Protestan, dan Katolik.
Gerakan Perempuan Peduli (GPP) secara resmi muncul pada tanggal 4
September 1999.
Gerakan ini dimulai sebagai sebuah Gerakan Moral dengan Misi "Hentikan
Pertikaian dan Kekerasan."
Kami Perempuan Maluku Muslim, Protestan, Katolik bersatu hati
membulatkan tekad untuk berjuang bersama untuk menyadarkan seluruh
warga masyarakat, bahwa kekerasan tidak pernah dapat menyelesaikan
masalah. Sebaliknya kekerasan justru akan menambah dan memperparah
masalah.
Untuk menanggapi jeritan hati setiap insan yang mendambakan keamanan,
kedamaian, kenyamanan dan teristimewa kaum perempuan dan anak-anak,
maka GPP merumuskan tujuan Gerakan ini sebagai berikut:
1. Menghentikan kekerasan dan pertikaian
2. Semua bentuk kegiatan (baik pembinaan/pendampingan rohani -
jasmani, ekonomi) untuk kebersamaan mewujudkan rekonsiliasi.
3. Mengupayakan rekonsiliasi antar warga masyarakat.
4. Memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak-anak:
a. Temu wicara dengan ketua Persit.
b. Temu wicara dengan ketua Bhayangkari.
1. Pembangunan opini dan penyadaran melalui massmedia.
2. Pelatihan kepada kaum perempuan (tenaga pendamping di lapangan).
3. TOC (Pelatihan Tenaga Pendamping Remaja).
4. Pendampingan Remaja pada ketiga komunitas, serta pembinaan ke
sekolahsekolah formal.
5. Pembinaan kepada ibu-ibu di tempat pengungsian.
6. Membuat stiker / lif let dan mengedarkannya.
7. Pernyataan keprihatinan kaum perempuan atas ketidak-seriusan
Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelesaian konflik Maluku
lewat TVRI dan RRI.
8. Pernyataan sikap dan perhatian dunia luar atas kekerasan di Maluku
lewat surat dan E-mail.
9. Permohonan bantuan evakuasi massal ditujukan kepada Presiden RI,
Menteri Perhubungan RI, Menteri Agama RI, Menteri Peranan Wanita
RI, Panglima ABRI, dan KAPOLRI di Jakarta dengan tembusan kepada
Gubernur Maluku, Pangdam XVI Pattimura, dan KAPOLDA Maluku (19
Juli 2000).
10. Ikut ambil bagian dalam workshop, dan undangan-undangan dari LSM
dan kelompok- kelompok yang punya kepedulian untuk menghentikan
kekerasan dan pertikaian di Maluku dan penanganan trauma anak dan
perempuan.
11. Temu kangen para perempuan.
12. Membantu para pengungsi sesuai kebutuhan dalam saat emergensi.
13. Peluncuran buletin "Ina Tabaus".
14. Ikut kerjasama dengan organisasi wanita lainnya membuat pasar
murah.
15. Pendampingan khusus bagi kelompok AGAS dan LINGIS (para remaja
yang ikut dalam perang) kemudian mempertemukan mereka.
16. Membuat pendekatan kepada Kepala-kepala perang baik muslim maupun
kristen.
17. Ikut dalam kampanya "Baku Bae"dari kota ke kota (Yogyakarta -
Suabaya - Ujung Pandang).
18. Bergabung dalam kelompok "Baku Bae" Maluku, menyuarakan suara
perempuan dan masyarakat Maluku ke DPR Pusat di Jakarta (menghadap
ketua DPR Akbar Tandjung).
19. Pemberdayaan para pengungsi (khusus perempuan dan remaja) memberi
pinjaman (dana bergulir), pengembangan ekonomi.
20. Pembinaan dan pendampingan pengembangang bakat dan kreatifitas
anak dan remaja.
21. Membuka jaringan kerja dengan kelompok-kelompok yang mengupayakan
rekonsiliasi, membangun kembali Maluku.
22. Membuat Temu Remaja Akbar.
23. Pendampingan khusus kelompok remaja dalam rukun-rukun dalam
Paroki.
Kami GPP mempunyai 3 koordinator, 3 sekretaris, 3 bendahara dan
anggota-anggota (Pengurus inti), juga pembina-pembina / pendamping
lapangan baik anak-anak, remaja dan perempuan.
Kegiatan kami didukung oleh para donatur a.l:
* Sumbangan dari satu Yayasan Pendidikan di Jerman.
* Sumbangan dari Kedutaan Belanda.
* Sumbangan dari Unicef.
* Sumbangan dari Panitia Sidang Agung Gereja Katolik tahun 2000.
* Sumbangan dari Paroki St. Yusuf Semarang.
* Sumbangan-sumbangan dari LSM di Belanda.
* Sumbangan dari Umat Katolik / pribadi-pribadi di Jakarta, Bogor.
Kami bersyukur bahwa perjuangan kaum perempuan ini akhirnya
disadari dan diterima baik dan mendapat dukungan penuh dari semua
pihak.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
misi kemanusiaan ini.
Ambon, 9 Februari 2001
Suster Brigita Renyaan, PBHK
Alamat: Gerakan Perempuan Peduli
Sekr. Gedn Rinamakana
Jl. Pattimura 17 - Ambon 97124 / Fax / Tel 0911 - 356300 / Tel
0911 - 344142 / 342070
Bank: BCA Ambon Rek. No. 044 - 10 - 36412 -1
Artha Graha
Jl. Pattimura Ambon Rek. No. 070 - 02 - 15390
a/n. Brigitina Renyaan
CONCISE INFORMATION ON THE "CONCERNED WOMEN ORGANISATION" ( Gerakan
Perempuan Peduli )
The "Concerned Women Organisation" was conceived as an expression of
some Moluccan women's concern in relation to the seemingly unending
conflict which was and has been going on in the Moluccas since Januari
1999. The idea of such organisation was launched by Sister Francesco
Moens FDNSC. The first meeting was held in the "Rinamakana" aula,
Batumeja, Ambon, on Augusts 7, 1999. On that occasion Vice Governor
Mrs. Paula Renyaan-Bataona suggested to call it "Gerakan Perempuan
Peduli" = "Concerned Women Organisation". This meeting inclu-ded
delegates from Moslem, Protestant and Catholic side.
It was decided upon that it would be first of all a Moral Movement
with the mission to "Stop the Fighting and the Violence" (menghentikan
Pertikaian dan Kekerasan).
So we, Moslem, Protestant and Catholic Women, in close cooperation,
agree and are determined to make the people of the Moluccas realize
that violence will not solve any contrariety. On the contrary,
violence only produces more violence and will only effectuate
escalatation of the conflict.
In response to the fervent longing of everybody, most of all the women
and children, for security, safety and peace, the goal or target of
this Organisation was formulated as follows:
1. Stop the violence and the fighting.
2. Effectuate various activities (formation/guidance in both spiritual
and material/econo-mic fields) in close cooperation, in order to pave
the road to reconciliation.
3. Carry out reconciliation programs between the opposing factions in
society.
4. Insist upon the maintaining c.q. restoring of human rights of women
and children.
In this scope meanwhile have been carried out various programs, among
others:
1. Be united in prayer every day; if not locally, at least coming
together in mind and heart.
2. Proffering the Women's Voice and the Children's Scream to the
Governor, being witnessed also by other high government authorities
(this was done twice, both by the christians and by the moslems).
3. Spreading and handing out 4000 small banners and small posters on
which the text: "STOP THE FIGHTING AND THE VIOLENCE".
4. Socialisation of the Women's Voice and the Children's Scream via
local Radio, TV and newspapers.
5. Urging to put a stop to the defiling of one another's religion and
ethnic roots.
6. Discussion with the Army and Police chief commanders.
7. Proffering the Women's Voice and the Children's Scream to the
Provincial Legislative Council (DPRD).
8. Discussion with the Governor.
9. Discussions with Protestant and Catholic Church leaders.
10. Discussion with the Town's Legislative Council (DPRD)
11. Corroborating the workability of the "Concerned Women" in matters
of stopping the Conflict and Violence by meetings with military and
police wives' organisations.
12. Trying to influence public opinion and allertness via mass media.
13. Training of female volunteers in the fields of guidance and
counciling.
14. Training of female volunteers in the field of formation of
youngsters.
15. Guidance for youngsters of each of the three communities.
16. Formation activities for women in the refugee camps.
17. Producing and handing out of stickers and leaflets.
18. Issuing by local TV and Radio statements of women's concern about
the lack of seriousness of both the central and provincial governments
in putting an end to the Moluccas conflict.
19. Requesting the world by means of letters and e-mail to take a
clear stance in matters of violence and human rights in the Moluccas.
20. On July 19 we sent an urgent letter to the Presiden and four
Cabinet Ministers, the Chiefs of Army and Police in Jakarta with a
carbon copy to the Governor, the Police and Army Chief Commanders in
Ambon, requesting evacuation en masse of all christians from the
island of Ambon. That was when jihad troops together with military
persons attacked the christians most savagely and we estimated that
all of us would be driven into the sea.
21. Taking part in workshops and complying with invitations from local
NGOs and other organisations and bodies that are concerned about the
violence and the conflict and that try to cope with both women's and
children's traumas.
22. Confidential / private meetings with traumatized women.
23. Providing aid to refugees in situations of emergency
24. Publishing the bulletin "Ina Tabaus".
25. In cooperation with other women's organisations, organizing "cheap
market" activities.
26. Special guidance for the groups of so-called "Agas" and "Lingis".
These are groups of children and youngsters that take part in combat.
Bringing the groups in mutual contact one with another.
27. Approaching the civil war-lords, both christian and moslem.
28. Taking part in the "Baku Bae" campaign in Yogyakarta, Jakarta,
Surabaya and Makasar.
29. Vocalizing the Moluccan women's aspirations to the National
Legislative Council (DPR) in Jakarta and meeting its House Speaker
Akbar Tanjung.
30. Activating refugees, specifially women and youngsters, by
providing revolving funds for small business.
31. Formation and guidance in developping hidden talents and
creativity among children and young people.
32. Providing a practice-oriented network of groups of people that
aspire reconciliation and rebuilding of the Moluccas.
33. Organizing a large scale meeting of young people.
34. Special attention and guidance for gatherings of youngsters in the
various Parish basic communities.
This "Concerned Women Organisation" has a board consisting of three
coordinators, three secretaries, three treasurers and some members. We
have a selected group of formation and guidance field workers for
children, youngsters and women.
Our activities are financially supported by several donors.
We feel grateful, since - at last - this struggle of us, women of the
Moluccas, has been acknowledged and enjoys everybody's support.
Ambon, February 9, 2001
Sister Brigita Renyaan, fdnsc
(Translated from Indonesian by C.J.B_hm msc, secretary Crisis Centre
Diocese of Amboina).
________________________________________
Lebih dari itu
Menafsirkan Kembali Figur “ADAM”
membantu tetangga yang menderita tanpa memandang suku dan agama dan lain-lain.
Menfsirkan Kembali Simbol “ABBA” yang Dipakai Untuk Tuhan
Magnificat; Nyanyian Pembebasan Maria dari Nazaret
terutama untuk menggugah kaum perempuan Katolik.
Reformasi Gereja: Tak ada yang Berubah?
Dalam perjalanan sejarah misi, cara pandang yang dualistis telah berhasil meletakkan suatu prinsip “kesucian” (hidup beraskese) sebagai sesuatu yang lebih bernilai tinggi. Kecenderungan perempuan ingin keluar dari lititan sistem yang mengurungnya itu kemudian mengadopsi gagasan “kesucian” (keperawanan) sebagai sarana untuk mendapatkan hak, penilaian, posisi sekaligus harkat yang tinggi dalam masyarakat. Sekali lagi, upaya yang dilakukan oleh perempuan dalam gereja pada waktu itu – Misalnya oleh Suster Benedictus abad ke-6, yang menekankan kesucian hidup dalam biara – sebagai tempat bagi perempuan untuk memperoleh nilai atau penghargaan yang diakui bagi pengabdian yang lebih luas. Hidup beraskese dan pelayanan kepada kaum miskin sebagai bagian dari pengabdian dan cara untuk mengambil bagian dalam penderitaan Kristus. Di kemudian hari, panggilan perempuan dalam wilayah ini diperkuat oleh penetapan devosi terhadap Maria sebagai gambaran perempuan yang suci dan ideal (seorang perawan suci dan ibu yang baik) mendapat tempat yang kuat dalam gereja – saya sengaja tidak menyebut Devosi Gereja Katolik sebab menunjuk pada kenyataan sejarah gereja sebagai bagian dari keberadaan gereja-gereja sekarang ini.
Refleksi iman tokoh-tokoh reformasi gereja agak bervariasi dalam membuka dan menetapkan sistem hubungan manusia –laki-laki dan perempuan- yang mulai terbuka sekalipun belum pada jalan puncak bagi kesetaraan. Misalnya Marthen Luther memberikan kemuliaan dan tempat tertinggi bagi perempuan, khususnya dalam rumah tangga. Mengambil bagian dalam misi Kristus berarti relah untuk mengabdi bagi keluarga, menahan sakit disaat melahirkan bahkan sekalipun mati karena melahirkan anak. Teologi yang agak bertentangan dengan pengagungan kesucian yang kedua-duanya tidak ada perbedaan. Bahkan ketika peran-peran dalam jabatan gereja dibatasi sebagai pelayanan sosial (diakonat) maka pekerjaan itupun adalah bagian yang tidak lebih jauh berbeda. Barangkali refleksi iman Wesley lebih radikal ketika kesempatan bagi perempuan untuk mengajar dan berkhotbah didepan umum. Kenyataan bahwa gereja-gereja mempunyai keterbukaan yang berbeda dalam memberi kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam berkarya secara lebih luas merupakan bagian dari sejarah reformasi gereja. Sayang sekali bahwa gagasan Wesly sangat sedikit gemanya bagi gereja-gereja di Indonesia yang lebih dekat dengan Lutheran dan Calvisnis. Kebudayaan yang membelenggu keterlibatan perempuan di beberapa daerah dalam gerak yang lebih sempit saling memperkuat teologi gereja yang memang sudah tersedia.
Perempuan, Keunikan dan Keterlibatan dalam Misi Allah
Gagasan teologi gereja turut mendukung pembatasan peran itu. Ayat-ayat kitab suci yang jelas-jelas meriwayatkan pelarangan bagi perempuan terlibat dalam kegiatan gereja, dipakai secara literer untuk mengurung perempuan dalam peran yang sangat terbatas. Misalnya interpretasi peristiwa penciptaan dan kejatuhan manusia yang disebabkan oleh perempuan memperkuat gagasan teologi Rasul Paulus yang berhubungan dengan peran-peran perempuan. Penekanan misi yang dipahami oleh gereja pada waktu itu, berhubungan dengan pengajaran dan berkhotbah mempertegas kecendrungan karya yang sangat mementingkan pendidikan formal yang berkaitan dengan hal-hal yang rasional. Demikianlah karya perempuan bagi upaya untuk mendukung peranannya sebagai ibu atau istri dari para missionaris merupakan bagian sekunder dari sejarah misi yang jarang dipublikasikan dan bahkan kurang mendapat penghargaan luas.
Dalam keterbukaan baik teologi, kesempatan serta potensi perempuan yang diperhitungkan sedang terlibat dalam menyediakan pilihan-pilihan peran yang baru.
Dari Ekstrim sampai pada Pertobatan
Sampai di sini saya berbicara secara ekstrim berhubungan dengan keterlibatan perempuan dalam sejarah misi. Kesadaran saya membicarakan hal-hal ini merupakan upaya untuk membuka suatu fakta sejarah yang membelenggu. Memahami kerangka berpikir yang kemudian membentuk sejarah perempuan dalam misi Kristiani, sangat memungkinkan bagi kita sekarang ini untuk memahami seluruh pengaruh-pengaruh yang diakibatkankannya sekarang. Salah satu akibat dari sejarah pemikiran seperti ini masih nampak dalam ungkapan yang secara tidak sadar gereja memilah dunia lain sebagai sasaran misi. Misalnya, jikalau gereja masih memikirkan apakah sumbangan gereja bagi dunia, maka ungkapan ini menurut saya memberi kesan pemilahan “dunia” dan yang lain dilihat sebagai obyek. Kadang-kadang yang menjadi obyek dilihat sebagai yang lebih buruk daripada yang menganggap diri sebagai subyek. Istilah “sumbangan” juga dapat berarti sekedar memberi sesuatu sekaligus menjaga jarak dengan dunia sasarannya. Ini berarti gereja bukannya turut melibatkan diri dan berada atau menjadi bagian dari realitasnnya tetapi justru mengasingkan diri dan seolah-olah dirinya sendiri tidak memerlukan bantuan dari yang lain. Dengan demikian kelihatan gereja mengasingkan diri dan justru bukan bergelut di di dalamnya. Di lain pihak istilah yang diambil dari dunia ekonomi ini akan memberi kesan bahwa gereja adalah “gereja kapitalis”. Gereja menyatakan diri sebagai sumber moralitas dan spiritualitas yang lebih berwibawa dari semua intitusi yang lain. Gagasan superior seperti ini telah menyeret gereja terhadap pernyataan selama ini bahwa gereja yang memiliki misi (Misi Gereja). Tuntutan ini pada satu pihak telah mengasingkan dirinya dari Tuhan Allah sebagai empunya misi dan pada pihak yang lain ia mengkhayal dan melupakan fakta yang sedang terjadi dalam dirinya secara aktual. Inilah keserakahan gereja sehingga gereja secara nyata telah turut membentuk dunia yang tidak adil, diskriminatis dan penuh dengan kekerasan. Inilah realitas dari karya misi gereja yang memilah dan lebih mementingkan satu daripada yang lain. Kemanusiaan di tindas, kekerasan diciptakaan, kesetaraan hak dan martabat diabaikan.
.
Kamis, 29 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar