Jumat, 30 Januari 2009
Moral 1
APAKAH SETIAP ORANG MEMPUNYAI KEWAJIBAN MENGHENTIKAN ABORSI
Rofinus Jas
1. Permasalahan
Ada seorang perempuan dan berkerja sebagai perawat. Selaku sebagai seorang feminis, ia sadar menerima ajaran Gereja bahwa aborsi adalah suatu tindakan yang salah. Ia memahami aborsi adalah termasuk tindakan pembunuhan. Maka, aborsi tidak bisa dilegalkan. Namun persoalannya bahwa dalam prakteknya, aborsi seolah-olah dilegalkan. Dia mengambil contoh di antara dua temannya. Ia merasa bingung karena di antara dua temannya, ada yang berusaha melakukan tindakan keselamatan supaya tidak terjadi perbuatan aborsi, sebaliknya teman yang lainnya justru melakukan praktek aborsi. Akibatnya, teman-temannya menuduh dia dan menganggap dia gagal menentang aborsi.
Namun perawat tersebut, tetap yakin bahwa aborsi tidak bisa dibenarkan karena termasuk tindakan pembunuhan. Namun di lain pihak, ia kebinggungan. Ia mengambil contoh; seandainya pada suatu ketika ada seorang berlaku kasar terhadap anak kecil dengan mengunakan tongkat baseball. Perawat itu berusaha menghentikan tindakan kekerasan tersebut dengan mengunakan pistolnya, dengan harapan orang tersebut menghentikan tindakannya. Tetapi kenyataannya, orang tersebut justru membentak dan memukul perawat tersebut. Tentu dalam hal ini, perawat tersebut dibenarkan jika seandainya terjadi penembakan. Perawat tersebut yakin bahwa pembunuhan terhadap orang yang melakukan tindakan berutal, bisa dibenarkan. Namun perawat tersebut tetap merasa binggung, sebab baik aborsi maupun penembakan terhadap orang brutal, kedua-duanya termasuk tindakan pembunuhan.
2. Perumusan Masalah
Permasalahan utama dalam kasus di atas adalah soal kebingungan, terutama atas “tuduhan” temannya, bahwa ia “gagal” menentang aborsi. Pertanyaannya; Dimanakah letak kehormatan, kebenaran dan kesetiaan perawat tersebut dalam kasus ini? Di satu sisi, perawat tersebut, yakin bahwa aborsi adalah tindakan pembunuhan dan memang negara tidak melegalkan aborsi. Apalagi ia juga didukung oleh ajaran Gereja bahwa aborsi adalah suatu kesalahan. Di lain pihak, kenyataan dalam praktek kesehariannya, justru aborsi seolah-olah dilegalkan. Di tengah kebingungan ini, ia dituduh dan diejek teman-temannya, karena dianggap gagal menentang aborsi. Di sisi lain, ia juga dihadapkan pada persoalan pembunuhan kepada orang yang brutal padanya. Bagi dia, pembunuhan terhadap orang yang brutal padanya tetap dibenarkan. Namun permasalahannya; baik aborsi maupun penembakan terhadap orang brutal padanya, sama-sama melakukan pembunuhan. Bagaimana cara mengatasi kebingungan si perawat tersebut ditinjau dari moral; kehormatan, kebenaran dan kesetiaan?
3. Analisis Permasalahan
Dalam menganalisis masalah ini; pertama-tama kita harus memahami apa itu kebingungan dalam konteks masalah ini. Apa sebabnya, mengapa ia bingung?
Sebab-sebab Kebingungan
1. Ia dituduh dan diejek teman-temannya, karena dianggap gagal menentang aborsi.
2. Ia bingung karena disatu sisi negara tidak melegalkan aborsi, tetapi dalam prakteknya seolah-olah aborsi dilegalkan
3. Ia takut kehilangan teman yang menyetujui aborsi.
4. Ia takut melawan kebiasaan bahwa melakukan aborsi adalah suatu hal biasa meskipun tidak dilegalkan.
5. Ia tidak bisa membedakan tindakan pembunuhan karena aborsi dengan pembunuhan terhadap orang yang melakukan brutal kepada dirinya.
5. Pembahasan
Sebelum kita menggagas masalah ini ditinjau dari teologi moral; kehormatan, kebenaran dan kesetiaan. Pertama-tama kita harus mengupas masalah ini menurut teks.
5.1. Ulasan Masalah Menurut Teks
Menurut Grisez bahwa setiap orang mempunyai panggilan menghentikan tindakan aborsi. Setiap orang mempunyai kewajiban membela kehidupan orang yang tak bersalah. Bagi dia, jika aborsi dilegalkan maka itu termasuk kejahatan besar. Tindakan melegalisasikan aborsi berarti sama dengan Hitler, Stalin sebagai contoh tokoh besar pembunuhan orang yang tak bersalah. Grisez mengajak semua pihak melawan tindakan aborsi, mulai dari diri kita masing-masing, pihak religius, pendidik, penegak hukum, petugas kesehatan, media masa dan masyarakat umumnya. Pada prinsip, Grisez mengajak semua pihak dengan caranya masing-masing menentang kejahatan aborsi. Ia mengambil contoh cara-cara menentang aborsi, misalnya; dengan doa, surat protes, berpartisipasi pelayanan di klinik dan sebagainya. Artinya setiap orang mempunyai kewajiban melawan aborsi, sebagai bentuk kesadaran moral yang tinggi.
Mejawab kebingungan mengenai pembunuhan akibat aborsi dan pembunuhan terhadap orang brutal. Grisez menjawab persoalan dengan beberapa argumen;
1. Pembunuhan abortunist tentu bertentangan dengan injil, sebab bayi yang belum lahir itu tidak jauh berbeda dengan manusia lainnya. Berbeda dengan penembakan terhadap orang brutal. Ia dilihat sebagai penjahat, sebab bisa jadi ia membunuh orang yang lain yang tidak bersalah. Ia termasuk orang yang terisolasi dan tidak dilindungi oleh masyarakat dan hukum. Jika terjadi penembakan terhadap orang brutal dari segi moral tidak terlalu berat, karena tujuan untuk melindungi anak yang tidak bersalah dan melindungi kehidupan kita sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Thomas Aquinas bahwa pembunuhan terhadap orang jahat bisa dibenarkan sejauh intensi langsung orang yang bersangkutan untuk melindungi diri bukan berniat membunuh. Ia mengatakan “ secara natural segala sesuatu itu mencintai dirinya sendiri dan karena itu maka segala sesuatu itu berusaha untuk mempertahankan diri dan menyingkirkan kehancuran sejauh mungkin”.
2. Atas dasar iman kita melawan aborsi, sebab secara moral sama dengan pembunuhan. Sebaliknya jika membunuh orang brutal karena terbukti mengacam kehidupan kita, secara moral tidak terlalu dipersoalkan.
3. Tindakan aborsi mestinya harus ditentang karena termasuk menghalangi produktivitas manusia baru. Apalagi kebijaksanaan publik dan hukum pasti melindungi orang pro-kehidupan bukan pro-aborsi. Berbeda dengan pembunuhan terhadap orang yang brutal. Bisa jadi kebijaksanaan publik dan hukum tidak mempersoalkan pembunuhan terhadap orang brutal. Apalagi ia terbukti melakukan kekerasan terhadap anak kecil yang tidak bersalah.
Menguatkan argumen Griez tersebut; mari kita mengupas masalah ini ditinjau dari teologi moral; kehormatan, kebenaran dan kesetiaan.
5.2. Pembahasan ditinjau dari teologi moral; kehormatan, kebenaran dan kesetiaan
5.2.1. Kehormatan
Letak kehormatan perawat tersebut, justru terletak pada keberanian menyerukan kebenaran. Keberanian menentang praktek aborsi, justru menunjukan kehormatan sebagai manusia yang bermoral. Kehormatannya justru terletak pada keberanian mengatakan yang benar dan menentang segala kejahatan. Kita tahu bahwa letak kehormatan seorang manusia, justru terletak pada ketaatan mengikuti suara hati. KV II menegaskan, “Dilubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum yang tidak diterimanya dari dirinya-sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik dan menghindari apa yang jahat. Sebab dalam hatinya, manusia menemukan hukum yang ditulis Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu dan menurut hukum itu pula ia akan diadili”. Kendatipun kehormatan dibayar dengan kehilangan pekerjaan, kehilangan teman yang pro-aborsi, dicemooh oleh orang yang terbiasa melakukan aborsi dan lain sebagainya. Menurut saya kehormatan perawat tersebut, justru terletak pada keberaniannya menyuarakan yang benar. Orang yang memiliki komitmen mengatakan yang benar, berarti orang yang menghormati dirinya sebagai orang benar.
Sebaliknya, jika perawat tersebut, mengiyakan tindakan aborsi, berarti ia berada pada posisi orang yang tidak terhormat. Ia melawan hati nuraninya bahwa aborsi adalah suatu tindakan yang tidak benar. Kehormatan dalam konteks ini, lebih mengarah pada kehormatan sebagai ganjaran keutamaan. Prinsip keutamaan tersebut, dikatakan oleh Thomas Aquino dan menyebutnya sebagai kehormatan premium virtuis (ganjaran keutamaan). Ia menghubungkan paham kehormatan dengan keutamaan, artinya ia mendasarkan hubungan antar-manusia, kemampuan dan keulungan atas suatu prinsip moral yang memberikan nilai membenarkan atau menghalalkannya. Artinya, letak kehormatan perawat tersebut, justru terletak pada wilayah kepekaan hati nuraninya membela yang benar dan menentang segala kejahatan termasuk tindakan aborsi.
Karena itu, perawat tersebut tidak perlu merasa direndahkan, dilecehkan, harga diri rendah, hidup tidak punyai arti dan sebagainya. Sebaliknya, justru perawat tersebut menjadi figur yang dipatut dihormati, dihargai dan lain-lain. Ia dihormati sebagai orang yang benar bukan dianggap sebagai orang yang gagal menentang Aborsi. Sebab kesetiaan pada kebenaran, merupakan suatu kehormatan diri yang luhur nilainya. “Sebab itu, kita dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah…”.
5.2.2. Kebenaran
Menentang praktek aborsi adalah suatu perbuatan yang benar. Dalam injil Yohanes mengatakan, “… dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan memerdekakan kamu”. Maka perawat tersebut, tidak perlu bingung. Ia berada pada jalur yang benar. Oleh karena itu, berbicara secara blak-blakan menentang aborsi adalah bagian dari tindakan kebenaran. Ia sebenarnya tidak perlu takut, karena tindakan menentang aborsi adalah bagian dari kesadaran membela kehidupan manusia. Seperti ajaran Gereja mengatakan: “ …sekarang bagi suara hati banyak orang, kesadaran akan beratnya kejahatan itu berangsur-angsur menjadi semakin kabur. Penerimaan aborsi dalam pandangan popular, dalam prilaku bahkan dalam hukum sendiri menandakan degan jelas adanya krisis kesadaran moral yang sangat berbahaya sekali. Orang semakin tidak mampu lagi membedakan antara yang baik dan jahat, juga bila hak dasar atas hidup dipertaruhkan. Mengingat gawatnya situasi itu, sekarang lebih dari itu dibutuhkann keberanian untuk menatap kebenaran dan membicarakan hal itu secara blak-blakan tanpa kompromi-kompromi yang mengenakan atau godaan mengelabuhi diri”. Hal ini sejalan dengan apa dikatakan dalam Persona Humana “ …ada banyak orang sekarang yang terkonfrontasikan dengan begitu banyak pendapat yang menyebar luas berlawanan dengan apa yang mereka terima dari Gereja telah menjadi bingung apa yang mereka pegang sebagai kebenaran.”
Jadi, menegakan kebenaran merupakan bagian dari panggilan hidup manusia sebagai gambar Allah. “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut Gambarnya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia”. Karena itulah, manusia dipanggil untuk meneruskan kebaikan dan kebenaran Allah di tengah dunia ini.
5.2.3. Kesetiaan
Keberanian menentang tindakan aborsi adalah bagian dari kesetiaan pada kebenaran. Berarti ia setia pada hati nuraninya. Hati nurani kita pasti selalu mengarahkan kita kepada kebenaran dan menentang segala bentuk praktek aborsi. Di lain pihak, perawat tersebut juga, justru ia setia pada ajaran Gereja. Setia pada Gereja berarti setia pada ajarannya. Sudah jelas bahwa Gereja menentang tindakan aborsi; sebab aborsi termasuk tindakan pembunuhan terhadap orang yang tak bersalah.
Dengan demikian, setiap orang mempunyai kewajiban menegur sesamanya jika melakukan pelanggaran-pelanggaran. Seperti dalam injil mengatakan, “Jagalah dirimu, jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia dan jikalau ia menyesal ampunilah dia”. Kita tidak bisa membohong hati nurani kita, bahwa aborsi adalah suatu tindakan pembunuhan. Jelas tindakan aborsi adalah suatu tindakan pelanggaran, maka setiap pribadi wajib menyadarkan mereka. Seperti apa yang dikatakan Paulus kepada umatnya di Galatia. Ia mengatakan, “Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembu;t sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan”. Artinya, dibalik tugas panggilan kita membawa orang pada kebenaran, namun di lain pihak kita sendiri diharapkan tetap setia pada kebenaran tersebut.
5.3. Penilaian Moral
Dalam penilaian moral ini; kembali kita bertanya, apakan setiap orang mempunyai kewajiban menghentikan aborsi? Tentu! Setiap orang wajib menghentikan aborsi. Mengapa?
Argumen stop aborsi
1. Tindakan aborsi termasuk pembunuhan.
2. St. Agustinus mengatakan bahwa aborsi termasuk merusak karya Allah dalam rahim ibu.
3. Ensiklik Casti Connubi: “Aborsi adalah kejahatan berat yang dialamatkan kepada hidup anak…”.
4. Aborsi dan pembunuhan bayi merupakan kejahatan yang jahat sekali.
Argumen pro aborsi
1 “…undang-undang melarang aborsi sulit diterapkan, sebab kejahatan itu terlalu banyak untuk dapat dihukum…”. (Deklarasi pengguguran N. 19)
2. Soal tuntutan keadilan terhadap wanita yang hamil karena diperkosa…”.
Kamis, 29 Januari 2009
Politik 5
KRITIK ATAS KEWAJIBAN BERJILBAB DI ACEH
(Tinjauan Emansipatoris Gender)
Rofinus Jas, SVD
_____________________________________________________________________
Abstraksi
Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh, hingga saat ini masih menyimpan ketimpangan. Dari sekian banyak isu sosial, tema kekerasan perempuan sebenarnya relatif akut walaupun tidak muncul ke depan publik. Perempuan dijadikan obyek penerapan Syariat Islam. Harga diri perempuan, seolah-olah identik dengan jilbab. Bagi perempuan yang tidak berjilbab dianggap perempuan murahan. Perempuan benar-benar direndahkan. Akibatnya, perempuan kehilangan kebebasannya sebagai manusia yang bermartabat dan kesetaraannya dengan laki-laki. Seperti kasus di Blangpidie; puluhan ibu-ibu terjaring razia jilbab yang dilakukan dinas Syari’at Islam (Surat Kabar, Serambi, 4 Oktober 2005). Juga di Langsa, ketika perempuan tidak berjilbab dipotong rambutnya oleh tim operasi penegak Syari’at Islam (Surat Kabar, Serambi, 25 April 2005). Pertanyaannya; Apakah tujuan penerapan Syari’at Islam di Aceh itu dapat membangun masyarakat yang sejahtera dan bermartabat? Karena itu, marilah kita mencermati pemberlakuan Syari’at Islam yang hingga saat ini masih menyimpan ketimpangan-ketimpangan. Tulisan ini secara spesifik hendak mengkritisi atas kewajiban berjilbab bagi perempuan Aceh dalam konteks pemberlakuan Syari’at Islam; terutama ditinjau dari emansipatoris gender persamaan hak laki-laki dan perempuan.
Kata kunci : Syari’at Islam, ketimpangan, perempuan.
Seperti Agama-agama samawi lainnya, Islam mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan perdamaian. Namun kenyataannya, muncul diskriminasi merendahkan martabat perempuan. Contoh pemaksaan pemakaian jilbab (Seperti tulisan Zubaidah Djohar, KOMPAS, Sabtu 3 Desember 2005) di atas. Harian Serambi Indonesia, 5 Mei juga menurunkan berita dengan judul “Hentikan Kekerasan Dalam Razia Jilbab”. Di Aceh Timur tujuh wanita digunduli. Berita-berita tersebut menampilkan wajah Islam yang penuh dengan kekerasan. Lihat juga setelah satu tahun penanganan tsunami di Aceh, kondisi perempuan tidak membaik bahkan bertambah buruk. Pelecehan seksual bahkan pemerkosaan kerap kali terjadi, tetapi tidak pernah terungkapkan (Kompas, Sabtu 3 Desember 2005). Lalu dimanakah letak kebenaran Syari’at Islam yang menyejahterakan rakyat, sementara kaum perempuan masih termarjinalkan dalam segala aspek kehidupan?
Karena itu marilah kita mengupas masalah ini, mulai dari sumber ketimpangan yang mewajibkan perempuan Aceh berjilbab. Kedua beberapa argumen yang menentang pemaksaan pemakaian jilbab ditinjau dari emansipasi gender .
1.1. Sumber ketimpangan
Marjinalisasi merupakan bentuk ketidakadilan yang lahir dari akibat perbedaan gender. Sumber ketimpangan tersebut bisa bermacam-macam, diantaranya; kebijakan pemerintah, penafsiran agama dan tradisi yang salah serta perempuan sebagai tameng (Mansur Fagih, 1996).
1.1.1. 1.1.1. Kebijakan Pemerintah
Pada masa pemerintahan Soekarno, pembrontakan pernah terjadi dilakukan rakyat Aceh, namun diselesaikan dengan cara dialog. Presiden Soekarno memahami benar apa yang diinginkan rakyat Aceh dengan memberikan status istimewa (dalam bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat) bagi rakyat Aceh. Hal ini disambut hanyat seluruh rakyat Aceh waktu itu. Namun pemberian status ini tanpa dilanjuti dengan implementasi yang benar sehingga menjadi faktor utama penyebab pembrontakan rakyat Aceh sampai saat ini. Rakyat Aceh merasa dikecewakan.
Pemerintah soeharto malah menjawab kekecewaan itu dengan memperlakukan Operasi Militer. Sementara pemerintahan Habibie mencoba mengangkat kembali status istemewa tersebut lewat pendekatan Syari’at Islam. Konsep ini justru ditanggapi kegembiraan yang berlebihan oleh rakyat Aceh, sehingga banyak yang lupa bahwa Syari’at Islam yang ditawarkan itu belum ada konsep yang jelas dan tidak menyentuh akar persoalan di Aceh.
Sementara sebagian kelompok masyarakat lainnya merespon Syari’at Islam dengan menggelarkan razia terhadap perempuan yang tidak mengunakan jilbab. Razia ini malah mengarah kepada kekerasan terhadap perempuan yang tidak menutup kepalanya. Akibatnya Syari’at Islam yang dipahami saat itu adalah perempuan-perempuan harus menutup kepala dengan jilbab dan pengantian nama semua instansi dan perkantoran dengan bahasa arab. Dalam masa ini perempuan kerapkali menjadi korban ketidakadilan karena tidak mengenakan jilbab, misalnya digunting rambutnya, baju dan roknya, dilemparkan dengan tomat atau telur, dikejar pakai tongkat, disorakin beramai-ramai di pasar dan berbagai kekerasan lainnya.
Di bawah kepemimpinan Gus Dur, Syari’at Islam justru ditawarkan sebagai solusi penyelesaian masalah di Aceh. Kali ini didukung oleh legislatif lewat Draft Rancangan UU nangroe Aceh Darussalam (RUU NAD). Namun tampaknya Syari’at Islam ini tidak memberikan penyelesaian untuk kasus Aceh yang sudah sekian kompleksnya.
1.1.2. Kesalahan Tafsiran Agama dan Tradisi
Menurut Z. Djohar, Kompas 3 Desember 2005 bahwa kewajiban memakai jilbab merupakan salah satu penyebab kesalahan penafsiran agama dan tradisi. Ia mengatakan “penafsiran agama dan tradisi di Aceh dalam melahirkan qanum Syari’at Islam telah menempatkan perempuan pada ruang ketidakadilan”. Edriana (2005) mencatat bahwa komponen sentral penundukan perempuan Aceh adalah upaya mengubah perempuan menjadi panji-panji penerus tradisi. Hubungan gender dan Islam di Aceh telah menjadikan perempuan sebagai media penerapan Syari’at Islam.
Mereka dirazia agar disiplin berpakaian sesuai kepantasan yang menyimbolkan Islam sebagai identitas kolektif masyarakat Aceh. Tindakan ketidakadilan semacam ini, jika ditinjau dari sudut psikoanalis bahwa perempuan terpaksa mengenakan jilbab sebagai pilihan yang aman, kendatipun bertentangan dengan hati nurani mereka. Perempuan dijadikan obyek kontrol hegemoni maskulin.
1.1.3. Perempuan Sebagai Tameng
Timpangnya pemberlakuan Syari’at Islam adalah salah satu realitas mengerasnya praktek “politik identitas Islam”. Wacana ini bisa diterjemahkan sebagai usaha parsial kaum otiritas Islam sebagai tujuan mengklaim berlakunya Syari’at Islam di Aceh. Praktek ini tidak jauh berbeda dari pola-pola menciptakan simbol, seolah-olah kehadiran Syari’at Islam terkesan positif. Pada level hubungan kemanusiaan, seolah-olah kehadiran Syari’at Islam membawa kesejahteraan masyarakat dan bermartabat di Aceh. Bagi kaum otoritas Islam, kewajiban berjilbab merupakan simbol pentingnya menjalankan Syari’at Islam di Aceh. Pada hal mewajibkan berjilbab setiap perempuan adalah salah satu bentuk sikap diskriminatif merendahkan martabat perempuan itu sendiri. Konsep ini, jelas bertentangan dengan filsafat Levinas bahwa melihat wajah orang lain merupakan suatu panggilan untuk melakukan kebaikan dan keadilan kepada orang lain. Mereka tidak sadar bahwa sikap diskriminasi ini terjadi karena kesalahan tafsir terhadap sejarah produk hukum yang memihak pada wacana patriakal-androsentris. Diperparah lagi oleh anggapan bahwa tafsiran mereka atas Syari’at Islam tersebut mengandung kebenaran mutlak, kendatipun secara rasional tidak benar.
1.2. Aregumen Penolakan Kewajiban Berjilbab Ditinjau dari Emansipatoris Gender
Menggagas argumen penolakan kewajiban berjilbab; Pertama-tama kita harus memahami apa itu jilbab serta tradisi pengunaanya? Kedua, pelembagaan jilbab berdasarkan teks Alguran. Beberapa argumen yang menolak pemaksaan pengunaan jilbab, ditinjau dari emansipatoris Gender.
1.2.1. Apa itu jilbab serta tradisi pengunaannya?
Jilbab dalam arti menutup kepala perempuan hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, jilbab dikenal dengan beberapa istilah, chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di Mesir, Sudan, Yaman dll. Sebenarnya hijab atau jilbab berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan sejak abad ke-4 H.
Terlepas dari istilah diatas sebenarnya konsep jilbab bukanlah “milik” Islam. Dalam Kitab Taurat agama Yahudi sudah dikenal istilah jilbab seperti tif’eret. Sementara kitab Suci Nasrani juga mengenal juga istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat. Bahkan kata Eipstein yang dikutip Nasa-ruddin Umar dalam tulisannya yang pernah dimuat di Ulumul Quran, konsep jilbab sebagai penutup kepala sudah dikenal sebelum agama Yahudi dan Kristen. Menurut mereka ketentuan pengunaan jilbab tersebut sudah dikenal di Mesopotamia, Babilonia dan Asyria. (Lihat; Kompas, 25/11/2002). Oleh karena itu, jilbab bukanlah identitas iman Islam yang sebenarnya. Jilbab hanyalah pakaian biasa bagi perempuan negara-negara timur.
1.2.2. Pelembagaan Jilbab Menurut Tesk Alquran
Aksentuasi pengunaan jilbab sebenarnya lebih dekat pada etika dan setetika dari pada persoalan subtansial ajaran Islam. Pelembagaan jilbab didasarkan pada dua ayat Alquran yaitu; QS. Al-Ahzab/33: 59 dan QS.An-Nur/24:31.
Kedua ayat ini saling menegaskan tentang aturan berpakaian bagi perempuan Islam. Pada surat An-Nur, kata khumur merupakan bentuk plural dari khimar yang artinya kerudung. Sementara kata juyub adalah bentuk plural dari kata jaib yang artinya ash-shadru (dada). Jadi kalimat “hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dada-nya” ini merupakan reaksi tradisi pakaian perempuan Arab Jahiliyah. Di mana perempuan zaman jahiliyah: “Mereka mengenakan pakaian dengan telanjang dada tanpa ditutup sedikit selimutpun”. Oleh karena itu, perempuan diperintah untuk mengulurkan kerudung ke depan agar bisa menutup dada mereka.
Dengan demikian, pemakaian jilbab bukanlah kewajiban. Jilbab menurut saya lebih merupakan pewarisan budaya daripada keharusan ajaran agama. Hal ini sejalan dengan pendapat Harun Nasution dalam buku “ Islam Rasional, hal. 332” bahwa kewajiban berjilbab tidak ada kepastian, sebab tidak ada dalam Alquran dan hadits-hadits membicara hal ini secara benar. Apalagi didukungi oleh pendapat (Morteza Muthahhari, 1981) dikatakan bahwa “Islam mengambil sikap yang sama sehubungan dengan perempuan dan laki-laki”.
1.2.3. Argumen Yang Menolak Kewajiban Berjilbab Ditinjau dari Undang-Undang Penolakan Deskriminasi Terhadap Perempuan
Pemaksaan pemakaian jilbab merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pada hal, dalam Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskrimiasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination og All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) telah disahkan. Dengan tegas dikatakan bahwa Negara peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional agar menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan melindungi hak wanita. Maka jika mengikuti ketentuan CEDAW, Indonesia mestinya mengubah hukum nasional, sekaligus hukum Islam dan adat juga harus diubah. Namun kemauan mengubah hukum Islam di Indonesia belum diputuskan. Oleh karena itu, Komnas HAM mempunyai kewajiban menentang segala bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM.
1.3.4. Argumen Yang Menolak Kewajiban Berjilbab Ditinjau dari Perspektif Emansipasi Gender
Sebelum kita manggagas; mengapa kewajiban berjilbab ditolak? Pertama-tama kita membahas beberapa alasan mengapa kewajiban berjilbab ditolak. Kedua, bentuk-bentuk gerakan feminis yang memperjuangkan emansipasi perempuan dihadapan laki-laki.
Pemaksaan memakai jilbab merupakan bentuk stereotype terhadap perempuan. Stereotype adalah suatu bentuk pelabelan terhadap suatu kelompok atau suku bangsa tertentu yang selalu berkonotasi negatif. Namun pada umumnya “stereotype” tersebut selalu dikenakan kepada perempuan, sehingga menimbulkan kesan negatif yang merupakan keharusan disandang oleh perempuan. Dengan demikian, “stereotype” adalah salah satu bentuk ketidakadilan gender. Misalnya perempuan yang tidak berjilbab adalah sebab utama melahirkan nafsu bagi kaum laki-laki. Jika terjadi pemerkosaan, perempuanlah yang dipersalahkan.
Selain itu, kewajiban berjilbab juga termasuk salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Perempuan seolah-olah menempatkan perempuan pada subordinasi dan marginalisasi. Laki-laki dianggap pemegang supremasi bagi wanita. Tindakan semacam ini termasuk pelanggaran HAM, sebab ada paksaan mengenakan jilbab. Akibatnya memupuk suburnya inferioritas perempuan dengan sekian banyak ketidakberdayaannya. Dengan demikian, hal ini termasuk bertentangan dengan emansipatoris gender.
Salah satu aliran feminisme yang memperjuangkan emansipasi gender adalah aliran Feminisme Liberal. Aliran ini berpendapat bahwa setiap manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi. Kendatipun keduanya tetap ada perbedaan ontologi antara laki-laki dan perempuan, misalnya melahirkan bagi perempuan dll. Aliran ini mengupayakan perempuan diberi peran publik bagi perempuan serta memberikan kebebasan terhadap perempuan. Dengan demikian kewajiban berjilbab salah bentuk ketidakadilan karena menghilangkan nilai-nilai kebebasan bagi perempuan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban berjilbab disertai dengan pemaksaan merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan. Kewajiban berjilbab merupakan bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Pada hal tidak ada bukti akurat dalam Alquran yang menunjukan kewajiban berjilbab bagi perempuan Islam. Selain itu juga, jilbab bukanlan pakaian rohani yang mewajibkan perempuan untuk mengenakannya. Jilbab hanyalah pakaian biasa bagi perempuan-perempuan timur. Jilbab juga bukanlah identitas khas ajaran iman Islam, sebab jilbab sudah lama dikenakan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen sebelum Islam. Jilbab hanyalah warisan budaya timur, bukan sebagai subtansi dasar ajaran iman Islam.
Dengan demikian pemaksaan pemakaian jilbab di Aceh merupakan bentuk ketidakadilan bagi perempuan. Perempuan seolah-olah sasaran empuk berlakunya Syariat Islam di Aceh. Saya bukan fobia terhadap jilbab. Sepanjang pemakaian jilbab itu dikarenakan atas dasar kesadaran sebagai sebuah pilihan dan senagai ekspresi jati diri seorang perempuan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah saja. Tetapi jika berjilbab dijadikan suatu kewajiban dan disertai dengan kekerasan, menurut saya justru bertentangan dengan ajaran Islam, HAM dan emansipasi gender.
Daftar Pustaka
Ch, Mufidah, M.Ag., Paradigma Gender, Malang: Togas Mas, 2003
Jo Freeman, Woman A Feminist Perspective, California: Mayfield Publishing Company, 1984.
Munhanif, Ali (ed.), Perempuan dalam Literer Islam Klasik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Humm, Maggie, Feminist Criticism, Brighton, Sussex: The Harvester Press Limited, 1986.
Murniati, A, Nunuk Prasetyo, Gerakan Perempuan Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta: Kanisius, 1998
(Tinjauan Emansipatoris Gender)
Rofinus Jas, SVD
_____________________________________________________________________
Abstraksi
Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh, hingga saat ini masih menyimpan ketimpangan. Dari sekian banyak isu sosial, tema kekerasan perempuan sebenarnya relatif akut walaupun tidak muncul ke depan publik. Perempuan dijadikan obyek penerapan Syariat Islam. Harga diri perempuan, seolah-olah identik dengan jilbab. Bagi perempuan yang tidak berjilbab dianggap perempuan murahan. Perempuan benar-benar direndahkan. Akibatnya, perempuan kehilangan kebebasannya sebagai manusia yang bermartabat dan kesetaraannya dengan laki-laki. Seperti kasus di Blangpidie; puluhan ibu-ibu terjaring razia jilbab yang dilakukan dinas Syari’at Islam (Surat Kabar, Serambi, 4 Oktober 2005). Juga di Langsa, ketika perempuan tidak berjilbab dipotong rambutnya oleh tim operasi penegak Syari’at Islam (Surat Kabar, Serambi, 25 April 2005). Pertanyaannya; Apakah tujuan penerapan Syari’at Islam di Aceh itu dapat membangun masyarakat yang sejahtera dan bermartabat? Karena itu, marilah kita mencermati pemberlakuan Syari’at Islam yang hingga saat ini masih menyimpan ketimpangan-ketimpangan. Tulisan ini secara spesifik hendak mengkritisi atas kewajiban berjilbab bagi perempuan Aceh dalam konteks pemberlakuan Syari’at Islam; terutama ditinjau dari emansipatoris gender persamaan hak laki-laki dan perempuan.
Kata kunci : Syari’at Islam, ketimpangan, perempuan.
Seperti Agama-agama samawi lainnya, Islam mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan perdamaian. Namun kenyataannya, muncul diskriminasi merendahkan martabat perempuan. Contoh pemaksaan pemakaian jilbab (Seperti tulisan Zubaidah Djohar, KOMPAS, Sabtu 3 Desember 2005) di atas. Harian Serambi Indonesia, 5 Mei juga menurunkan berita dengan judul “Hentikan Kekerasan Dalam Razia Jilbab”. Di Aceh Timur tujuh wanita digunduli. Berita-berita tersebut menampilkan wajah Islam yang penuh dengan kekerasan. Lihat juga setelah satu tahun penanganan tsunami di Aceh, kondisi perempuan tidak membaik bahkan bertambah buruk. Pelecehan seksual bahkan pemerkosaan kerap kali terjadi, tetapi tidak pernah terungkapkan (Kompas, Sabtu 3 Desember 2005). Lalu dimanakah letak kebenaran Syari’at Islam yang menyejahterakan rakyat, sementara kaum perempuan masih termarjinalkan dalam segala aspek kehidupan?
Karena itu marilah kita mengupas masalah ini, mulai dari sumber ketimpangan yang mewajibkan perempuan Aceh berjilbab. Kedua beberapa argumen yang menentang pemaksaan pemakaian jilbab ditinjau dari emansipasi gender .
1.1. Sumber ketimpangan
Marjinalisasi merupakan bentuk ketidakadilan yang lahir dari akibat perbedaan gender. Sumber ketimpangan tersebut bisa bermacam-macam, diantaranya; kebijakan pemerintah, penafsiran agama dan tradisi yang salah serta perempuan sebagai tameng (Mansur Fagih, 1996).
1.1.1. 1.1.1. Kebijakan Pemerintah
Pada masa pemerintahan Soekarno, pembrontakan pernah terjadi dilakukan rakyat Aceh, namun diselesaikan dengan cara dialog. Presiden Soekarno memahami benar apa yang diinginkan rakyat Aceh dengan memberikan status istimewa (dalam bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat) bagi rakyat Aceh. Hal ini disambut hanyat seluruh rakyat Aceh waktu itu. Namun pemberian status ini tanpa dilanjuti dengan implementasi yang benar sehingga menjadi faktor utama penyebab pembrontakan rakyat Aceh sampai saat ini. Rakyat Aceh merasa dikecewakan.
Pemerintah soeharto malah menjawab kekecewaan itu dengan memperlakukan Operasi Militer. Sementara pemerintahan Habibie mencoba mengangkat kembali status istemewa tersebut lewat pendekatan Syari’at Islam. Konsep ini justru ditanggapi kegembiraan yang berlebihan oleh rakyat Aceh, sehingga banyak yang lupa bahwa Syari’at Islam yang ditawarkan itu belum ada konsep yang jelas dan tidak menyentuh akar persoalan di Aceh.
Sementara sebagian kelompok masyarakat lainnya merespon Syari’at Islam dengan menggelarkan razia terhadap perempuan yang tidak mengunakan jilbab. Razia ini malah mengarah kepada kekerasan terhadap perempuan yang tidak menutup kepalanya. Akibatnya Syari’at Islam yang dipahami saat itu adalah perempuan-perempuan harus menutup kepala dengan jilbab dan pengantian nama semua instansi dan perkantoran dengan bahasa arab. Dalam masa ini perempuan kerapkali menjadi korban ketidakadilan karena tidak mengenakan jilbab, misalnya digunting rambutnya, baju dan roknya, dilemparkan dengan tomat atau telur, dikejar pakai tongkat, disorakin beramai-ramai di pasar dan berbagai kekerasan lainnya.
Di bawah kepemimpinan Gus Dur, Syari’at Islam justru ditawarkan sebagai solusi penyelesaian masalah di Aceh. Kali ini didukung oleh legislatif lewat Draft Rancangan UU nangroe Aceh Darussalam (RUU NAD). Namun tampaknya Syari’at Islam ini tidak memberikan penyelesaian untuk kasus Aceh yang sudah sekian kompleksnya.
1.1.2. Kesalahan Tafsiran Agama dan Tradisi
Menurut Z. Djohar, Kompas 3 Desember 2005 bahwa kewajiban memakai jilbab merupakan salah satu penyebab kesalahan penafsiran agama dan tradisi. Ia mengatakan “penafsiran agama dan tradisi di Aceh dalam melahirkan qanum Syari’at Islam telah menempatkan perempuan pada ruang ketidakadilan”. Edriana (2005) mencatat bahwa komponen sentral penundukan perempuan Aceh adalah upaya mengubah perempuan menjadi panji-panji penerus tradisi. Hubungan gender dan Islam di Aceh telah menjadikan perempuan sebagai media penerapan Syari’at Islam.
Mereka dirazia agar disiplin berpakaian sesuai kepantasan yang menyimbolkan Islam sebagai identitas kolektif masyarakat Aceh. Tindakan ketidakadilan semacam ini, jika ditinjau dari sudut psikoanalis bahwa perempuan terpaksa mengenakan jilbab sebagai pilihan yang aman, kendatipun bertentangan dengan hati nurani mereka. Perempuan dijadikan obyek kontrol hegemoni maskulin.
1.1.3. Perempuan Sebagai Tameng
Timpangnya pemberlakuan Syari’at Islam adalah salah satu realitas mengerasnya praktek “politik identitas Islam”. Wacana ini bisa diterjemahkan sebagai usaha parsial kaum otiritas Islam sebagai tujuan mengklaim berlakunya Syari’at Islam di Aceh. Praktek ini tidak jauh berbeda dari pola-pola menciptakan simbol, seolah-olah kehadiran Syari’at Islam terkesan positif. Pada level hubungan kemanusiaan, seolah-olah kehadiran Syari’at Islam membawa kesejahteraan masyarakat dan bermartabat di Aceh. Bagi kaum otoritas Islam, kewajiban berjilbab merupakan simbol pentingnya menjalankan Syari’at Islam di Aceh. Pada hal mewajibkan berjilbab setiap perempuan adalah salah satu bentuk sikap diskriminatif merendahkan martabat perempuan itu sendiri. Konsep ini, jelas bertentangan dengan filsafat Levinas bahwa melihat wajah orang lain merupakan suatu panggilan untuk melakukan kebaikan dan keadilan kepada orang lain. Mereka tidak sadar bahwa sikap diskriminasi ini terjadi karena kesalahan tafsir terhadap sejarah produk hukum yang memihak pada wacana patriakal-androsentris. Diperparah lagi oleh anggapan bahwa tafsiran mereka atas Syari’at Islam tersebut mengandung kebenaran mutlak, kendatipun secara rasional tidak benar.
1.2. Aregumen Penolakan Kewajiban Berjilbab Ditinjau dari Emansipatoris Gender
Menggagas argumen penolakan kewajiban berjilbab; Pertama-tama kita harus memahami apa itu jilbab serta tradisi pengunaanya? Kedua, pelembagaan jilbab berdasarkan teks Alguran. Beberapa argumen yang menolak pemaksaan pengunaan jilbab, ditinjau dari emansipatoris Gender.
1.2.1. Apa itu jilbab serta tradisi pengunaannya?
Jilbab dalam arti menutup kepala perempuan hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, jilbab dikenal dengan beberapa istilah, chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di Mesir, Sudan, Yaman dll. Sebenarnya hijab atau jilbab berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan sejak abad ke-4 H.
Terlepas dari istilah diatas sebenarnya konsep jilbab bukanlah “milik” Islam. Dalam Kitab Taurat agama Yahudi sudah dikenal istilah jilbab seperti tif’eret. Sementara kitab Suci Nasrani juga mengenal juga istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat. Bahkan kata Eipstein yang dikutip Nasa-ruddin Umar dalam tulisannya yang pernah dimuat di Ulumul Quran, konsep jilbab sebagai penutup kepala sudah dikenal sebelum agama Yahudi dan Kristen. Menurut mereka ketentuan pengunaan jilbab tersebut sudah dikenal di Mesopotamia, Babilonia dan Asyria. (Lihat; Kompas, 25/11/2002). Oleh karena itu, jilbab bukanlah identitas iman Islam yang sebenarnya. Jilbab hanyalah pakaian biasa bagi perempuan negara-negara timur.
1.2.2. Pelembagaan Jilbab Menurut Tesk Alquran
Aksentuasi pengunaan jilbab sebenarnya lebih dekat pada etika dan setetika dari pada persoalan subtansial ajaran Islam. Pelembagaan jilbab didasarkan pada dua ayat Alquran yaitu; QS. Al-Ahzab/33: 59 dan QS.An-Nur/24:31.
Kedua ayat ini saling menegaskan tentang aturan berpakaian bagi perempuan Islam. Pada surat An-Nur, kata khumur merupakan bentuk plural dari khimar yang artinya kerudung. Sementara kata juyub adalah bentuk plural dari kata jaib yang artinya ash-shadru (dada). Jadi kalimat “hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dada-nya” ini merupakan reaksi tradisi pakaian perempuan Arab Jahiliyah. Di mana perempuan zaman jahiliyah: “Mereka mengenakan pakaian dengan telanjang dada tanpa ditutup sedikit selimutpun”. Oleh karena itu, perempuan diperintah untuk mengulurkan kerudung ke depan agar bisa menutup dada mereka.
Dengan demikian, pemakaian jilbab bukanlah kewajiban. Jilbab menurut saya lebih merupakan pewarisan budaya daripada keharusan ajaran agama. Hal ini sejalan dengan pendapat Harun Nasution dalam buku “ Islam Rasional, hal. 332” bahwa kewajiban berjilbab tidak ada kepastian, sebab tidak ada dalam Alquran dan hadits-hadits membicara hal ini secara benar. Apalagi didukungi oleh pendapat (Morteza Muthahhari, 1981) dikatakan bahwa “Islam mengambil sikap yang sama sehubungan dengan perempuan dan laki-laki”.
1.2.3. Argumen Yang Menolak Kewajiban Berjilbab Ditinjau dari Undang-Undang Penolakan Deskriminasi Terhadap Perempuan
Pemaksaan pemakaian jilbab merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pada hal, dalam Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskrimiasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination og All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) telah disahkan. Dengan tegas dikatakan bahwa Negara peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional agar menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan melindungi hak wanita. Maka jika mengikuti ketentuan CEDAW, Indonesia mestinya mengubah hukum nasional, sekaligus hukum Islam dan adat juga harus diubah. Namun kemauan mengubah hukum Islam di Indonesia belum diputuskan. Oleh karena itu, Komnas HAM mempunyai kewajiban menentang segala bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM.
1.3.4. Argumen Yang Menolak Kewajiban Berjilbab Ditinjau dari Perspektif Emansipasi Gender
Sebelum kita manggagas; mengapa kewajiban berjilbab ditolak? Pertama-tama kita membahas beberapa alasan mengapa kewajiban berjilbab ditolak. Kedua, bentuk-bentuk gerakan feminis yang memperjuangkan emansipasi perempuan dihadapan laki-laki.
Pemaksaan memakai jilbab merupakan bentuk stereotype terhadap perempuan. Stereotype adalah suatu bentuk pelabelan terhadap suatu kelompok atau suku bangsa tertentu yang selalu berkonotasi negatif. Namun pada umumnya “stereotype” tersebut selalu dikenakan kepada perempuan, sehingga menimbulkan kesan negatif yang merupakan keharusan disandang oleh perempuan. Dengan demikian, “stereotype” adalah salah satu bentuk ketidakadilan gender. Misalnya perempuan yang tidak berjilbab adalah sebab utama melahirkan nafsu bagi kaum laki-laki. Jika terjadi pemerkosaan, perempuanlah yang dipersalahkan.
Selain itu, kewajiban berjilbab juga termasuk salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Perempuan seolah-olah menempatkan perempuan pada subordinasi dan marginalisasi. Laki-laki dianggap pemegang supremasi bagi wanita. Tindakan semacam ini termasuk pelanggaran HAM, sebab ada paksaan mengenakan jilbab. Akibatnya memupuk suburnya inferioritas perempuan dengan sekian banyak ketidakberdayaannya. Dengan demikian, hal ini termasuk bertentangan dengan emansipatoris gender.
Salah satu aliran feminisme yang memperjuangkan emansipasi gender adalah aliran Feminisme Liberal. Aliran ini berpendapat bahwa setiap manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi. Kendatipun keduanya tetap ada perbedaan ontologi antara laki-laki dan perempuan, misalnya melahirkan bagi perempuan dll. Aliran ini mengupayakan perempuan diberi peran publik bagi perempuan serta memberikan kebebasan terhadap perempuan. Dengan demikian kewajiban berjilbab salah bentuk ketidakadilan karena menghilangkan nilai-nilai kebebasan bagi perempuan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban berjilbab disertai dengan pemaksaan merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan. Kewajiban berjilbab merupakan bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Pada hal tidak ada bukti akurat dalam Alquran yang menunjukan kewajiban berjilbab bagi perempuan Islam. Selain itu juga, jilbab bukanlan pakaian rohani yang mewajibkan perempuan untuk mengenakannya. Jilbab hanyalah pakaian biasa bagi perempuan-perempuan timur. Jilbab juga bukanlah identitas khas ajaran iman Islam, sebab jilbab sudah lama dikenakan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen sebelum Islam. Jilbab hanyalah warisan budaya timur, bukan sebagai subtansi dasar ajaran iman Islam.
Dengan demikian pemaksaan pemakaian jilbab di Aceh merupakan bentuk ketidakadilan bagi perempuan. Perempuan seolah-olah sasaran empuk berlakunya Syariat Islam di Aceh. Saya bukan fobia terhadap jilbab. Sepanjang pemakaian jilbab itu dikarenakan atas dasar kesadaran sebagai sebuah pilihan dan senagai ekspresi jati diri seorang perempuan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah saja. Tetapi jika berjilbab dijadikan suatu kewajiban dan disertai dengan kekerasan, menurut saya justru bertentangan dengan ajaran Islam, HAM dan emansipasi gender.
Daftar Pustaka
Ch, Mufidah, M.Ag., Paradigma Gender, Malang: Togas Mas, 2003
Jo Freeman, Woman A Feminist Perspective, California: Mayfield Publishing Company, 1984.
Munhanif, Ali (ed.), Perempuan dalam Literer Islam Klasik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Humm, Maggie, Feminist Criticism, Brighton, Sussex: The Harvester Press Limited, 1986.
Murniati, A, Nunuk Prasetyo, Gerakan Perempuan Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta: Kanisius, 1998
Keluarga 2
KELUARGA KRISTIANI KRISTEN SEJATI
(CINTA, KOMUNIKASI DAN PENGAMPUAN)
Rofinus Jas, SVD
Setiap pasangan suami istri atau pasutri tentu memiliki cita-cita untuk membangun keluarga yang ideal dan bahagia, baik secara lahir maupun batin. Meskipun begitu, banyak pasutri berpendapat bahwa membentuk keluarga ideal yang membahagiakan tidaklah semudah melangkahkan kaki. Gereja Katolik sendiri mengakui dan sangat prihatin dengan meningkatnya angka perceraian dan pernikahan kedua, perkawinan melalui sipil, perkawinan sakramental tanpa iman dan penolakan moral seksual Kristiani.
Gereja melihat bahwa keluarga zaman sekarang tampaknya sudah terancam oleh perubahan-perubahan tata nilai dan pola hidup dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Tuntutan ekonomi dan irama pekerjaan yang menekankan efisiensi dan efektivitas mengakibatkan orang harus bekerja bagaikan mesin. Prestasi kerja di luar rumah menjadi prioritas tertinggi, sehingga nilai kebersamaan dalam keluarga dan komunikasi mesra antar anggota keluarga mulai dilupakan dan kurang memperoleh perhatian. Pendek kata, nilai keutamaan terutama kesetiaan dalam hidup perkawinan dan keluarga, tanpa disadari semakin lama semakin memudar dan menghilang.
Pada zaman modern ini nilai kesetiaan dalam keluarga kiranya telah mendapat tantangan, tersaing oleh keutamaan-keutamaan modern yang trendy seperti efisiensi, hedonisme, budaya instant, hidup gengsi, dan sebagainya. Nilai kesetiaan tidak lagi menjadi tema penting dalam pembicaraan sehari-hari para pasutri. Kalau begitu, di manakah kunci untuk menciptakan keluarga yang ideal itu? Bagaimanakah Gereja harus bersikap dan menghadapi hilangnya nilai kesetiaan pada pasutri Kristiani dalam dunia modern ini?
III. Faktor Penyebab Runtuhnya Nilai Kesetiaan Pasutri
Perubahan-perubahan sosial dan kemajuan teknologi yang pesat, ternyata dapat membuahkan dampak pada menurunnya nilai kesetiaan sebuah perkawinan. Lalu di manakah letak kesalahannya? Orang Indonesia pada umumnya, seringkali meletakkan kesalahan pada pengaruh masuknya budaya Barat. Tetapi sesungguhnya hal ini tidak benar. Orang Barat tidak selamanya memperhatikan diri sendiri dan mengejar uang serta kenikmatan. Mereka sangat menghargai ‘pribadi manusia’, hak asasi manusia, perhitungan akal budi yang cermat serta hukum masyarakat. Secara sadar masyarakat Barat memang memilih hidup bebas, namun pilihan mereka bukanlah suatu paksaan nafsu. Terbukti bahwa banyak keluarga Barat yang bertekad setia, bahkan lebih mesra dan harmonis. Biar bagaimana pun, kita harus menyadari bahwa letak kesalahannya ialah terletak pada pola pikir yang masih tradisional, yang masih mementingkan hubungan perorangan, hubungan rasa dan kurang memahami hukum masyarakat secara nalar. Di bawah ini kami akan menampilkan beberapa bentuk sikap hidup yang kami rasa dapat menjadi penyebab runtuhnya nilai kesetiaan, yaitu:
3.1. Sikap Hidup Hedonisme
Sikap hedonisme atau sikap yang mengutamakan kenikmatan, biasanya akan menjadi pemicu bagi seseorang untuk tidak berkomitmen dalam kesetiaan. Ciri khas orang yang demikian biasanya sukar berkorban dan sukar untuk menahan diri untuk mengejar kenikmatan. Ia cepat sekali merasa terpacu untuk menikmati sesuatu. Ia mudah menjerumuskan diri dalam pola hidup yang tidak teratur dan berlebihan. Jajan seksual bagi orang hedonisme adalah sama dengan ke restoran. Ia melihat wanita atau pria sebagai obyek seksual untuk mencapai kenikmatan dan kepuasan. Moralnya jelas tidak berkembang. Bila tidak diimbangi dengan nilai-nilai moral yang baik, maka gaya hidup seorang hedonisme akan mengarah pada perilaku hidup berselingkuh, perzinahan bahkan poligami.
3.2. Perzinahan
Perzinahan adalah hubungan seksual antara dua orang yang berlainan jenis, paling kurang salah satu dari mereka telah menikah. Perilaku zinah ini jelas menunjukkan sikap ketidaksetiaan dalam hidup perkawinan. Lebih kerap alasan ketidaksetiaan ini, selalu diawali dengan sikap tidak pedulinya seorang pasutri yang menganggap pasangannya sebagai obyek seksual dan emosional. Perilaku perzinahan biasanya membawa kerugian bagi cinta, harmoni dan stabilitas dalam keluarga dari pasangan yang menikah. Cinta dari pasangan yang melakukan perzinahan lazimnya akan terbagi. Perzinahan juga telah melanggar sumpah setia perkawinan dan ikrar pada saat menerima sakramen perkawinan. Resiko terbesar dari perzinahan adalah bahwa anak-anak yang dihadiahkan bagi kehidupan tidak terawat dengan baik. Perzinahan dapat dihindari apabila suami dan istri mau menghayati sikap saling mencintai dan menghargai satu sama lain.
3.3. Poligami
Poligami adalah bentuk perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria yang memiliki lebih dari satu istri. Bagi Gereja Katolik poligami merupakan pelanggaran langsung prinsip monogami. Pada budaya tertentu dan juga ajaran agama Islam, poligami tidak dilarang. Para pelaku poligami sering kali mengaitkan tindakan itu dengan syariat Islam. Alasannya mengikuti sunah Rasulullah. Islam juga mengatur agar penyaluran syahwat bermanfaat secara sosial, terutama untuk mengayomi anak yatim dan janda. Ada juga orang berpandangan bahwa poligami lebih bermanfaat dibanding melakukan pelacuran. Biar bagaimana pun, poligami merupakan salah satu masalah seks dan bentuk perilaku ketidaksetiaan.
3.4. Pudarnya Kualitas Komunikasi
Sumber pemicu ketidaksetiaan yang lain ialah pudarnya komunikasi antara pasangan suami istri. Dalam kehidupan perkawinan, komunikasi merupakan suatu ketrampilan (skill) yang diperlukan untuk membangun dan memelihara hubungan yang sehat. Melalui komunikasi, suami istri bisa saling mengungkapkan atau mewujudkan cintanya, baik melalui kata-kata maupun melalui tindakan (verbal dan non-verbal). Dengan berkomunikasi, maka pasangan suami istri dapat saling mengekspresikan realita yang ada dalam dirinya masing-masing, sehingga mereka bisa saling mengetahui, mengerti, memahami, dan mencintai satu sama lain. Tentu saja hal tersebut dapat terjadi bila masing-masing pribadi mau saling terbuka dan jujur.
3.5. Sikap Puber Kedua yang Suka Berpetualang Cinta
Secara psikologis, istilah puber kedua hendak menunjukkan perilaku seseorang yang memasuki usia lanjut, yaitu usia berkisar 50-65 tahun. Pada zaman modern orang seperti ini masih dapat kita temui di tempat tertentu, di mall-mall, club malam, diskotik dan lain-lain. Biasanya orang yang mengalami situasi ini mungkin telah ditinggalkan oleh anak-anaknya, teman karibnya yang sudah meninggal, dan mungkin juga pasangannya karena perceraian. Orang seperti ini sudah menghadapi pensiun. Ia cenderung mulai menjadi genit atau “kenes”, suka bergaya dan memakai pakaian seperti anak muda. Tidak menutup kemungkinan, orang seperti ini suka berpetualangan dalam bidang seksual, entah sampai menjadi “oom senang” atau “tante girang”. Padahal setiap pertualangan yang mereka lakukan sesungguhnya dapat membawa dirinya lebih dalam pada kekecewaan.
IV. Peranan Gereja Membina Nilai Kesetiaan Pasutri
4.1. Nilai Kesetiaan Pasangan Suami Istri Kristiani
Bagi Gereja, pengungkapan nilai kesetiaan suami istri kristiani sangat nyata dalam dua sifat hakiki perkawinan, yakni perkawinan yang bersifat monogami (unitas) dan tak terceraiberaikan (indissolubile). Secara khusus bila sepasang suami istri dikatakan setia, maka dengan sendirinya mereka telah mewajibkan diri untuk memenuhi janji yang telah diucapkannya baik secara gamblang ataupun tersirat. Lalu apa yang dimaksud dengan kesetiaan dalam monogami dan tak terceraiberaikan itu?
Pengertian kesetiaan sehubungan dengan monogami sering dirumuskan secara negatif, yakni dengan istilah ‘tidak berzinah’. Perkawinan bersifat monogami berarti perkawinan itu terjadi antara satu pria dan satu wanita. Satu pria hanya boleh punya satu istri dan sebaliknya satu wanita hanya boleh memiliki satu suami. Sifat monogami ini didasarkan pada keutuhan dan ketakterbagian cinta Kristus kepada Gereja. Jika seorang suami mempunyai beberapa istri atau hidup poligami, maka cintanya tidak bisa diberikan secara total kepada istri-istrinya. Sedangkan, pengertian kesetiaan sehubungan dengan sifat tak terceraiberaikannya perkawinan juga sering dirumuskan secara negatif, yakni dengan istilah suami istri yang ‘tak boleh cerai’, atau bahkan ‘tak bisa cerai’. Artinya, kalau perkawinan sudah disahkan dan suami istri sudah bersetubuh (Ratum et Consumatum), maka suami istri itu tidak boleh cerai dan tidak boleh kawin lagi dengan pria atau wanita lain. Dengan demikian suami istri dituntut kesetiaan pada ikatan perkawinan seumur hidup.
Selain kedua sifat perkawinan di atas, Gereja juga mengingatkan pasutri kristiani untuk tetap setia, karena telah berpegang teguh pada keputusan irreversibel. Keputusan irreversibel merupakan janji keputusan untuk setia seumur hidup atau keputusan yang tak dapat ditarik lagi. Adapun prinsip Gereja untuk menekankan keputusan ini adalah pertama, Gereja memiliki prinsip bahwa keputusan irreversibel itu mungkin, meskipun sukar. Kedua, Gereja percaya bahwa kesetiaan dapat terus berlangsung, karena adanya kekuatan tuntutan Kristus dan ajaran Gereja-Nya. Ketiga, Gereja menyakini bahwa kesetiaan itu dapat terus bertumbuh asalkan didasari oleh iman kristiani, khususnya melalui sakramentalitas perkawinan yang mencerminkan dan mementaskan kesetiaan perjanjian Allah. Di sini jelas sekali bahwa untuk tetap setia, maka peranan rahmat Allah dan komunitas Gereja sangat dibutuhkan.
V. Reksa Pastoral
Pada zaman modern ini, Gereja merasa perlu mendampingi pasangan suami istri dan seluruh tahap perkembangannya. Mengapa? Karena zaman yang ditandai dengan banyak perubahan di segala bidang kehidupan, ternyata dapat membawa pengaruh positif maupun negatif pada kehidupan perkawinan. Oleh kerena itu, kaum muda atau calon pasutri yang telah berencana memilih hidup panggilan berkeluarga dan para pasutri yang telah menjalankan hidup berkeluarga perlu diberi pendampingan, yaitu dengan usaha:
5.1. Pendidikan Nilai Kesetiaan Sejak Kanak-Kanak.
Pembinaan dan pendidikan nilai-nilai keutamaan, seperti nilai kehormatan, kebenaran dan kesetiaan sesungguhnya sangat tepat jika dimulai sejak masa kanak-kanak. Pada masa ini, orang tua (pasutri) perlu menanamkan diri anak-anak mereka nilai-nilai manusiawi dan kristiani, baik dalam hubungan antarpribadi maupun hubungan sosial dengan orang lain. Misalnya saja, orang tua harus menunjukkan sikap kesetiaan kepada anak-anaknya, agar mereka pun dapat memahami arti kesetiaan. Anak-anak yang sejak semula mengalami dan mempunyai gambaran positif mengenai hidup berkeluarga sebagai panggilan hidup dari Allah, maka bila kelak membangun keluarga, mereka pun akan meniru dan melakukan apa yang dahulu mereka lihat dan dicontohkan oleh orang tuanya.
5.2. Pendidikan Nilai Kesetiaan Pada Pasutri.
Godaaan dapat mengakibatkan seseorang menempuh jalan pintas melawan keyakinannya sendiri. Oleh karena itu, Gereja perlu menyelenggarakan pendidikan kesetiaan yang benar bagi pasutri, yakni dengan cara membuka ruang konseling keluarga baik di paroki maupun pastoral keluarga center. Pasutri perlu diberi pengertian yang jelas tentang sejumlah masalah yang mempersulit kesetiaan, misalnya: sikap labilitas, sikap plin plan, kecenderungan menjadi lekas jenuh, dan kesulitan mengatur diri sendiri dalam menjalankan hidup perkawinan.
5.3. Meningkatkan Budaya Berkomunikasi.
Bila salah satu sumber ketegangan dan konflik antara suami istri terletak dalam kurangnya kuantitas dan kualitas komunikasi, bahkan tiadanya komunikasi, maka kiranya pasutri tersebut perlu diarahkan untuk mengembangkan budaya komunikasi. Salah satu contoh usaha ini ialah para pasutri dapat dianjurkan untuk ikut menjadi anggota Marriage Encounter, tulang rusuk, ikut kegiatan seminar-seminar keluarga, dan pelatihan komunikasi bagi keluarga.
5.4. Pendalaman dan Penghayatan Iman
Penghayatan iman yang benar, nampaknya salah satu faktor utama membina kesetiaan suami-isteri. Meskipun keberhasilan perkawinan, tidak selamanya ditentukan oleh faktor iman, melainkan lebih oleh faktor sifat-sifat kemanusiaan, misalnya watak suami istri dan situasi serta kondisinya. Namun faktor iman tidak boleh diabaikan. Gereja dalam hal ini perlu meningkatkan kekuatan iman bagi para pasutri kristiani untuk lebih menghayati makna doa dan sakramen perkawinan. Dalam hal ini Gereja perlu meningkatkan program retret keluarga dan retret pasutri, seperti: mengadakan retret tulang rusuk dan lain-lain.
5.5. Memberi Pemahaman yang Baru Tentang Kesetiaan
5.5.1. Kesetiaan itu adalah kehadiran.
Selama masa pacaran, setiap pasangan sejoli biasanya ingin selalu hadir dan dekat dengan orang yang dicintainya. Betapapun sibuknya, mereka selalu berusaha untuk memenuhinya. Tanpa disadari, ketika sudah berkeluarga, suami istri juga memiliki kecenderungan untuk mencari waktu agar bisa hadir, mendengarkan suka duka, ingin saling meneguhkan dan menyembuhkan pasangannya. Melihat kenyataan ini, Gereja perlu terus menghimbau para pasutri untuk meluangkan waktunya bagi pasangannya agar selalu bertemu dan berkumpul bersama. Tujuannya ialah agar para pasutri mau saling berbagi rasa, berkomunikasi, dan memupuk cinta yang mendalam.
5.5.2. Kesetiaan itu adalah sikap mau melakukan hal-hal yang sederhana dan terus
menerus.
Gereja juga perlu mendukung para pasutri untuk mengisi perkawinan mereka dengan mengambil sikap hidup yang mampu membangun nilai cinta dan kesetiaan. Sikap ini dapat dilakukan dalam bentuk perbuatan yang sederhana namun dapat memberi kesan yang mendalam bagi pasangannya, seperti: memberi perhatian istimewa, membawakan bunga, memberi kecupan, saling memberi pujian atau saling merangkul mesra yang selalu dilakukan terus menerus.
Keluarga kudus Nazaret Yesus, Maria dan St. Yosef, teladan keluarga kristiani sejati.
Maria Sosok Ibu Yang Ideal Bagi Keluarga Kristiani
Maria adalah sosok pribadi perempuan yang molek, gambar seorang ibu yang sempurna dan penuh pesona. Ketika Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel. Ia dengan tegar meskipun mungkin cemas dalam hatinya. Ketika Malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: “Salam hai engkau yang dikarunia Tuhan menyertai engkau”. Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya dalam hatinya, apakah arti salam itu? Kata Malaikat itu kepadanya, “jangan takut, hai Maria sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaknya engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Maha Tinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, Bapa leluhur-Nya dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” (Luk 1:26-33).
Figur Maria dalam teks di atas, menunjukkan sosok ibu atau perempuan yang rendah hati. Ia menyadari kodratnya sebagai perempuan yang siap mengandung dan melahirkan anak. Ia dengan sukarela menerima tawaran Allah lewat Malaikat Gabriel mengandung Putra Allah Yang Maha Tinggi untuk menyelamatkan umat manusia. Dan hal ini sudah diramalkan dalam Perjanjian Lama bahwa, “Sesungguhnya seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan ia akan menamakan Dia “Imanuel” (Yes 7:14).
Seorang ibu kristiani, tentu memiliki panggilan yang sama seperti Maria. Sebagai seorang ibu yang baik, tentu memiliki kerinduan melahirkan seorang anak. Anak adalah pemberian Allah yang harus disyukuri. Ibu yang baik, tentu dambaan setiap anak dalam keluarga kristiani. Anak pasti mendambakan seorang ibu yang penuh kasih sayang, penuh perhatian. Anak jelas mengharapkan ibu yang penuh cinta kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, setiap ibu kristiani mengemban misi untuk menjaga, mengungkapkan serta menyalurkan cinta-kasih. Cinta-kasih itu merupakan pantulan hidup serta partisipasi nyata dalam cinta-kasih Tuhan terhadap umat manusia, begitu pula cinta-kasih Kristus Tuhan terhadap Gereja Mempelai-Nya. Setiap tugas khusus keluarga menjadi ungkapan dan realisasi konkret perutusan yang mendasar itu. Maka kita wajib menggali kekayaan istimewa misi keluarga serta mendalami isinya, yang beraneka- ragam dan sekaligus terpadu.
St. Yosef Teladan Bagi Suami Kristiani
St. Yosef adalah suami yang baik hati. Ia penuh penuh perhatian. Ia seorang bapa keluarga yang penuh tanggung-jawab. Ketika Kaiser Agustus mengeluarkan suatu perintah menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia. Yusuf sebagai calon suami yang baik hati. Ia pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea dengan Maria yang sedang mengandung (Bdk. Luk 2:1-7).
Barangkali para suami keluarga kristiani belajar dari teladan St. Yusuf. Tanggung-jawab adalah panggilan suami untuk menjaga keluarga, isteri dan anak. Setiap isteri dan anak kristiani pasti mendambakan suami yang setia mendampingi keluarga. Suami mestinya memiliki kesadaran bahwa menjadi suami adalah sebuah panggilan yang harus disyukuri. Sebagai suami yang baik, pasti membawa kebahagiaan bagi keluarga. St. Yosef, meskipun ia rasa capek tetapi ia tetap tekun mencari beberapa tempat tumpangan untuk calon bayinya yang akan dilahirkan Maria. Sekalipun ditolak oleh semua orang. Yusuf tetap tidak mengeluh, tidak menggerutu, marah dan lain-lain. Ia seorang suami yang tidak pernah putus asa. Karena itu, sebagai suami kristiani yang baik, meskipun banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, tetapi tidak berarti harus lupa keluarga. Seorang suami tetap memperhatikan kebutuhan keluarga, kebutuhan isteri dan anak.
Yesus Teladan Bagi Anak-anak Kristiani
Yesus memberi contoh konkret mengenai apa artinya ”menghormati orangtua”. Dalam usia-Nya yang pendek kurang lebih 33 tahun, tak kurang dari 30 tahun Ia lalui di Nazaret. Ia mengabdi keluarga-Nya di desa Nazaret. Selama 30 tahun, Ia bersama keluarga-Nya, orang-tua dan sanak saudara-Nya. Seluruh hidup-Nya, Ia manfaatkan untuk ”urusan keluarga”. Namun bukan berarti Ia lupa untuk ”urusan pelayanan”. Ia membuktikan, betapa pelayanan-Nya tak sedikit pun berkurang nilai, makna dan dampaknya, hanya karena ”kuantitas”.
Teladan Yesus yang harus dicermati bagi kita adalah soal tanggung-jawab. Di dalam kelurga termasuk anak yang taat kepada orangtua. Ia sangat peduli terhadap keluarga-Nya di Nazaret. Ia membantu orangtua-Nya sebagai tukang kayu. Sebagai anak yang baik pasti selalu menuruti nasehat orangtua-Nya. Ia pasti juga sangat menyanyangi orangtua-Nya. Oleh karena itu, sebagai anak kristiani yang baik, kita dipanggil untuk mentaati orangtua. Membuat sesuatu untuk menyenangkan orangtua, jujur dan setia kepada keluarga. Anak membawa rahmat bagi keluarga, apabila seorang anak meraih sesuatu yang diharapkan keluarga. Inilah panggilan mulia seorang anak, jika seperti Yesus yang selalu menyenangkan hati orangtua-Nya.
Karena itu, ada tiga point penting usaha pembaharuan dalam keluarga, diantaranya; pembaharuan dalam bidang spiritual, emosional dan intelektual. Tiga model pembaharuan dalam keluarga inilah yang akan dibahas dalam artikel ini.
Pembaharuan Spiritual Dalam Keluarga
Pembaharuan spiritual dalam keluarga sangat menentukan keberhasilan dalam menjalankan kehidupan berkeluarga. Kebiasaan doa bersama dalam keluarga, ternyata sangat membantu kesuksesan dalam keluarga dan kelangsungan hidup rumah tangga. Banyak pengalaman kehidupan keluarga, membuktikan bahwa banyak keluarga kristiani mengalami kegagalan karena kurang memperhatikan kehidupan iman dalam keluarga. Banyak keluarga tidak mampu mengatasi persoalan dalam kehidupan berkeluarga karena kehidupan iman kurang diperhatikan. Banyak keluarga bercerai karena tidak melibatkan Allah dalam keluarganya. Banyak anak-anak dari keluarga kristiani hidupnya amburadul, karena di dalam keluarganya tidak pernah dibina imannya oleh orangtuanya. Banyak anak-anak muda Katolik jatuh di dunia narkoba, sex bebas, kurang peduli hidup menggerja karena orangtuanya tidak pernah mengajar dan mendidik anaknya dalam iman.
Contoh keluarga Pak Yanto dari Pontianak. Dalam sharing pengalamannya dengan saya ketika praktek pastoral di Kalimantan Barat. Ia hendak bercerai dengan isterinya. Ia tidak betah lagi hidup bersama dengan isterinya, karena sering berbeda pendapat. Anak-anaknya gagal dalam pendidikan bahkan karena pergaulan bebas, kedua anaknya kencanduan narkoba. Anak pertama perempuan berumur 21 tahun, selain kecanduan narkoba, ia juga hamil di luar nikah dan suaminya tidak mau bertanggungjawab. Anak kedua yang laki juga mengalami nasib yang sama. Selain ia kecanduan narkoba, ia juga seringkali menghamil anak orang dan tidak mau bertanggungjawab. Meskipun Pak Yanto sekeluarga termasuk pengusaha sawit yang sukses tiga tahun lalu, sekarang mengalami kebangkrutan karena habis membiayai pengobatan kedua anaknya. Bahkan rumah untuk tempat tinggal untuk keluarga pun sudah disita pihak bank karena tidak mampu melunasi peminjaman.
Pak Yanto mengalami kesulitan besar dalam kelurganya. Ia tidak bisa mengatasi persoalan keluarganya. Akhir pada suatu ketika ia menghadap Pastor paroki untuk minta nasehat mengenai persoalan dalam keluarganya. Pastor paroki menyarankan kepada keluarga pak Yanto, agar setiap malam mereka sekeluarga melakukan novena kepada Bunda Maria selama sembilan hari. Selain melakuan novena, Pastor Paroki juga meminta agar keluarga pak Yanto melakukan doa bersama keluarga; isteri dan anak-anak sebelum tidur malam. Doa bersama sebelum tidur malam dalam keluarga wajib dilaksanakan sepanjang hidup mereka.
Lalu apa yang terjadi? Kurang lebih sebulan kemudian keluarga pak Yanto mengalami perubahan yang luar biasa. Anak-anaknya pelan-pelan mengalami kesembuhan dari kecanduan narkoba. Isterinya yang hendak bercerai dengan dirinya, pelan-pelan berubah sikap bahkan mulai memperhatikan keluarga. Usaha mereka yang sudah bangkrut mulai bangkit kembali. Hutang peminjaman di bank sedikit demi sedikit dilunasi. Sampai satu tahun kemudian, keluarga pak Yanto berjalan normal kembali. Anak-anaknya sembuh total dari kecanduan narkoba. Semua hutang peminjaman di bank sudah dilunasi. Isterinya tidak berniat bercerai lagi.
Pengalaman inilah yang membawa pak Yanto sekeluarga percaya sungguh-sungguh atas keterlibatan Allah dalam membantu kesulitan keluarganya. Pak Yanto sekeluarga mulai aktif kehidupan menggereja; rajin ikut misa hari minggu bersama isteri dan anak-anaknya. Apa saja kegiatan rohani dalam lingkungan selalu diikutinya, bahkan sampai ia menjadi anggota dewan paroki. Ia mulai terlibat aktif urusan paroki, bahkan sekarang menjadi donatur utama dalam pembangunan paroki.
Kebiasaan doa bersama dalam keluarga, menunjukkan betapa peting dalam keluarga. Sebagai Penghayatan iman yang benar dalam keluarga, nampaknya salah satu faktor utama membina kesetiaan suami-isteri. Meskipun keberhasilan perkawinan, tidak selamanya ditentukan oleh faktor iman, melainkan lebih oleh faktor sifat-sifat kemanusiaan, misalnya watak suami istri dan situasi serta kondisinya. Namun faktor iman tidak boleh diabaikan. Gereja dalam hal ini perlu meningkatkan kekuatan iman bagi para pasutri kristiani untuk lebih menghayati makna doa dan sakramen perkawinan. Dalam hal ini Gereja perlu meningkatkan program retret keluarga dan retret pasutri, seperti: mengadakan retret tulang rusuk dan lain-lain
Pembaharuan Emosional Dalam Keluarga
Salah satu point penting pembaharuan dalam kehidupan berkeluarga adalah soal menata kembali kecerdasan emosional suami-isteri. Kecerdasan emosional suami-isteri sangat menentukan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga. Kecerdasan emosional suami-isteri tentu berkaitan dengan faktor psikis yang perlu dikembangkan dalam diri suami-isteri. Faktor psikis yang perlu dikembangkan dalam praktek hidup bersama dalam keluarga misalnya, faktor psikis suami-isteri yang lemah lembut, penuh perhatian, tidak mudah marah, saling pengertian, rendah hati, suka melayani, saling menghargai, dan lain-lain. Jika faktor psikis tersebut di atas, dikelola dengan baik dalam diri suami-isteri, maka kehidupan keluarga tersebut pasti harmonis, aman dan damai. Inilah yang disebut penulis sebagai kercerdasan emosional dalam kehidupan berkeluarga.
Oleh karena itu, kecerdasan emosional suami-isteri perlu diperbaharui terus menerus dalam kehidupan berkeluarga menuju ke arah yang baik. Suami-isteri yang memiliki kecerdasan emosional yang mantap, akan membantu suami-isteri untuk tetap setia dalam kehidupan berkelurga, tidak mudah marah, tahan bating, tidak mudah putus asa, percaya diri, memiliki keberanian, tidak mudah tergoda untuk selingkuh, konsisten pada visi misi keluarga dan lain-lain. Maka dengan mengenal gerakan emosional suami-isteri dengan baik, memudahkan kehidupan berumah tangga untuk menjaga diri serta selalu waspada dalam kehidupan berkeluarga.
Suami-isteri mestinya belajar kecerdasan emosional yang dilakukan keluarga Kudus Nasaret: Yosef, Maria dan Yesus. St. Yosef dan Maria adalah figur orangtua yang memiliki kecerdasan emosional yang sangat tinggi. Kesuksesan keluarga Kudus Nazaret terletak pada kesanggupan mereka dekat dengan Tuhan dan menuruti segala perintah-Nya serta saling mengasihi dalam kehidupan bersama. Itulah kesuksesan yang terjadi dalam Keluarga Kudus Nasaret: Yosef, Maria dan Yesus, sehingga Yesus "makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Tuhan dan manusia".
Pembaharuan Intelektual Dalam Keluarga
Kecerdasan intelektual suami-isteri, juga sangat membantu untuk melakukan pembaharuan dalam kehidupan berkeluarga. Dalam menyelesaikan segala persoalan kehidupan keluarga, tidak cukup hanya sekedar kecerdasan spiritual dan emosional semata. Jika ada masalah dalam keluarga, tidak hanya mengandalkan doa kepada Tuhan atau mengandalkan perasaan psikologis semata dalam menyelesaikan segala persoalan dalam kehidupan rumah tangga. Maka kecerdasan intelektual sangat dibutuhkan membantu menyelesaikan masalah dalam keluarga secara kritis, logis untuk menemukan solusinya. Karena itu, kecerdasan intelektual suami-isteri memiliki peranan penting untuk menyelesaikan masalah keluarga.
Kesimpulan
Pembaharuan dalam keluarga yang dibutuhkan zaman sekarang adalah mencakupi pembaharuan spiritual, emosional dan intelektual. Tiga model pembaharuan dalam keluarga tersebut, sangat membantu keluarga menjadi keluarga harmonis, aman dan sejahtera. Maka kami berharap kepada para suami-isteri, yang telah berjanji dihadapan Tuhan dan sesamanya untuk saling mengasihi, baik dalam untung dan malang sampai mati serta mendidik anak-anak yang dianugerahkan kepada mereka dengan baik. Kesuksesan suami-isteri untuk saling mengasihi dan mendidik anak-anaknya dengan baik, akan menjadi warta gembira dan kekuatan untuk membangun dan memperdalam hidup bersama: hidup menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semoga Keluarga Kudus Nasaret; Yesus, Maria dan St. Yosef menjadi teladan bagi kehidupan berkeluarga zaman modern dewasa ini. Marilah kita percaya bahwa kita dapat setia menghayati panggilan dan janji sampai mati, meskipun untuk itu kita tidak akan terlepas dari tantangan dan hambatan.
Leadership
MY LEADERSHIP
Rofinus Jas
I. Pengantar
Kepemimpinan adalah seni mengendalikan diri sendiri dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan, baik tujuan untuk diri sendiri maupun organisasi. Maka model kepemimpinanku adalah rendah hati. Mengapa? Karena sikap rendah hati merupakan salah satu keutamaan utama seorang pemimpin yang bijaksana dan arif. Sebab ciri khas sifat kepemimpinan yang rendah hati adalah, tidak sombong, ugahari serta mengenal kekurangan dan kelebihan dirinya. Jadi seorang pemimpin yang tidak bisa menunjukkan sikap atau karakter rendah hati, berarti ia belum mencapai kedamaian dengan dirinya sendiri atau ia menjadi seorang pemimpin yang sombong. Dengan demikian, seorang pemimpin yang rendah hati adalah seorang pemimpin yang mengenal dirinya sendiri secara baik dan benar, baik kelemahan maupun kelebihannya dan siap untuk melayani sesama. Oleh karena itu, dalam menggagas artikel model kepimpinan yang rendah hati ini, penulis mengajukan beberapa point-point penting yang berhubungan dengan model kepemimpinan yang rendah hati.
.
II. Uraian
2.1. Mengenal Diri Sendiri
Mengenal diri secara baik dan benar merupakan modal utama untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Sebab dengan mengetahui kelemahan dan kelebihan diri sendiri dengan baik, memudahkan seorang pemimpin bekerjasama dengan orang lain. Seorang pemimpin yang rendah hati biasanya memohon bantuan orang lain untuk melengkapi kekurangannya. Maka langkah pertama yang harus dikerjakan seorang pemimpin adalah meneliti diri sendiri secara baik dan benar menurut kategori kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya.
Kekuatan kepemimpinan yang rendah hati adalah:
Pertama, kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual merupakan kekuatan utama menjadi seorang pemimpin yang rendah hati. Seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual, biasanya dalam proses kepemimpinannya, ia selalu mengandalkan Tuhan yang pertama dan utama dalam kepemimpinannya. Ia menyertakan Tuhan dalam menentukan keputusan bukan semata mengandalkan dirinya sendiri. Seorang pemimpinan yang rendah hati, pasti selalu kontak dengan Tuhan dalam mengambil keputusannya. Maka keberhasilan dan kegagalan dalam kepemimpinannya, semua diserahkan sepenuhnya kepada penyelenggaraan Tuhan. Oleh karena itu seorang pemimpinan yang rendah hati, biasanya aktif dalam kegiatan rohani untuk menimba kekuatan spiritual. Kegiatan rohani tersebut diantaranya adalah, doa, meditasi, perayaan ekaristi, bacaan rohani, rekoleksi, retret, kamping rohani dan lain-lain. Semua kegiatan rohani tersebut, akan membangun kecerdasan spiritual bagi seorang pemimpin.
Kedua, kecerdasan intelektual. Kecerdasan intelektual juga merupakan faktor kekuatan kedua menjadi seorang pemimpin yang baik dan bijaksana. Kecerdasan intelektual tentu mencakupi bidang akademis yang memadai untuk menunjang proses kepemimpinan. Kemampuan dalam bidang filsafat dan teologi merupakan salah satu modal utama menjadi seorang pemimpin religius. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang rendah hati terus belajar mendalami bidang filsafat dan teologi secara sungguh-sungguh. Selain itu segala bakat dan kemampuan yang dimilikinya dikembangkan secara maksimal, misalnya bakat berkotbah, menulis, musik, olahraga, menyanyi dan lain-lain. Semua potensi yang dimilikinya dikembangkan terus menerus sehingga menjadi sumber kecerdasan dalam kepemimpinannya.
Ketiga, kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional tentu berhubungan dengan kemampuan psikologis yang dimiliki seorang pemimpin yang rendah hati. Kecerdasan emosional berkaitan faktor psikis yang perlu dihindari dan dikembangkan sebagai seorang pemimpin. Maka seorang pemimpin yang rendah hati, pasti tidak mudah marah, tahan bating, tidak mudah putus asa, percaya diri, memiliki keberanian, tidak mudah tergoda dengan lawan jenis, konsisten pada visi misi dan lain-lain. Maka dengan mengenal gerakan emosional dengan baik, memudahkan seorang pemimpin untuk menjaga diri serta selalu waspada dalam kepemimpinannya.
Ketiga kecerdasan di atas, saya mencoba mempraktekannya ketika saya praktek pastoral di Paroki Teraju, Keuskupan Sanggau, Kalimantan Barat. Kebetulan pada waktu itu, empat bulan pertama saya bekerja sendiri, karena pastor paroki sakit dan opname di RKZ Surabaya. Saya bekerja sendiri tanpa ada sekertaris paroki, koster, tukang masak dan lain-lain. Hal ini bisa dimengerti karena paroki Teraju adalah paroki yang sangat miskin. Oleh karena itu, saya berusaha dengan rendah hati untuk belajar bersama umat di sana. Dalam bidang kerohanian, selain berusaha menimba nilai-nilai rohani lewat doa pribadi, saya juga dengan rendah hati belajar dari umat yang setia ikut doa di gereja atau lingkungan yang saya layani. Dalam bidang intelektual, selain belajar dari buku-buku, saya juga belajar dari umat yang lebih tahu tentang hidup paroki, misalnya ketua dewan paroki, ketua umat, mudika, misdinar dan lain-lain. Dalam bidang emosional, saya berusaha mengolah relasi dengan lawan jenis dengan baik dan benar karena saya sadar bahwa hal itu menjadi kelemahan saya.
2.2. Ciri-ciri Kepemimpinan Yang Rendah Hati.
Dari uraian di atas, nampak ada beberapa bentuk ciri-ciri sikap kepemimpinan yang rendah hati. Pertama, mau mendengar pendapat, saran dan menerima kritik dari orang lain. Contoh ketika saya parktek pastoral, saya pernah ditegur oleh seorang anak perempuan misdinar SD kelas VI, karena saya terlambat 5 menit menghadiri pertemuan misdinar waktu itu. Dia mengatakan kalau frater terlambat lagi, lain kali kami tidak mau hadir lagi ikut pertemuan misdinar. Setelah ditegur anak tersebut saya menjadi disiplin. Kedua, berani mengakui kesalahan diri sendiri dan berusaha memperbaikinya. Ketiga, rela memaafkan kesalahan orang lain. Memaafkan kesalahan merupakan ciri khas seseorang yang rendah hati. Orang yang rendah hati adalah orang yang sangat peduli dengan perasaan orang lain jika melakukan kesalahan. Bahkan dalam setiap agama dikatakan bahwa setiap orang harus mau mengampuni kesalahan orang lain, karena Tuhan juga mau mengampuni dosa-dosa kita. Keempat, lemah lembut dan pengendalian diri. Orang yang rendah hati adalah orang tidak pernah membiarkan emosinya tidak terkendali dan lepas kontrol. Kemarahan atau kekecewaan yang dirasakan senantiasa dapat dikendalikan sepenuhnya, dalam arti bukan diluapkan atau dilupakan, diacuhkan atau ditahan tetapi dilepaskan dengan pasrah.
2.3. Tipe Kemimpinan Yang Rendah Hati
Setelah point mengenal diri dengan baik dalam kepemimpinan, maka point berikutnya adalah bagaimana merealisasikan hal tersebut dalam kepemimpinan untuk melayani orang lain. Hal ini tentu berkaitan dengan karya pelayanan ke luar, entah sebuah organisasi maupun pribadi orang lain.
2.3.1. Melayani
Sikap kepemimpinan yang rendah hati, pasti memiliki karakter melayani. Sifat mau melayani dimulai dari dalam diri sendiri. Mau melayani menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Hal tersebut dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk melayani orang lain. Sifat mau melayani berarti memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang dilayani. Kasih itu mewujud dalam bentuk kepedulian akan kebutuhan, kepentingan, impian dan harapan orang lain yang membutuhkan pelayanan kita. Jadi tipe seorang pemimpin yang rendah hati pasti tujuan utama kepemimpinannya adalah melayani kepentingan mereka yang dipimpinnya. Orientasinya adalah bukan untuk kepentingan diri pribadi maupun golongannya tetapi justru kepentingan publik yang dipimpinnya. Seorang yang rendah hati justru senantiasa mengutamakan kepentingan dan nilai yang lebih besar dibandingkan kepentingan pribadi ataupun golongannya.
2.3.2. Integritas
Seorang pemimpinan yang rendah hati, adalah seorang pemimpin yang rela berkorban, menciptakan kepercayaan dan penghormatan kepada orang yang dipimpinnya. Contoh konkret misalnya, ketika saya menjadi ketua komunitas Seminari Tinggi SVD thn 2005/2006. Saya berusaha membangun kepercayaan kepada setiap seksi atau komisi dalam menjalankan kegiatan komunitas. Saya percaya penuh kepada mereka. Saya tidak terlalu mencampuri urusan setiap seksi atau komisi. Saya hanya berusaha mengontrol dan sekaligus membangkitkan semangat mereka dalam setiap program kerja yang mereka buat.
Integritas berarti orang yang menyerahkan seluruh hidupnya demi karya pelayanan. Orang yang integritas pasti selalu menepati janji. Melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang katakannya, tidak menipu atau membohong, jujur mengatakan apa adanya. Integritas membuat kita dipercaya oleh orang lain. Integritas membuat orang lain mengandalkan kita. Orang yang memiliki sikap integritas, pasti banyak orang yakin sepenuhnya kepada kita karena mereka yakin bahwa kita akan membawa mereka menuju ke tujuan yang kita janjikan, sesuai visi dan misi yang hendak dicapai. Contoh figur yang penuh rendah hati dan penuh integritas dalam kemimpinannya adalah Ibu Theresa dari Kalkuta atau mungkin Paus Yohanes Paulus II.
2.3.3. Transformasi
Kepemimpinan yang rendah hati pada akhirnya mengarah kepada tujuan supaya orang yang dipimpinnya menjadi berkembang. Transformasi berarti apa yang kita miliki, keteladanan, loyalitas, rela berkorban, penuh empati, tanggung-jawab tersebut mempengaruhi orang yang dipimpinnya melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukannya. Dengan demikian, transformasi berarti merujuk pada pembangunan SDM kepada anggota tim yang dipimpinnya. Dengan demikian, sikap transformasi berarti seorang pemimpin yang mampu menggerakkan orang lain untuk melangkah maju. Orang yang rendah hati mampu mengajak orang lain keluar dari zona kenyamanan dan bergerak menuju tujuan mereka yang dipimpinya. Orang yang rendah hati mampu membangkitkan gairah, antusiasme kepada orang yang dipimpinnya. Jadi kepemimpinan rendah hati adalah seorang pemimpin yang mampu melakukan perubahan demi kebaikan yang lebih besar kepada orang yang dipimpinnya. Maka jika pemimpin menghendaki adanya kebutuhan akan perubahan, maka ia mengkomunikasikannya kepada orang yang dipimpinnya dan memberikan kepada mereka bahwa jika anda tidak berubah, anda tak akan berkembang.
2.3.4. Membangun Paradigma baru
Seorang pemimpin yang rendah hati adalah orang yang mampu mengubah paradigma baru atau cara berpikir baru kepada orang yang dipimpinnya. Contoh konkret yang saya alami ketika praktek pastoral. Hampir semua stasi di Paroki Teraju, Keuskupan Sanggau tidak biasa mengumpulkan kolekte setiap ibadat hari minggu atau doa-doa lingkungan lainnya. Mereka tidak mengerti apa tujuan dan makna teologis dari pemberian uang kolekte tersebut. Bahka ada yang mengatakan untuk apa kami memberikan uang kolekte, toh uang tersebut hanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan pastor. Akibatnya, mereka tidak biasa memberikan uang kolekte. Selain itu mereka juga memiliki cara berpikir pastorsentris. Semua kegiatan rohani adalah hak pastor, umat tidak memiliki hak apa-apa. Akibatnya banyak stasi yang tidak pernah ibadat hari minggu. Mereka hanya ibadat atau misa kalau ada pastor paroki atau frater yang turne.
Kami berusaha dengan pelan-pelan mengubah cara pandang mereka dengan sikap rendah hati. Sebab mereka pada umumnya tidak suka diperintah dengan cara yang tidak sesuai dengan budaya mereka. Ternyata dengan sikap rendah hati, akhirnya merubah cara pandang mereka bahwa kegiatan rohani juga adalah tanggung-jawab mereka bukan tugas pastor semata.
2.3.5. Pemimpin Yang Memiliki Visi dan Misi
Seorang pemimpin yang rendah hati adalah seorang pemimpin yang hidupnya selalu mengejar visi dan misi tujuan yang hendak dicapai. Ia tetap berkomitmen pada visi-misi tersebut sampai visi-misinya terpenuhi. Ia tidak tergoyah oleh berbagai macam tawaran yang mempengaruhi dirinya mengubah visi misinya. Ia terus mengejar apa yang hendak dicapainya, meskipun banyak tantangan yang dihadapinya, namun ia tetap setia pada komitmen visi dan misinya. Ia berani mengambil resiko apa pun, asalkan itu membawa manfaat bagi kehidupanya dan bawahannya. Visi dan misi seorang pemimpin rendah hati pasti memiliki keterarahan pada kebahagiaan hidup. Kebahagiaan hidup tidak hanya keutungan materi yang ia dapat tetapi makna hidup. Makna hidup yang paling penting bagi seorang yang rendah hati adalah kebahagiaan kekal.
2.3.6. Pemimpin Yang Mendengarkan Hati Nurani
Seorang pemimpin yang rendah hati adalah seorang pemimpin yang selalu mengunakan cahaya batin dalam kepemimpinannya. Orang memiliki cahaya batin dalam kepimpinan, tentu ia menekankan kejujuran dan mengutamakan keadilan. Ia tahu benar mana yang benar dan salah dalam mengambil keputusan dalam kepemimpinannya. Ia berani berkorban mengalahkan egonya sendiri dan mengutamakan prinsip yang lebih tinggi.
Hati nurani menjadi patokan dalam mengambil keputusan. Ia pasti berupaya menumbuhkembangkan pikiran terbuka, selalu ingin tahu dan membersihkan diri dari prasangka; menunjukkan rasa hormat dan cinta mendalam terhadap sesama dan selalu mengutamakan kebaikan yang lebih besar. Ia pasti dikenal baik hati oleh bawahanya. Baik hati dalam arti bahwa dia selalu menunjukkan rasa hormat terhadap bawahannya, memiliki jiwa sosial dan suka membantu orang lain.
III. Kesimpulan
Pemimpin yang rendah hati adalah seorang pemimpin menggambarkan ketinggian budi dan mutu hidupnya. Semakin bermutu hidupnya, semakin ia rendah hati. Benar-benar ibarat padi, semakin berisi semakin merunduk.
Bagian yang paling penting yang harus disentuh oleh seorang pemimpin adalah hati. Seorang pemimpin yang baik dan rendah hati, biasanya selalu berusaha menyentuh hati bawahannya. Orientasi kepemimpinan rendah hati adalah melayani kepentingan orang lain yang dipimpinnya. Ia juga selalu membangun SDM orang-orang dipimpinnya, penuh integritas, memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang dipimpinnya, bersifat transformasi, mampu mengubah paradigma baru orang yang dipimpinya dan akhir memiliki visi dan misi yang memiliki keterarahan pada kebahagiaan sejati. Wujudnya adalah kepedulian akan kebutuhan, kepentingan, impian dan harapan organisasi atau pribadi yang dipimpinnya.
Dengan demikian, seorang pemimpin yang rendah hati adalah seorang pemimpin yang mengenal dan memahami diri dengan baik. Ia tahu kelemahan diri dan mengakui keunggulan orang lain. Inilah yang disebutkan dengan kepemimpinan yang rendah hati. Sebab menurut pengalaman saya, rendah hati adalah pintu pertama untuk menemukan kebijaksanaan hidup seorang pemimpin, baik untuk memimpin diri sendiri maupun memimpin orang lain. Orang yang rendah hati pasti ia akan mau belajar dari orang lain dalam kepemimpinannya. Ia tidak sombong. Ia justru bersyukur atas kehadiran orang lain dalam hidupnya
Daftar Pustaka
Covey, Stephen R., The 8th Habit: Melampui Efektivitas, Menggapai Keagungan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Beth Jones, Laurie., Jesus Chief Executive Officer (Menciptakan Kepemimpinan Visioner Dengan Kebijaksanaan 2000 Tahun Yang Lalu, Jakarta: Mitra Utama, 1997.
Ellis, William D., Cobalah Bicara Kepada Diri sendiri, dalam buku Sukses $ Prestasi; Mengenal Energi Yang Tersembunyi di Dalam Diri, Vo. 3, Jakarta: Mitra Utama, 2003.
Goleman, Daniel., dkk, Primal Leadership: Kepemimpinan Berdasarkan Kcerdasan Emosi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Prijosaksono, Aribowo., dan Hartono, Ping., Being an Achiever is not Enough-Make Yourself a Leader 5 Prinsip Mengembangkan Kepemimpinan, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002.
http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2002/02/3/man01.html) (Akses 19/10-08)
Teologi 1
YESUS MEMBAWA PEMBEBASAN, PENEBUSAN DAN PUNCAK PEMBAHARUAN RELASI MANUSIA DENGAN ALAM SEMESTA
(Sebuah Tinjauan Teologi Penciptaan dari Perspektif Perjanjian Baru)
Rofinus Jas, SVD
I. Pengantar
Dalam PB hubungan manusia dengan alam semesta meneguhkan ajaran Perjanjian Lama, bahwa Yesus adalah kepenuhan kebijaksanaan ilahi. Yesus digambarkan dalam PB bahwa sejak awal mula Ia bersama-sama dengan Allah dan segala sesuatu diciptakan dalam Dia dan untuk Dia. Yesus secara dinamik menyatakan diri-Nya dan hadir dalam semua ciptaan. Hal ini memang sudah diramalkan oleh para nabi Perjanjian Lama, terutama ketika setelah pembuangan nubuat tentang negeri yang subur tidak terpenuhi. Visi harapan para nabi setelah pembuangan bahwa akan ada langit yang baru dan bumi yang baru; zaman ketika Allah memperbaharui bukan saja tanah Israel tetapi juga alam semesta. Harapan langit dan bumi baru tersebut, ternyata terpenuhi dalam inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus. Jadi struktur kristologi memiliki sumbangan signifikan yang besar bagi sebuah teologi kontemporer yang ingin menyatukan teologi penciptaan dengan inkarnasi.
II. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk relasional dapat dijelaskan dalam empat dimensi relasi yakni; relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan diri sendiri, dan relasinya dengan dunia atau alam ciptaan. Namun ketika manusia jatuh dalam dosa, maka empat dimensi relasi tersebut menjadi rusak. Akibatnya muncullah sederetan kekacauan akibat dosa tersebut menyebabkan manusia saling mengancam, memberontak satu sama lain. Hubungan manusia dengan alam semesta tidak harmonis. Manusia menguasai alam dan merusaknya serta menganggap alam semesta ini hanyalah untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia dan binatang saling mengancam dan membinasakan dalam permusuhan abadi tanpa kemenangan. Manusia menjadi menderita. Manusia harus bekerja keras untuk mendapat makanan. Manusia harus bersusah-payah mendapat rezeki meskipun tanpa memperoleh hasil yang seimbang dari tanah yang garap.
Jadi dosa manusia tidak hanya soal melanggar perintah Tuhan, tetapi juga melanggar dan menggerogoti kepercayaan akan kasih Tuhan, Sang Pemberi hukum itu sendiri. Dosa menyebab hubungan manusia dengan Allah dan seluruh ciptaan terganggu oleh dosanya terhadap Allah. Hubungan manusia dengan alam semesta menjadi tidak harmonis. Maka dengan demikian, Yesus dalam PB tampil untuk mengharmonisasikan kembali relasi manusia dengan alam semesta yang telah rusak karena dosa manusia.
III. Hubungan Manusia dengan Alam Ciptaan Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru
3.1. Inkarnasi Allah Dalam Yesus Kristus Membawa Pembebasan dan Penebusan Kesatuan Kristus dengan ciptaan menemukan bentuk sempurna dalam inkarnasi. Sabda menjadi daging(sarx, Yoh 1:14) menekankan makna sejati bukti kehadiran Allah memulihkan kembali relasi manusia dengan alam semesta. Ini berarti penebusan yang dilakukan Allah dalam inkarnasi membawa pembebasan dan dipersatukan dengan Dia berkat kebangkitan-Nya. Itulah sebabnya Paulus melihat kebangkitan Kristus akan membawa pemulihan relasi manusia dengan alam semesta.
Puncak penebusan dan pembaharuan Allah atas dunia adalah Yesus itu sendiri. Ia adalah Allah yang datang kepada milik-Nya sendiri yaitu dunia ini(Bdk.Yoh 1:1-18). Ia membawa hidup bagi dunia supaya mendapat kelimpahan(Bdk. Yoh 10:10). Maka kehadiran Yesus ke dunia adalah membuktikan bahwa Allah mencintai dunia. Jika kasih Allah menjadi dasar penciptaan atau Logos menjadi dasar penciptaan(Yoh 1:1-3), maka Tuhan Yesus juga sebagai dasar penebusan Allah. Karena itu dalam diri Yesus Kristus, Allah telah memperdamaikan diri-Nya dengan ciptaan-Nya(Kol 1:19-20; 2 Kor. 5:18-19). Dengan demikian Yesus menjadi pemenuhan yang telah dinyatakan dalam Perjanjian Lama, seperti Yes 11:6-9; 65:17; 66:22 dan Hosea 2:18-23.
3.2.Yesus Puncak kepenuhan Relasi Manusia Dengan Alam Semesta
Relasi manusia dengan alam semesta dalam PB bersifat Kristo-sentris. Dalam PB pewartaan kabar gembira, bahwa penderitaan, kematian dan kebangkaitan Yesus Kristus telah mengadakan transformasi total, yakni pemulihan kembali restorasi hubungan mulia yang erat antara Allah dan manusia, manusia dengan alam semesta. Surat Rasul Paulus kepada umat di Efesus mengungkapkan hal ini:
“Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian. Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi” (Ef 1:7-10).
Dalam pemikiran Paulus, tidak satu pun yang lepas dari pengaruh penebusan Kristus. Setiap kenyataan apapun juga, baik yang hidup maupun yang mati, apalagi manusia, berada dalam penebusan itu, masing-masing sesuai dengan kondisinya. Paulus menegaskan bahwa rekonsiliasi sebagai hasil penebusan yang dilakukan oleh Kristus, menebus dan melimpahi segala sesuatu dalam kosmos. Surat Paulus kepada umat di Kolose mengungkapkan hal itu (bdk. Kol 1:19-20 -- “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus”. Selanjutnya, dalam suratnya kepada umat di Galatia, Paulus menegaskan bahwa mereka sebagai jemaat orang-orang yang percaya dan bersatu dalam Kristus telah menyingkirkan semua hambatan, baik budaya, laki-laki perempuan, maupun ekonomi dan sosial (bdk. Ayat 27-28).
Jadi tujuan inkarnasi adalah untuk memulihkan kembali empat dimensi relasi manusia. Yesus datang mengharmonisasikan kembali relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan dirinya sendiri, dan relasi manusia dengan alam semesta akibat dosa manusia.
3.3.Yesus Sebagai Pusat Dunia atau Kristus Kosmik
Teks Yoh 1:3-5 menampilkan dua hal pokok berkaitan dengan konsep Kristus kosmik. Pertama, kesatuan segala sesuatu ada dalam Kristus, karena segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Kristus sebagai pusat kosmos secara keseluruhan. Keselamatan kosmis sudah nampak dalam pelayanan Yesus. Misalnya dalam injil Mrk 1:13 tentang Yesus berada di padang gurun ada bersama dengan binatang liar. Semua ini menunjukan Yesus memilik sisi kosmisnya. Kedua, karya keselamatan yang datang dari Allah dalam Kristus mengena terhadap segala sesuatu atau terjadi penebusan universal.
Kristus adalah kebijaksanaan Allah (Bdk. 1 Kor 1:24). Dia bersama dengan Allah dalam penciptaan (Ams 8:22-23). Ini mengambarkan teologi ekologi dilihat secara baru dalam iman kristiani. Dalam 1 Kol 1:15-20 bahwa Yesus adalah gambar Allah yang tak kelihatan; segala sesuatu dipersatukan dalam Dia sebagai yang sulung dari segala ciptaan, karena Ia ada sebelum segala sesuatu dan segala sesuatu ada dalam Dia dan diciptakan untuk dia. Maka inti pewartaan PB adalah bahwa Yesus adalah puncak pemenuhan janji Allah untuk membangun kembali empat dimensi relasi yang telah rusak akibat dosa manusia. Jadi penekanan pewartaan keselamatan dalam PB memang bersifat Kristo-sentris.
Pewartaan Yesus yang melibatkan diri dengan dunia ciptaan diteruskan oleh Paulus. Paulus dalam tulisannya memberikan pedoman bagaimana manusia harus bersikap terhadap alam semesta. Paulus memegang dua pernyataan ini secara serempak, kendati terjadi dalam suatu ketegangan dialektis terus-menerus: (a) dunia diciptakan Tuhan dan karena itu adalah baik; (b) dunia sekarang menjadi sasaran kuasa negatif dosa.Walaupun demikian, Paulus tetap menganut prinsip “karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan semua pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa” (1 Tim 4:4-5).
Paulus melihat Yesus sebagai pusat dunia, yang mencakup bukan hanya manusia tetapi juga setiap realitas konkret (ef 1:10.21-22; Kol 1:20; 2:10.19). Teks yang paling penting ialah Rm 8:19-23, yang mengajarkan bahwa nasib dunia ini dikaitkan erat dengan nasib manusia. Jadi penebusan terhadap alam semesta sangat tergantung pula pada penebusan tubuh kita (ay 23), sebagai akibat dari kebangkitan.penciptaan baru sedang dalam proses dan menerangi dunia yang ada sekarang.
3.4.Visi-misi:Yesus Kepenuhan Janji Kerajaan Allah
Titik tolak pemahaman relasi manusia dengan alam semesta dalam injil, terangkuman dalam visi misi kepenuhan kerajaan Allah. Kepenuhan kerajaan Allah tersebut terungkap penuh dalam diri Yesus Kristus. Maka visi misi inkaransi Allah adalah untuk menjadikan manusia dan alam semesta menjadi milik Allah kembali. Hubungan antara kepemilikan Allah atas manusia dan alam semesta, terungkap jelas dalam khotbah Yesus di bukit tentang kekuatiran manusia. Manusia kerapkali kuatir dengan masa depanya, seolah-olah Allah tidak peduli dengan manusia. Maka Yesus memberikan keyakinan kepada manusia bahwa Allah tetap memelihara dan memenuhi kebutuhan manusia. Tuhan Yesus menjelaskan bahwa tidak seekor burung pipit pun yang jatuh ke bumi di luar kehendak Bapa di surga(Mat. 10:29). Bahwa Bapa di surga memelihara burung-burung yang tidak menabur, tidak menuai dan tidak menyimpan makanan(Mat 6:25-34). Allah mau mengatakan bahwa manusia tidak perlu kuatir dalam hidupnya. Allah murah hati dan selalu memenuhi kebutuhan manusia.
Yesus tidak mendefinisikan kerajaan Allah secara gamblang. Ia mengambarkan kerajaan Allah lewat perumpamaan, misalnya: Kerajaan Allah seumpama orang menabur benih yang baik....(Mat 13:24-30). Hal kerajaan surga itu seumpama biji sesawi...(Mat 13:31-35). Beginilah kerajaan Allah seumpama orang menabur di tanah...(Mrk 4:26-29)
Yesus datang melaksanakan kehendak Bapa (Yoh 5:19, 8:26) Untuk membaharui seluruh alam ciptaan, alam dan manusia. Maka kerajaan Allah yang dimaksudkan PB adalah bahwa kedatangan Yesus ke dunia membawa berita baru memulihkan kembali hubungan manusia dengan alam yang telah rusak akibat dosa manusia. Ia datang membawa shalom Allah bagi seluruh ciptaan dengan jalan menebus dan mengampuni dosa manusia. Ia datang menebus seluruh ciptaan. Jadi kerajaan Allah yang dimaksudkan PB berarti kedatangan Yesus bertujuan memulihkan kembali relasi manusia dengan Allah, relasi manusia dengan manusia, relasi manusia dengan dirinya sendiri dan relasi manusia dengan alam ciptaan. Secara apokaliptis “mengenai langit baru dan bumi baru” (Why 21:1-10). Hal ini mau mengatakan bahwa secara eskatologis keharmonisan empat dimensi relasi manusia, secara konkret sudah terwujud dalam inkarnasi Kristus di dunia. Hal ini kemudian terpenuhi secara total pada zaman apolokaliptik seperti yang terungkap dalam Why 21:1-10 di atas.
IV. Hubungan Manusia dengan Alam Ciptaan dalam Tradisi Kristiani
Pandangan para bapa Gereja tentang hubungan manusia dengan dunia ini tercermin dalam uraian mereka tentang eskatologi dan moral. Secara eskatologi, mereka melihat bagaimana kesudahan dunia ini pada akhir zaman. Karena itu secara moral dunia ini harus dijaga karena memiliki nilai dan resiko yang terkandung pada benda-benda duniawi, sebab semuanya berjalan menuju Kerajaan Allah. Namun dalam perkembangan sejarah, para bapa Gereja melihat hubungan manusia dengan dunia ini ada dalam ketegangan dua kutub pemikiran, yaitu: kutub pandangan negatif dan positif terhadap dunia.
4.1. Pandangan Negatif Terhadap Dunia
Pemahaman yang terlalu rohani mengenai tujuan hidup manusia terdapat dalam beberapa tokoh dalam sejarah kekristenan. Misalnya Origenes yang dipengaruhi oleh neo-Platonisme misalnya cenderung mereduksikan dan merendahkan dunia materi. Baginya, Allah menciptakan dunia tidak lain karena manusia jatuh dalam dosa. Dunia alam semesta hanya menjadi sasaran menyucian jiwa manusia agar bisa kembali ke keadaan asalinya. Demikian pula dengan pandangan Thomas Aquinas. Setelah menegaskan kebaikan ciptaan dalam cara yang berbeda dari Origenes, Thomas Aquinas kemudian menyatakan bahwa tujuan semua ciptaan terutama hanyalah kebahagiaan manusia (dan malaikat) di surga bersama dengan Allah. Ia mengatakan “sibi ipsi et aliis providens” – manusia mengatur dirinya sendiri dan makhluk-makhluk lainnya.
Kutub pertama ini memang memandang dunia sebagai tempat dosa manusia (bdk. Injil Yohanes). Karena itu kesucian manusia bisa dicapai dengan “melarikan diri” dari keduniawian (spiritualisme). Pandangan yang negatif terhadap dunia ini sangat dominan dalam sejarah, dan melahirkan pandangan dualisme: jiwa dan badan, baik dan jahat. Pandangan dualisme tentu ditolak oleh Gereja.
4.2. Pandangan Positif Terhadap Dunia
Berbeda dengan pandangan Origenes dan Thomas Aquinas dalam memandang hubungan manusia dan alam ciptaan. Ada beberapa yang memandang secara positif relasi manusia dengan dunia, bahwa seluruh alam semesta diciptakan dalam keadaan baik yang akan ditebus sebagai suatu keseluruhan pada akhir zaman. Irenius misalnya, ia memuliakan daging di dunia ini dan di dalam hidup yang akan datang. Bagi Irenius, Alam ciptaan benar-benar baik dan benar-benar berarti. Demikian pula dengan Agustinus dewasa (Agustinus akhir) melihat bahwa semua benda, makhluk alam dan manusia, memiliki keutuhan mereka sendiri, nilai mereka sendiri, dan tempat penting mereka sendiri di dalam sejarah akbar dari tatanan ciptaan.
Pandang positif lainnya terhadap alam ciptaan dapat kita temukan dalam tokoh Bonaventura dan Fransiskus Asisi. Bonaventura, filsuf-teolog di zaman patristik, dalam bukunya, “perjalanan menuju jiwa Allah”, menyebut alam semesta sebagai “Kitab alam” yang ditulis Allah sebagai media manusia untuk bersatu dengan-Nya. Bonaventura mencoba mengaitkan alam semesta dengan Trinitas. Menurut Bonavnetura ada unsur relasi alam semesta dengan Trintas. Pertama, Allah yang diimani, dialami adalah Allah Trinitas yang dinamik, terlibat aktif dan produktif. Allah mengungkapkan kebaikan-Nya tanpa batas memelihara alam semesta. Kedua, Yesus Kristus sebagai kepenuhan kebaikan Allah terhadap alam semesta. Ketiga, Roh Kudus sebagai ungkapan cinta Allah terhadap alam semseta. Roh Kudus yang mengikat cinta Allah dengan Yesus Kristus sehingga ungkapan cinta ini juga mengena seluruh alam semesta.
Bonaventura memang sangat memandang positif terhadap dunia bahwa alam semesta sebagai pengungkapan diri Allah. Sedangkan dalam Fransiskus Asisi, Ia menghargai dan memperlakukan setiap ciptaan Allah (organis dan an-organis) sebagai sesama, saudara-saudarinya. Menurut Fransiskus, di dalam alam semesta ini ia melihat Allah Bapa pencipta hadir dan hidup di dalamya. Bulan bintang, bumi, api, air adalah saudara-saudari tercinta. Matahari, langit, serigala ganas, burung adalah saudara-saudarai yang patut dicintai. Dihadapan Fransiskus Asisi, manusia dan alam ciptaan adalah saudara.
Pandangan Bapa Gereja pada umumnya memang sangat menekankan teosentris. Pandangan teosentris tentang alam semesta berakar kuat dalam Kitab Suci bahwa alam semesta diciptakan Allah baik adanya. Seperti Irenius dari Lyon sangat menekankan bahwa seluruh ciptaan Allah dilindungi dan ditebus oleh Allah. Tubuh manusia adalah sentuhan maha karya Allah dan dosa Adam tidak pernah merusak alam. Hal ini oleh Yohanes Krisostomus memperkenalkan alam semesta ini sebagai penyelenggaraan Allah atau pantokrator. Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta. Gagasan ini selanjutnya dimasukan dalam formula credo kuno Nicea: Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta segala sesuatu yang kelihatan dan yang tak kelihatan.
Visi teologis metafisis tentang alam semesta ini disebut creatio ex nihilo-penciptaan dari ketiadaan. Akhirnya Bapa Patristik menyimpulkan bahwa tujuan dan maksud tindakan Allah mencipta dan tujuan eksistensi ciptaan merupakan realisasi kebaikan dan cinta Allah. Jadi kutub kedua pandangan bapa Gereja memang memandang dunia sebagai yang baik dan bernilai, dalam hubungan dengan Allah yang menciptakan semuanya dalam keadan baik. Keselamatan manusia akan tercapai jika manusia mengubah dunia ini sesuai dengan rencana Allah. Tokoh aliran ini adalah Santo Fransiskus dari Asisi dengan madah kasih bagi alam semesta.
V. Konsili Vatikan II dan sesudahnya
Konsili vatikan II berusaha mengembalikan tekanan pandangan yang melihat alam ciptaan secara negatif kepada pandangan yang lebih cenderung pada nilai positif dari alam ciptaan. Manusia diajak untuk menghormati alam ciptaan sebab bagi Gereja, alam ciptaan memiliki otonominya sendiri dan hendaknya dimanfaatkan dan makin diatur oleh manusia, dan hal ini adalah sesuai dengan kehendak Sang Pencipta sendiri. Pandangan positif Gereja terhdap dunia mempunyai dampak positif pula bagi pada pandangan Gereja tentang perutusannya di dunia.
5.1. Paus Yohanes Paulus II
Pandangan pimpinan Gereja Katolik tentang lingkungan hidup terungkap jelas dalam KV II. Paus Yohanes Paulus II adalah salah satu tokoh yang sangat getol berbicara tentang lingkungan hidup. Dalam ensiklik Laborem Exercens thn 1981, Paus mengakui bahwa salah satu kesadaran dunia modern adalah berkembangnya kesadaran bahwa warisan alam terbatas dan mengalami pencemaran tidak boleh dibiarkan (LE 1).
Kemudian dalam SRS yang diterbitkan thn 1987, Paus Yohanes Paulus II sangat lantang mengungkapkan perlunya penghormatan pada keutuhan alam semesta(SRS 26). Bangsa-bangsa dunia tidak boleh melupakan sikap hormat terhadap makhluk ciptaan. Hal ini berdasarkan tiga pertimbangan, pertama bahwa tidak layaknya manusia menggunakan makhluk-makhluk ciptaan lain semaunya sendiri; kedua, sumber daya alam terbatas, maka kesewenang-wenangan membahayakan persediaannya bukan hanya generasi sekarang, melainkan juga bagi generasi-generasi mendatang; ketiga, hasil langsung atau tidak langsung dari industri ialah pencemaran lingkungan yang dapat mengakibatkan bahaya bagi kesehatan penduduk(SRS 34).
Dalam SRS 29 (Solliticitudo rei Socialis), Paus Yohanes Paulus II menegaskan tentang hubungan manusia dengan alam ciptaan dengan menafsirkan kembali Kitab Kejadian. Di satu pihak ditegaskan peranan manusia sebagai subjek, tetapi di lain pihak sekaligus juga kebersamaan manusia dengan alam ciptaan. Ia mengungkapkan:
“manusia mempunyai suatu keserupaan dengan makhluk-makhluk lainnya: ia diundang untuk mendayagunakannya dan untuk memeliharanya seperti dikatakan kitab (Kej 2:15), ia ditempatkan di taman dengan tugas untuk mengolahnya dan melindunginya, dan ia juga ditempatkan di atas segala binatang yang diserahkan-Nya ke dalam kuasanya (Kej 1:26). Tetapi sekaligus manusia harus tetap taat kepada kehendak Allah yang menetapkan batas-batas penggunaan dan penguasaan kekayaan itu (Kej 2:16-17)...” (SRS 29).
Pada hari Perdamaian Dunia 1 Januari 1990, Yohanes Paulus II menyampaikan pesannya -- “Peace with God the Creator, peace with all of creation”-- agar manusia mampu berdamai dengan dunia manusia, dengan dirinya sendiri, dan dengan seluruh alam ciptaan. Dalam konteks Krisis ekologi, ia mengungkapkan bahwa Krisis dunia ekologis bersumber pada integritas moral, dan karena itu Paus Yohanes Paulus II mengemukakan dua prinsip moral: (1) integritas semua ciptaan dan (2) penghormatan atas kehidupan. Paus Yohanes Paulus II tampak jelas melihat posisi setara antara manusia dan alam ciptaan, dan memandang alam ciptaan secara positif.
Akhirnya dalam ensikliknya yang berjudul Centesimus Annus yang diterbitkan thn 1991 ia menegaskan bahwa dibalik pengerusakan alam lingkungan bertentangan dengan akal sehat sebagai kesesatan di bidang antropologi; manusia lupa bahwa kegiatan harus didasarkan pada kenyataan bahwa segala sesuatu adalah karunia Allah; manusia mengira manusia boleh semaunya sendiri mendayagunakan bumi dan menikmati hasilnya; manusia menggantikan tempat Allah; sikap itu membangkitkan pemberontakan alam(CA 37). Pengerusakan alam lingkungan juga akan merusak lingkungan manusiawi; dalam konteks ini perlu disebutkan masalah-masalah serius yang muncul dalam urbanisasi (CA 38). Kewajiban negara untuk membela dan melindungi harta milik umum, misalnya; alam lingkungan dan lingkungan manusiawi; hal itu semua tidak dapat dijamin dengan sistem ekonomi pasar; menghadapi kapitalisme baru sekarang ini baik negara maupun sgenap masyarakat wajib membela harta milik kolektif yang merupakan lingkup gerak bagi setiap orang; ada kebutuhan-kebutuhan kolektif dan kuantitatif yang tidak dapat dipenuhi melalui mekanisme-mekanisme pasar; ada kebutuhan-kebutuhan manusiawi yang penting dan tidak terjangkau oleh logika pasar(CA 40)
VI. Relenvansi
Tugas memelihara alam ciptaan adalah tugas hakiki setiap umat beriman. Yesus telah menjadi contoh memulihkan kembali relasi manusia dengan alam lingkungan lewat misi-Nya. Yesus menegakan kembali kerajaan Allah suatu kondisi baru yang dicita-citakan Allah sejak penciptaan di mana semua ciptaan hidup harmonis sebagai saudara-saudari satu sama lain, saling menghargai, menghormati dalam cinta Allah sebagai Bapa yang satu bagi semuanya. Orang Kristen mestinya memiliki tanggung-jawab memelihara alam semesta sebagai wujud konkret iman kepada Tuhan. Mencintai Tuhan berarti juga mencintai sesama dan alam semesta. Manusia harus memiliki tanggung-jawab untuk menjaga keharmonisan alam semesta.
Maka ada tiga sikap manusia yang tepat dalam relasinya dengan alam ciptaan.
Pertama, alam harus dilihat sebagai subyek bukan obyek. Sikap manusia yang melihat alam ciptaan sebagai obyek harus ditinggalkan. Alam ciptaan harus dilihat sebagai saudara yang harus dihormati dan dicintai. Alam bukan objek manipulasi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia tidak boleh bersikap eksploitasi terhadap alam semesta. Bencana alam kerap terjadi karena kesalahan pada paradigma pola relasi manusia dengan alam. Secara paradigmatik, pola relasi kita dengan alam selama ini adalah pola relasi subyek-obyek. Dalam hal ini, manusia bertindak sebagai subyeknya dan alam sebagai obyek. Ini pola relasi yang bersifat dominatif-eksplotatif. Pola semacam ini menempatkan alam sebagai benda mati yang tidak membutuhkan penghargaan. Keberadaan alam hanya dilihat pada tataran kegunaan semata, yakni berfungsi memenuhi kebutuhan manusia. Manusia berhak penuh atas alam. Akibatnya, alam dijadikan sasaran penjajahan dan eksplotasi manusia serakah. Hutan yang mestinya menjadi sumber bahan mentah industri, tempat berkembang-biak beragam hayati (plasma nutfah) tidak dipedulikan lagi.
Prilaku hidup masyarakat yang selalu mengobyektivasikan alam adalah faktor utama datangnya bencana. Cara bertindak semacam ini merupakan simbol hedonis manusia serakah tumpul hati nurani. Alam tidak lagi dipandang sebagai teman hidup, tetapi obyek yang bisa dieksplotasikan. Pada hal kesalahan cara pandang tersebut merupakan kesalahan yang sangat fundamental. Karena secara faktual, kerusakan alam semesta sebenarnya merupakan ancaman terhadap masa depan kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian, kesalahan paradigmatik jelas akan menghancurkan nyawa bangsa sendiri.
Kedua, perlu pertobatan teologis, khususnya teologi penciptaan. Dalam Kitab Kejadian 1:26 menunjukkan manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Artinya manusia diciptakan setara dengan ciptaan lainnya. Manusia tidak hanya membiarkan alam ada begitu saja tetapi manusia dipanggil untuk mengolah alam sedemikian rupa sehingga alam semakin hari semakin sempurna. Jadi teologi kristiani, tidak lagi sekedar melihat alam sederajat tetapi manusia tetap berada di atas alam semesta untuk mengolah dan diberi tanggung-jawab supaya alam semesta menjadi sempurna.
Ketiga, perlu adanya penelitan ilmiah mengenai kerusakan alam ciptaan dan mensosialiasikan kepada masyarakat.
VII. Tindakan Pastoral
Pertama, tindakan menjaga dan merawat alam semesta adalah tugas yang sangat mendesak bagi Gereja saat ini. Gereja harus mengusahakan trobosan untuk menghijaukan kembali lingkungan hidup.
Kedua, studi dan mendalami kearifan-kearifan tradisional, terutama kearifan lokal yang sangat menghargai alam sebagai ciptaan yang sakral. Gereja mestinya menggali kembali jejak langkah Sang Pencipta dalam alam ciptaan seperti yang seringkali diyakini dalam kearifan lokal.
Ketiga, membangun kerja sama, baik tingkat lokal maupun tingkat global. Gereja mau tidak mau harus bekerja sama dengan lembaga profan lainnya dalam mengupayakan melestarikan alam semesta.
VIII. Penutup
Konsep relasi manusia dengan alam semesta dalam tatataran teoritis menganut dua paham “antroposentris dan kesedrajatan antara alam semesta dengan manusia. Paham antroposentris tentu melihat alam semesta memiliki relasi subyek-obyek. Manusia sebagai subyek sehingga ia berhak menguasai alam sebagai obyek. Sementara paham kesederajatan manusia dengan alam semesta dilihat sebagai relasi subyek-subyek. Maka hubungan manusia dengan alam semesta kedua-duanya sebagai subyek sehingga manusia tidak boleh memperlakukan alam semesta sesuka-hatinya.
Relasi manusia dengan alam semesta dalam PB, nampaknya mengandung paham relasi teosentris atau Kristo-sentris. Sebab inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus membawa transformasi total, yakni pemulihan kembali restorasi hubungan mulia yang erat antara Allah dan manusia, manusia dengan alam semesta. Jadi penderitaan, kematian dan kebangkaitan Yesus Kristus telah memulih kembali relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan alam semesta. Relasi ini sebenarnya telah rusak akibat dosa manusia, maka Yesus tampil untuk memulihkan itu secara total, sehingga seluruh alam ciptaan menjadi harmonis, damai dan sejahtera.
Konsep antroposentris yang ditekankan PL dan konsep kesederajatan manusia dengan alam ciptaan bagi penulis kurang setuju. Penulis tetap melihat manusia lebih dari ciptaan Allah yang lain. Oleh karena itu sebagai makhluk yang berakal budi, manusia mestinya tetap memiliki hak tanggung-jawab untuk melestarikan alam semesta. Alam harus dilihat sebagai sahabat, sesama ciptaan Tuhan, sebagai SAUDARA. Dan dalam konteks Indonesia, kiranya pandangan ini tidak jauh berbeda dengan kearifan lokal yang ada dalam budaya kita yang jelas memandang alam sebagai subjek. Maka, kita perlu kembali kepada kearifan lokal yang melihat alam adalah sahabat manusia, bahwa manusia bagian integral seluruh alam semesta ini. Kearifan lokal mengajarkan kebijaksanaan hidup bagaimana manusia secara arif memperlakukan alam semesta.
* * * *
Daftar Pustaka
Baukhan, R., Jesus and the Wild Animals (Mark 1:13): A Christological Image for an Ecological Age, dalam J.B. Green (ed.), Jesus of Nasaret: Lord and Christ, Grand Rapids:Eerdmans, 1994.
Borrong, Robert P, Etika Bumi Baru: Akses Etika dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1999.
Edwards, Dennis., Jesus the Wisdom of God: An Ecological Teology, New York: Orbis Books, 1995.
Go, Piet., O.Carm, Etika Lingkungan Hidup, Malang: Sekretariat Kelompok Kerja Awamisasi, 1989.
H.P. Santmire, The Travail of Nature: The Ambiguous Ecological Promise of Christian Theology, Philadelphia: Forterss, 1985.
Hadiwardoyo, Al. Purwa., MSF, Masalah Sosial Aktual Sikap Gereja Katolik, Yogyakarta:Kanisius, 2006.
Handoko, Petrus Maria. Dicipta untuk Dicinta (promanuscripto). Malang: STFT Widya Sasana, 1996.
Kristoforus Tara, Yohanes., OFM. Ekologi dalam Kristen dan Islam: sebuah perjumpaan transformatif menuju dialog ekologis. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2008,
Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
Sunarko, A., OFM dan Kristiyanto, Eddy, A., OFM(eds.) Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologi atas Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Suwarta, Thomas. “Ketika Tanah dihadapi dengan sikap hormat”, dalam: Majalah Gita Sang Surya, Januari-Februari 2008.
Tantiono, Paulus Toni. Yesus dan Orang Kristen sebagai Pelayan dan Pencinta Alam ciptaan. Forum Biblika No. 14 (tahun 2001).
Telnoni, J.A. Bumi menurut Para Nabi di Israel. Forum Biblika No. 14 (2001).
Tucker, Mary Evelyn dan John a. Grim (eds.). Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Langganan:
Postingan (Atom)